Menautkan ‘Veritatis Splendor’ di Tengah Senjakala Kebenaran Bangsa

Oleh Michael Patrick Eka Satria

Katolikana.com — Tanggal 10 Desember 2025 menandai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia.

Namun, alih-alih dirayakan sebagai pesta kemenangan martabat manusia, tahun ini peringatan tersebut jatuh di tengah suasana kebatinan bangsa yang muram, bahkan ironis.

Sebulan sebelumnya, tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2025, pemerintah mengambil langkah kontroversial yang mengguncang rasa keadilan publik: menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Keputusan politik ini seolah menjadi antitesis dari semangat Hari HAM itu sendiri. Di satu sisi, negara meratifikasi prinsip-prinsip kemanusiaan universal; di sisi lain, negara memberikan penghormatan tertinggi kepada figur yang masa kekuasaannya berlumuran darah sejarah kelam.

Luka-luka lama dari Tragedi 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Talangsari 1989, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, hingga Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II, kembali menganga.

Bagi para keluarga korban yang masih setia berdiri dengan payung hitam dalam Aksi Kamisan—yang kini telah melampaui angka 870 kali di seberang Istana—keputusan ini adalah bentuk pengkhianatan negara. Ini bukan sekadar pemberian gelar, melainkan sebuah upaya sistematis untuk memutihkan sejarah dan melegalkan impunitas.

Pertanyaan mendasar yang menyeruak bukan lagi soal prosedur administratif, melainkan soal moralitas bangsa: “Apakah kebenaran masih memiliki tempat di republik ini? Atau ia telah mati, dibungkam oleh pragmatisme politik?”

Veritatis Splendor: Sebuah Kompas Moral yang Hilang

Di tengah disorientasi moral ini, Gereja Katolik menawarkan sebuah khazanah pemikiran yang sangat relevan melalui Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran).

Dokumen yang dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 6 Agustus 1993 ini bukan sekadar teks teologis usang, melainkan seruan kenabian yang menantang relativisme moral—penyakit yang kini menjangkiti ruang publik Indonesia.

Paus Yohanes Paulus II membuka ensikliknya dengan premis fundamental: “Cahaya kebenaran bersinar terang dalam semua karya Sang Pencipta dan, secara khusus, dalam diri manusia.” Namun, ia juga memperingatkan tentang bahaya “krisis kebenaran” (crisis of truth).

Dalam konteks Indonesia tahun 2025, krisis ini mewujud dalam fenomena post-truth, di mana fakta objektif sejarah digeser oleh narasi emosional, manipulasi opini, dan kalkulasi politik kekuasaan.

Negara, dengan memberikan gelar pahlawan kepada tokoh otoriter, sedang mempraktikkan apa yang disebut dalam Veritatis Splendor sebagai “kebebasan ilusi”.

Ini adalah gagasan bahwa kebenaran moral bisa diciptakan atau disepakati oleh mayoritas atau penguasa, terlepas dari hukum kodrat dan hukum Ilahi.

Padahal, ensiklik ini menegaskan bahwa kebebasan sejati manusia tidak ditemukan dalam otonomi tanpa batas untuk menentukan sendiri apa yang baik dan buruk, melainkan dalam “ketaatan pada kebenaran” (obedience to the truth).

Melawan Logika “Tujuan Menghalalkan Cara”

Salah satu sumbangan terbesar Veritatis Splendor bagi etika politik adalah penolakannya yang tegas terhadap teleological ethical theories seperti konsekuensialisme dan proporsionalisme.

Teori-teori ini mengajarkan bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan semata-mata oleh niat pelakunya atau konsekuensi (hasil) yang ditimbulkannya.

Logika inilah yang sering dipakai para pendukung gelar pahlawan bagi Soeharto: “Mungkin ada pelanggaran HAM, tapi lihatlah pembangunan ekonominya,” atau “Stabilitas negara butuh tangan besi, tujuannya demi kebaikan bersama.”

Veritatis Splendor (VS 79-82) menolak keras cara pandang ini. Gereja mengajarkan bahwa niat yang baik (pembangunan, stabilitas) tidak pernah bisa membenarkan tindakan yang secara intrinsik jahat (intrinsically evil acts).

Ada perbuatan-perbuatan yang karena objeknya sendiri sudah jahat, dan tidak akan pernah bisa menjadi baik, apapun situasi atau hasil yang diharapkan.

