Katolikana.com—Minggu Adven ketiga, atau yang kita kenal sebagai Minggu Gaudete, selalu terasa seperti oasis di tengah padang gurun pertobatan Adven.
Tiba-tiba, di antara warna ungu yang melambangkan penantian dan tobat, muncul lilin merah muda yang menyala dengan lantang, menyuarakan pesan: “Bersukacitalah, sebab Tuhan sudah dekat!”
Namun, tahun ini, seruan sukacita itu terasa membawa beban yang jauh lebih berat.
Ketika kita menyambut Gaudete, dunia di sekitar kita sedang berduka. Bencana alam melanda saudara-saudara kita di Sumatra dan wilayah lain. Kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri luka-luka akibat banjir, longsor, kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, bahkan nyawa.
Di tengah kenyataan pahit ini, wajar bila muncul sinisme: Pantaskah kita bersukacita? Apakah ini bukan hanya pelarian yang tidak peka?
Di sinilah letak keindahan dan kedalaman ajaran Gereja. Gaudete tidak pernah dimaksudkan sebagai ajakan untuk memakai kacamata kuda dan mengabaikan penderitaan.
Justru, Gaudete menantang kita untuk menemukan makna sukacita yang matang, dewasa, dan bertanggung jawab.
Sukacita yang Berakar Kuat
Permenungan ini membawa kita pada pemahaman ulang yang krusial: Sukacita Kristiani bukanlah perasaan optimisme yang dangkal (toxic positivity), melainkan sikap iman yang berakar kuat pada kehadiran Allah.
Sukacita kita lahir dari keyakinan teologis yang paling mendasar: Allah adalah Imanuel, Allah yang Menyertai kita.
Ia menyertai bukan hanya di saat kita sukses dan nyaman, melainkan teristimewa ketika segala sesuatu tampak runtuh. Kehadiran-Nya di tengah luka manusia itulah yang menjadi jangkar harapan kita.
Inilah sukacita sebagai kekuatan batin yang memungkinkan kita untuk tetap berdiri dan bertindak, meskipun badai belum berlalu.
Gaudete sebagai Pilihan Etis
Bagian paling revolusioner dari Gaudete adalah transformasinya dari “perasaan” menjadi “pilihan moral”.
Dalam Injil Minggu Adven ke-3, tokoh yang muncul adalah Yohanes Pembaptis. Ia adalah sosok yang sangat realistis dan praktis.
Ketika orang banyak datang dan bertanya, “Apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes tidak menawarkan meditasi spiritual yang panjang. Ia langsung memberikan tuntutan etis yang konkrit:
“Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat demikian juga.” (Luk 3:11)
Inilah penegasan yang tak terbantahkan: Sukacita iman selalu termanifestasi dalam tindakan nyata. Gaudete menuntut kita untuk:
- Berbagi: Solidaritas dengan yang berkekurangan.
- Berlaku Adil: Hidup jujur dan tidak memeras sesama.
Oleh karena itu, merayakan Gaudete di tengah bencana berarti memilih untuk terlibat.
Wujud sukacita kita hari ini adalah dalam bentuk doa, penggalangan dana, kehadiran sebagai relawan, dan setiap uluran tangan yang meringankan beban saudara-saudara kita. Dalam aksi-aksi kemanusiaan yang sederhana itulah, kita menyaksikan kehadiran Allah yang begitu dekat.
Panggilan untuk Pertobatan Ekologis
Lebih jauh lagi, bencana alam yang terjadi adalah tanda zaman yang harus kita baca dengan jujur. Renungan ini harus mendorong kita melakukan refleksi ekologis yang mendalam.
Seperti ditekankan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, krisis lingkungan dan krisis sosial adalah masalah yang tidak terpisahkan. Kerusakan ekologi, yang sering disebabkan oleh keserakahan dan pola konsumsi kita, memperparah dampak bencana, dan yang paling menderita adalah kelompok yang paling rentan.
Maka, Gaudete adalah panggilan untuk pertobatan ekologis. Sukacita kita harus menolak sikap fatalistis yang pasrah. Iman Kristiani mendorong kita untuk bertindak bijak demi kehidupan bersama.
Harapan yang kita rayakan di Adven bukanlah alasan untuk pasrah, melainkan sumber kekuatan untuk memperjuangkan perubahan struktural dan menjaga keutuhan ciptaan.
Sukacita, Harapan dan Tanggung Jawab
Akhirnya, Minggu Gaudete mengajak kita berdiri di antara dua sisi yang sakral: Pengharapan dan Tanggung Jawab.
- Pengharapan memberi kita ketenangan, karena kita tahu bahwa kasih Allah melampaui situasi sesaat.
- Tanggung Jawab menantang kita, karena iman menuntut keberpihakan etis pada mereka yang menderita.
Inilah intisari dari Natal yang segera kita sambut: Allah tidak hadir dari kejauhan. Ia hadir sebagai Imanuel, yang memilih untuk masuk ke dalam kerapuhan sejarah manusia yang penuh luka.
Berbicara tentang sukacita di tengah bencana bukanlah tindakan yang tidak peka, melainkan komitmen untuk tetap berharap dan bertindak. Sukacita yang paling otentik terletak ketika iman mendorong kita untuk tidak berpaling dari luka dunia, melainkan hadir dan merawatnya bersama-sama.
Mari kita rayakan Gaudete tahun ini dengan menyalakan lilin merah muda di hati kita, yang cahayanya bukan hanya menerangi diri sendiri, tetapi juga menggerakkan kaki kita menuju saudara-saudara yang membutuhkan.
Semoga Gaudete membawa Anda pada sukacita yang memberdayakan! (*)
Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin