Waving Hope: Kisah Maria Tri Sulistyani Membawa Suara Mama Mollo ke Pameran Gua Natal Vatikan

Vatikan, Katolikana.com — Di tengah kemegahan tiang-tiang marmer yang dipahat oleh Gian Lorenzo Bernini, seorang seniman perempuan dari Yogyakarta, Maria Tri Sulistyani, menorehkan sejarah bagi Indonesia.

Untuk pertama kalinya, Indonesia hadir dalam perhelatan budaya adimanusiawi di jantung Gereja Katolik: “The International Exhibition ‘100 Presepi in Vaticano'” atau “100 Gua Natal di Vatikan.”

Partisipasi perdana ini—sebagai bagian dari rangkaian “Jubilee is Culture” dan bertepatan dengan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Takhta Suci—bukan sekadar penempatan diorama. Ia adalah sebuah pernyataan budaya, sebuah refleksi iman, dan sebuah aksi solidaritas global.

Sejak dipindahkan ke Vatikan pada masa Paus Fransiskus tahun 2018, pameran Presepi ini telah menjadi tradisi Natal yang menyatukan 132 instalasi nativitas dari 23 negara, mulai dari AS hingga Ukraina.

Pameran ini diselenggarakan oleh Dikasteri Evangelisasi di bawah lengkungan arsitektur Barok Bernini yang megah.

Makna pameran ini, sebagaimana sering ditekankan Paus Fransiskus, adalah menolak “masyarakat yang begitu sering terbius oleh konsumerisme dan hedonisme.”

Gua Natal, menurutnya, harus membawa fokus kembali pada kesederhanaan Bayi Kristus, “memanggil kita untuk bertindak bijaksana… mampu melihat dan melakukan apa yang esensial.”

Maria Tri Sulistyani, pendiri dan Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre, Yogyakarta, menangkap pesan ini dan menerjemahkannya dengan bahasa visual yang menyentuh dan radikal.

Instalasi nativitas karya Maria diberi judul “Waving Hope” (Menenun Pengharapan).

Keluarga Kudus dalam Pelukan Mama Mollo

Instalasi nativitas karya Maria diberi judul “Waving Hope” (Menenun Pengharapan), selaras dengan motto Yubileum 2025: “Peregrini in Speranza” (Penziarah Pengharapan).

Instalasi berukuran 135 x 135 x 65 cm ini tidak membawa Keluarga Kudus ke Betlehem yang klise, melainkan menempatkan mereka dalam lanskap pegunungan batu Mollo, Nusa Tenggara Timur. Material yang digunakan pun khas Indonesia: kayu, kertas, dan kain tenun dari Mollo yang kaya makna.

Narasi Papermoon adalah narasi perlawanan. Keluarga Kudus—Yesus, Maria, dan Yusuf—hadir di tengah para perempuan penenun yang hidup sederhana, rentan secara ekonomi, namun kaya martabat dan kebijaksanaan karena menjaga tradisi menenun.

Romo Budi Subanar SJ, Ketua Steering Committee delegasi Indonesia yang didampingi Stanislaus Sunardi dan Nina Handoko (Ketua Delegasi), menjelaskan bahwa ini adalah refleksi teologis yang mendalam.

“Yesus yang lahir 2.000 tahun lalu di tengah kaum kecil dan marginal, hadir kembali hari ini di tengah mereka yang terus berjuang mempertahankan tanah, air, hutan, dan warisan budaya demi generasi mendatang,” ujar Romo Budi Subanar SJ.

Tangan Terbuka: Simbol Aksi dan Perlawanan

Secara visual, yang paling mencolok dari karya Indonesia adalah bentuk instalasi berupa tangan terbuka yang menopang Keluarga Kudus.

Maria menjelaskan, tangan melambangkan aksi, gerakan, dan kehidupan. Tangan yang menopang itu adalah tangan para penenun, petani, gembala, dan penjual sayur. Bahkan, tangan itu adalah tangan Tiga Raja yang datang dari jauh membawa hadiah.

“Tangan ini melambangkan bahwa kebaikan datang jika kita mau memulainya,” jelas Maria.

Perlawanan yang Ditenun oleh Kain Mollo

Melalui karya ini, Maria Tri Sulistyani ingin menggugat kondisi dunia yang “tidak baik-baik saja.” Ia menyoroti kerusakan lingkungan global—hutan yang dibabat habis, jutaan spesies yang punah—yang mencerminkan keserakahan manusia.

“Ribuan tahun yang lalu, Yesus juga lahir di tempat yang tidak baik-baik saja, Ia lahir di sebuah kandang, di tengah bayang-bayang teror Herodes,” katanya.

“Jika saya boleh menggambarkan peristiwa kelahiran Yesus hari ini, Keluarga Kudus ditemani oleh Mama-Mama penenun kain dari Mollo.”

Kain tenun Mollo, yang digunakan untuk membalut Keluarga Kudus, adalah lambang perlawanan.

Mollo, yang secara harfiah berarti “perempuan dari gunung,” adalah komunitas adat yang ditugaskan leluhur untuk menjaga batu, mata air, dan hutan.

Sejak 1999, mereka harus maju ke garis depan, melawan perusahaan tambang yang hendak menghancurkan Gunung Mutis—situs adat yang menjadi sumber air, lahan pertanian, dan identitas.

“Bagi saya kain tenun ini menjadi lambang perlawanan, dan juga upaya manusia untuk melawan keserakahan manusia lain,” tegas Maria.

Nativitas Indonesia yang hadir di Vatikan, yang merupakan hasil kolaborasi seniman (Papermoon), akademisi (Program Studi Kajian Budaya USD), dan diplomat (KBRI Takhta Suci), dengan demikian, bukan hanya dekorasi.

Ia adalah kesaksian yang menegaskan bahwa iman, keadilan sosial, dan keberlanjutan budaya saling bertaut, menjadi suara dari kaum kecil di Indonesia yang kini menggema di bawah portico Bernini, membawa pesan Waving Hope dari Mollo untuk dunia.

Tarian Boneka

Tarian Boneka: Menghidupkan Narasi Perlawanan

Narasi ini tidak berhenti pada instalasi patung. Papermoon Puppet Theatre juga mementaskannya dalam bentuk teater boneka selama 20 menit, yang dipentaskan dua kali: di KBRI Takhta Suci dan di Colegio Verbo Divino.

Maria (memainkan boneka Mama Tua) dan Kinanti Sekar Rahina (menampilkan tarian Mama Mollo) memeragakan perjuangan para perempuan yang menenun selama berbulan-bulan di Kaki Gunung Mutis.

Tarian itu adalah cerminan perlawanan warga adat yang sadar bahwa hancurnya gunung batu berarti lenyapnya asal muasal leluhur, hilangnya akses terhadap air, dan musnahnya identitas diri.

Kain tenun, yang membalut Kristus, adalah lambang martabat yang gigih melawan keserakahan. (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

100 Presepi in VaticanoWaving hope
Comments (0)
Add Comment