Menjadi seorang Katolik yang dibaptis dari sejak kecil, adalah salah satu konsekuensi yang saya terima. Saya tidak ingin mengubahnya.
Saya lahir di keluarga besar yang agamanya beragam. Tidak hanya Katolik dan Islam, namun ada Hindu dan Kristen.
Kami berhubungan dengan sangat baik. Mungkin karena hubungan antar keluarga saya yang baik, yang membuat saya memiliki mindset bahwa tidak ada orang jahat berdasarkan agamanya. Hingga saya tertampar dengan realita saat saya duduk di bangku SMP.
Ketika saya SMP, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah negeri yang memiliki peringkat baik di kota saya. Sejak Playgroup, saya mengenyam pendidikan di sekolahan Katolik. Saya, tentunya memiliki kekhawatiran cukup besar, mendengar cerita teman teman saya tentang diskriminasi, yang saat itu juga masih baru lulus SD.
Namun, saya yakin, saya bisa. Saya percaya bahwa seorang Katolik – yang dianggap sebagai minoritas, bisa survive di sekolah ini.
Dimulai dari ketertarikan saya untuk ikut serta dalam kepengurusan OSIS. Saat itu, saya mengajak teman sekelas, yang juga beragama Katolik untuk ikut mendaftar.
“OSIS itu nggak ada anak Katoliknya loh” katanya saat itu.
“Maka kita yang memulai,” kata saya.
Seleksi OSIS ini terbagi menjadi beberapa tahap, dan menggunakan sistem gugur. Aku dan keempat temanku tadi, berhasil sampai di tahap wawancara akhir.
Setelah wawancara, kami berkumpul dan saling berbagi cerita tentang pertanyaan apa saja yang kami dapat.
Ada satu pertanyaan sama yang ditujukan pada kami. “Kamu tahu kan kalau di OSIS belum pernah ada pengurus yang beragama Katolik?” Dan, kami memberikan jawaban yang sama.
Tak disangka, kami berlima berhasil masuk di OSIS, bahkan saya berhasil masuk menjadi kandidat Ketua OSIS!
Kami berlima sempat disepelekan oleh teman kelas kami. “Minoritas kok sok berani” katanya. Tapi ternyata kami bisa membuktikan bahwa kami mampu melakukan perubahan.
Munculnya kami berlima yang beragama Katolik di kepengurusan OSIS, rupanya mampu memunculkan bibit bibit berkualitas baru dalam kepengurusan OSIS yang juga beragama lain untuk berani mendaftar dan mencoba bergabung dengan kepengurusan ini.
Di tahun kedua kepengurusan, kami berlima berhasil membuktikan bahwa ‘menjadi minoritas bukan hambatan’. Aku berhasil menjabat sebagai sekretaris besar OSIS dan satu temanku menjadi bendahara besar OSIS. Dan tiga teman lainnya, menjadi kepala sekretariat bidang.
Bukan semata-mata untuk pamer. Tapi ingin memotivasi bahwa sebenarnya, menjadi kaum minoritas bukan menjadi penghambat untuk berani. Seperti apa yang disabdakan Tuhan Yesus untuk selalu menjadi garam dan terang dunia.
Kami berlima mampu menjadi penerang bagi adik adik kelas yang merasa minder karena merasa minoritas, dan kami berhasil menjadi garam yang melengkapi kepengurusan OSIS dengan sangat baik.
Kritik pedas dari orang luar tentunya banyak, tapi kami beruntung karena dalam kepengurusan ini kami benar benar diterima dengan baik karena kinerja kami yang baik. Bahkan tidak sedikit dari guru yang memberi pujian atas keberanian dan kinerja kami.
Justru karena kita minoritas, kita harus berani membuktikan bahwa kita ini tidak seburuk apa yang ada dipikiran orang-orang. Jadikan semua kritik pedas itu sebagai penyemangat kita. Karena Tuhan Yesus, selalu bersama dengan kita.
Penulis: Birgita Lintang Prasasti Nugraheni, Mahasiswi Universitas Airlangga
Editor: Basilius
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Proficiat dan teruslah menjadi garam dan terang dunia. Kita tidak mengenal dan merasa minoritas atau mayoritas. Tapi selalu panggilan untuk ikut “menggarami” sekitar kita.