Rengginang Ibu

Oleh Agustina Pujiastuti

Katolikana.com—Sudah tiga kali Perayaan Paskah kulewati di perantauan. Rasa amarahku pada ibu belum juga hilang, hingga kala itu ku putuskan pergi meninggalkan rumah dan ibu.

Namun, Paskah kali ini aku ingin merayakan bersama ibu. Rindu ibu meluluhkan amarahku untuk segera pulang kampung. Beberapa hari rasa sesak di dada karena rindu ibu menggelayut.

Tiket kereta api telah kudapatkan. Hari ini, dengan rindu membuncah aku mulai perjalanan pulang.

Sepanjang perjalanan, teringat kala ibu mengurungku di gudang belakang rumah. Teriakan dan tangisanku diabaikan oleh ibu, bahkan kakak-kakakku. Airmata menetes, ingat betapa keras hatiku kala itu.

Delapan jam perjalanan kereta api tak terasa. Dari stasiun, aku melanjutkan perjalanan menggunakan ojek online. Sudah terbayang pelukan ibu yang selama tiga tahun tidak pernah kurasakan.

Tiba di halaman rumah, Mbak Rini menyambut dan memelukku erat. Tangisan kami berdua pecah begitu saja tanpa berucap apa pun. Digandeng dan diajaknya aku masuk rumah ibu yang tidak banyak mengalami perubahan.

Aku duduk di ruang tengah, menarik nafas panjang, mengatur hati sebelum masuk ke kamar ibu. Mbak Rini tiba-tiba entah pergi kemana. Setelah nafasku teratur, kulangkahkan kaki perlahan, membuka kamar ibu.

Kamar kosong tetapi tersusun rapi. Beberapa perabot masih seperti dulu, fotoku terpajang di dinding kamar ibu. Kurebahkan tubuhku di ranjang ibu, hingga aku terlelap.

“Dik, sudah sore, bangun, mandi lalu kita makan! ” Mbak Rini membangunkanku.

Aku berjalan menuju dapur, masih berusaha mencari ibu, tapi tidak juga kutemukan. Kaleng biskuit berada di meja makan. Aku tersenyum, ingat jebakan batman dari ibu, biskuit rasa rengginag.

Kubuka, isinya biskuit, bukan rengginang. Tumben, ibu tidak mengisi rengginang, kutanyakan hal itu pada Mbak Rini.

“Ibu, sudah meninggal tiga bulan lalu, dik. Kami tidak tahu keberadaanmu. Maafkan kami!”

Seketika, tubuhku lemah, airmata mengalir tak bisa berucap. (*)

Yogyakarta, 9 April 2025