Mengutip Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (no. 27), Paus Yohanes Paulus II mendaftar tindakan-tindakan yang secara intrinsik jahat: pembunuhan, genosida, aborsi, penyiksaan fisik dan mental, pemenjaraan sewenang-wenang, deportasi, hingga kondisi hidup yang sub-manusiawi.

Jika kita menggunakan lensa ini, maka rekam jejak pemerintahan Orde Baru yang mencakup pembantaian massal, penahanan tanpa pengadilan di Pulau Buru, dan penculikan warga negara, masuk dalam kategori intrinsically evil.

Tidak ada jumlah jembatan, bendungan, atau pertumbuhan ekonomi yang bisa “membayar” atau menyeimbangkan kejahatan terhadap martabat manusia tersebut.

Memberikan gelar pahlawan kepada pemimpin yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakan ini adalah bentuk pengingkaran terhadap kebenaran moral yang objektif.

Bahaya Relativisme dan Amnesia Sejarah

Dampak dari relativisme moral di ranah politik sangat mematikan. Ketika batas antara yang benar dan yang salah kabur, masyarakat kehilangan kompas nuraninya.

Generasi muda, yang tidak mengalami langsung masa kelam tersebut, disuguhi narasi sejarah yang telah disanitasi. Mereka diajak untuk memuja “bapak pembangunan” sambil melupakan “bapak otoritarianisme”.

Inilah yang disebut Paus sebagai bahaya memisahkan moralitas dari politik. Ketika politik dilepaskan dari kebenaran objektif, ia berpotensi menjadi totaliter, bahkan dalam baju demokrasi sekalipun.

Sejarah yang tidak jujur akan melahirkan bangsa yang rapuh, karena fondasinya dibangun di atas kebohongan dan penyangkalan.

Aksi Kamisan dan suara-suara kritis dari Komnas HAM serta masyarakat sipil adalah upaya putus asa untuk menjaga kewarasan bangsa. Mereka menolak “perdamaian semu” yang ditawarkan negara. Perdamaian sejati, menurut ajaran Gereja, adalah karya keadilan (opus iustitiae pax).

Tidak mungkin ada rekonsiliasi tanpa pengakuan akan kebenaran. Memaafkan adalah keutamaan Kristiani, tetapi melupakan kejahatan dan memberikan kehormatan kepada pelakunya adalah ketidakadilan terhadap korban.

Menjadi Martir Kebenaran Kontekstual

Lantas, apa yang harus dilakukan umat Katolik dan warga bangsa yang berkehendak baik di peringatan Hari HAM ini?

Veritatis Splendor memanggil kita untuk kesaksian yang radikal. Paus berbicara tentang kemartiran (martyrdom) sebagai penegasan akan ketakberubahan tatanan moral.

Dalam konteks Indonesia hari ini, menjadi martir tidak selalu berarti mati secara fisik. Menjadi martir kebenaran kontekstual berarti berani “mati” terhadap kenyamanan, berani melawan arus opini publik yang dimanipulasi, dan berani menolak kompromi moral demi keuntungan sesaat.

Kita dipanggil untuk merawat ingatan (memoria passionis). Kita harus terus bersuara bahwa pembangunan fisik tidak boleh dibayar dengan nyawa manusia.

Kita harus mendidik generasi muda agar kritis terhadap sejarah dan peka terhadap penderitaan sesama. Kita harus berdiri bersama para korban, karena dalam wajah mereka yang tertindas, kita melihat wajah Kristus yang menderita.

Membangun bangsa di atas “batu karang kebenaran” bukanlah jargon kosong. Itu adalah prasyarat mutlak bagi keberlanjutan Indonesia. Jika kita membiarkan kebohongan melembaga dan pelanggar HAM dipuja sebagai pahlawan, kita sedang mewariskan bom waktu bagi masa depan.

Cahaya kebenaran (veritatis splendor) mungkin tampak redup di tengah senjakala demokrasi kita saat ini. Namun, cahaya itu tidak pernah benar-benar padam selama masih ada hati nurani yang berani menyuarakannya.

Di Hari HAM Sedunia 2025 ini, mari kita nyalakan kembali lilin kebenaran itu, sekecil apa pun, untuk melawan kegelapan lupa dan ketidakadilan. (*)

Penulis: Michael Patrick Eka Satria, Mahasiswa Jurusan Teologi/Ilmu Pendidikan Agama Katolik STKIP Widya Yuwana Madiun

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Hak Asasi ManusiaHari HAMVeritatis Splendor
Comments (0)
Add Comment