Yang Tersisa dari Natal: Refleksi atas Kasih dan Realitas Kebangsaan

Selamat Hari Natal.

Semoga damai dan kasih Allah selalu memenuhi bumi serta hati kita semua.

Bagi umat Kristiani, Natal adalah sumber kebahagiaan karena Sang Terang telah lahir ke dunia. Yang Ilahi menjadi manusia agar kita mampu mengenal-Nya secara pribadi. Mengutip khotbah Romo di Paroki Salatiga kemarin: jika bayi lahir menangis, semua orang tertawa bahagia. Sebaliknya, jika bayi lahir langsung tertawa terbahak-bahak, orang-orang justru akan lari ketakutan.

Pengenalan akan Allah memerlukan kehadiran-Nya yang dapat dijangkau oleh akal dan bahasa manusia. Bayangkan jika Allah hadir hanya dalam bahasa surgawi; manusia pasti akan kebingungan—plonga-plongo, tidak paham. Itulah sebabnya Allah hadir dalam rupa insan, menyapa manusia dengan cara yang paling dekat dan nyata.

Polemik Ucapan: Sebuah Lingkaran Artifisial

Tahun berganti tahun, namun ucapan Natal terus saja menjadi polemik. Ada beberapa hal yang layak kita cermati bersama:

Pertama, seolah-olah ketika umat Katolik membahas persoalan ucapan ini, mereka dianggap sedang mengemis perhatian. Padahal, sama sekali tidak demikian. Yang dipersoalkan bukanlah ucapan itu sendiri, melainkan narasi dan propaganda berlebihan atas sesuatu yang sebenarnya bersifat seremonial, namun diposisikan seolah-olah sebagai persoalan krusial berbangsa. Ada atau tidaknya ucapan sama sekali tidak memengaruhi iman kami.

Kedua, pola pikir yang keliru sering kali merasa paling benar tanpa mau memahami perspektif pihak lain. Sederhananya: jika tidak mau mengucapkan, ya sudah. Tidak perlu menjadikan penolakan itu sebagai bahan untuk memperburuk harmoni hidup bersama. Ingat, ini adalah negara Pancasila, bukan negara agamis. Para pendiri bangsa telah menolak Piagam Jakarta karena mereka sadar bahwa Indonesia dibangun di atas fondasi keberagaman. Bhinneka Tunggal Ika sudah final.

Bagi umat Katolik, ucapan selamat adalah ungkapan syukur atas hidup bersama. Kami tidak terlalu berpusing pada ranah artifisial. Namun, konsistensi itu penting. Jika memang tidak ingin mengucapkan, tidak perlu diulang-ulang setiap tahun seolah itu masalah hidup dan mati. Kami tidak akan tiba-tiba mudah membangun gereja hanya karena diberi ucapan, dan tidak akan “pindah server” hanya karena tidak disapa.

Ironi Keamanan di Rumah Ibadah

Catatan kedua yang mengganjal adalah kehadiran polisi dan tentara yang selalu berjaga di gereja. Secara jujur, ini adalah hal yang memalukan bagi sebuah bangsa besar yang bangga dengan Pancasilanya. Ke mana perginya semangat damai, toleransi, dan mandat Pasal 29 UUD ’45? Sungguh aneh ketika amanat Konstitusi kita sering kali kalah oleh aturan di bawahnya seperti UU atau SKB.

Jika negara ini memang aman dan rakyatnya bebas menjalankan ibadah, polisi seharusnya tidak perlu lagi menjaga gereja dengan senjata laras panjang dan seragam tempur. Cukup atur lalu lintasnya saja. Kehadiran militer di tempat ibadah menunjukkan adanya ancaman yang nyata, dan keadaan tidak aman inilah yang seharusnya diatasi hingga ke akarnya.

Menempatkan aparat keamanan dan ormas seperti Banser untuk menjaga misa sejatinya adalah bentuk kegagalan kita sebagai bangsa yang beradab. Sebelum masa Reformasi, gereja-gereja cenderung lebih leluasa beribadah tanpa pengawalan berlebihan. Mengapa sekarang kita justru bergerak mundur?

Penegakan Hukum yang Gamang

Aksi intoleransi yang kian marak dan terang-terangan menunjukkan hilangnya wibawa hukum. Dahulu, orang berpikir dua kali untuk berbuat intoleran karena ada konsekuensi tegas. Kini, aparat keamanan terkadang terlihat hanya “menjaga” agar tidak terjadi bentrok terbuka, namun seolah membiarkan akar kekacauan tetap tumbuh. Bahkan, muncul kesan “mengawal” para perusuh.

Penyelesaian yang diambil sering kali bersifat semu dan hanya menyentuh permukaan. Para pelaku intoleransi jarang ditindak tegas atau diedukasi pola pikirnya. Hal ini diperparah oleh penegak hukum yang gamang—mungkin karena sebagian dari mereka sudah terkontaminasi ideologi ultra-kanan yang bertentangan dengan Pancasila.

Menagih Peran Negara dan Pemuka Agama

Lalu, siapa yang harus mengubah pola pikir mlengse ini? Jawabannya: Negara dan para pemuka agama. Sayangnya, keduanya sering kali “masuk angin”. Para tokoh nasionalis kerap kehilangan otonomi dan keberaniannya karena terlalu berorientasi pada kepentingan pemilu semata.

Negara ini sudah memilih Pancasila sebagai dasar dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan. Keanekaragaman adalah kodrat kita, bukan sesuatu yang harus diseragamkan paksa. Paham yang keliru harus diluruskan dengan tegas, bukan sekadar dianggap sebagai “salah paham” yang diredam demi harmoni semu.

Bukan siapa-siapa.

IntoleransikeamananNatalpolisiuud
Comments (0)
Add Comment