Banjir Sumatera dan Jejak Dosa Ekologis Kita

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Bencana hidrometeorologi kembali menghantam saudara-saudara kita di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Air bah tidak datang sendiri; di beberapa titik, ia membawa serta kayu-kayu gelondongan besar yang menghantam pemukiman. Pemandangan ini mengirimkan pesan visual yang mengerikan namun jujur: hutan di hulu telah gundul, dibabat, dan alam kini menuntut keseimbangannya kembali.

Di tengah duka yang mendalam ini, narasi yang kerap muncul adalah “cobaan Tuhan” atau “amukan alam”. Namun, teologi fatalistik semacam itu harus kita koreksi.

Apa yang terjadi di Sumatera bukanlah hukuman Tuhan, melainkan manifestasi nyata dari apa yang disebut sebagai “dosa ekologis”. Bencana ini adalah buah pahit dari kesalahan manusiawi, akumulasi dari keserakahan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.

Redefinisi Hukum Kasih

Dalam ajaran iman, kita memegang teguh Hukum Kasih: mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia. Namun, dalam konteks krisis iklim saat ini, dimensi kasih itu harus diperluas.

Kita tidak bisa mengasihi Allah Sang Pencipta jika kita merusak ciptaan-Nya. Kita pun tidak bisa mengasihi sesama manusia jika kita menghancurkan rumah bersama (bumi) yang menjamin kelangsungan hidup sesama itu.

Mencintai alam ciptaan dengan sepenuh daya adalah bentuk penghargaan tertinggi atas Sang Pencipta.

Seperti ungkapan menohok dari Guy McPherson, seorang ilmuwan ekologi: “Jika kamu pikir ekonomi lebih penting dari lingkungan, cobalah menahan napas sambil menghitung uangmu.”

Ungkapan ini menyadarkan kita bahwa fondasi kehidupan bukanlah lembaran uang, melainkan ekosistem yang sehat.

Kayu-kayu gelondongan yang hanyut di Sumatera adalah bukti bahwa kita gagal menghitung “napas” kehidupan demi mengejar keuntungan sesaat. Keserakahan telah menutup mata kita bahwa hutan bukan sekadar komoditas, melainkan warisan bagi anak cucu yang juga memiliki hak untuk hidup layak.

Ironi Beton dan Krisis Kebijaksanaan

Dosa ekologis tidak hanya milik korporasi besar atau pembalak liar. Ia juga merayap dalam gaya hidup mikro di sekitar kita. Di banyak pemukiman, kita melihat ironi para pengusaha air bersih yang menyedot air tanah secara masif untuk dijual, namun gagal menanam satu pun pohon di pekarangan mereka.

Tanah-tanah ditutup beton demi alasan kebersihan dan kerapian. Halaman rumah menjadi gersang, tak ada lagi pori-pori tanah untuk memanen air hujan.

Mereka mengeksploitasi air sebagai pendapatan, namun memutus siklus hidrologi yang menjamin keberlanjutan air itu sendiri. Akibatnya, debit mata air menyusut drastis karena hilangnya tanaman keras penahan air dan masifnya betonisasi.

Dalam skala makro bernegara, kita dihadapkan pada dilema industrialisasi dan ekspansi perkebunan sawit. Tidak ada yang salah dengan pembangunan, namun menjadi fatal ketika pembangunan itu menabrak etika lingkungan.

Mengubah hutan heterogen menjadi perkebunan sawit monokultur tidak sesederhana “mengganti warna hijau dengan hijau”. Hutan adalah habitat kompleks flora dan fauna yang tak tergantikan oleh tanaman industri.

Kebijakan yang tergesa-gesa, seperti target pembangunan infrastruktur atau program koperasi yang menuntut alih fungsi lahan pertanian subur menjadi bangunan beton dalam waktu singkat, mencerminkan pola pikir pemimpin yang tidak holistik.

Pembangunan yang hanya mengejar target “cepat” dan “untung” tanpa menimbang aspek keberlanjutan adalah bentuk kepemimpinan yang rabun jauh.

Pertobatan Ekologis

Mengapa kita menyebutnya dosa? Karena kita telah lupa akan kata “cukup” dan “bijak”. Kita lupa bahwa alam membutuhkan keseimbangan. Prinsip menebang satu harus menanam satu, atau membuka satu hektar lahan harus menggantinya di tempat lain, sering kali hanya berhenti di atas kertas amdal, namun nihil dalam pelaksanaan.

Bumi ini terlalu lelah menanggung beban keserakahan manusia. Gaya hidup kita yang manja—enggan berjalan kaki untuk jarak dekat, ketergantungan pada kendaraan pribadi yang memuntahkan emisi karbon, hingga budaya plastik sekali pakai—adalah kontribusi kita pada kerusakan ini.

Maka, belajar dari banjir Sumatera, kita memerlukan sebuah “pertobatan ekologis” (ecological conversion). Pertobatan ini menuntut perubahan habitus yang konkret:

Pertama, kesadaran memilah sampah organik dan anorganik harus menjadi gaya hidup, bukan sekadar slogan.

Kedua, mengurangi penggunaan plastik secara radikal dalam transaksi sehari-hari.

Ketiga, mengembalikan fungsi tanah dengan menanam pohon, sekecil apa pun lahan yang kita miliki. Kita harus berhenti memusuhi serangga dan ulat atas nama kebersihan steril, karena mereka adalah bagian dari rantai kehidupan yang utuh.

Hidup selaras berarti hidup seimbang. Kesalehan ritual tidak boleh memisahkan kita dari tanggung jawab sosial dan ekologis. Beribadah dengan tekun harus sejalan dengan merawat bumi dan mengasihi sesama.

Tanpa keseimbangan itu, doa-doa kita hanya akan menjadi gema kosong di tengah bumi yang sedang sekarat. (*)

Bukan siapa-siapa.

Dosa Ekologis
Comments (0)
Add Comment