Oleh Shintia Dian Arwida
Katolikana.com—Pagi itu, Labuan Bajo masih enggan bangun dari kantuknya. Matahari baru saja menyentuh atap-atap rumah, tapi suara dari dapur kecil di sudut gang sempit itu telah menghidupkan pagi.
Bukan suara tawa, bukan pula percakapan. Hanya desisan minyak dalam wajan, pelan namun tegas, seolah menyampaikan bahwa ada kehidupan yang tetap bertahan dalam senyap.
Tiara berdiri di depan kompor, tubuhnya diliputi aroma tumisan bawang merah yang baru saja ia masukkan ke wajan. Ia memecahkan sebutir telur dengan satu tangan—kebiasaan yang ia pelajari dari ibunya.
Pinggiran telur mulai mengeras dan berubah kecoklatan, mengingatkannya pada pagi-pagi penuh kasih sayang yang dulu akrab ia nikmati. Setiap gerakan tangannya saat mengaduk nasi dilakukan dengan ritme lambat, hampir seperti doa yang tak pernah selesai dibisikkan.
Setelah belasan tahun, Tiara masih memasak nasi goreng dengan cara yang sama seperti yang diajarkan ibunya. Bumbu-bumbu sederhana: bawang, kecap manis, sedikit garam, dan telur. Tapi dari kesederhanaan itu, lahir rasa yang penuh kenangan.
Ibunya biasa berkata, “Cinta sejati itu seperti nasi goreng, sederhana tapi mengenyangkan.” Kalimat yang dulu terdengar konyol, kini menjadi mantra yang selalu mengendap di hati Tiara.
Ia kehilangan ibunya tepat seminggu sebelum Paskah, di usia dua belas tahun. Saat teman-teman seusianya belajar melipat pita rambut dan menghias telur Paskah,
Tiara sedang berusaha memahami bagaimana dunia bisa begitu cepat merenggut satu-satunya pelukan yang paling ia kenal. Nasi goreng—yang awalnya hanya sarapan biasa—menjadi jembatan sunyi antara dirinya dan kenangan yang terus mengendap.
Dalam keheningan pagi, bayangan lain muncul. Cinta pertamanya.
Ia mengenalnya di gereja. Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan dan senyum malu-malu. Mereka berdua terlibat dalam tablo Paskah di sekolah—Tiara sebagai Maria Magdalena dan dia sebagai Simon dari Kirene.
Setelah latihan, mereka duduk di tangga belakang kapel dan berbagi bekal. Si pemuda sering mencuri sesendok nasi goreng dari kotak makan Tiara sambil berkata, “Masakan ibumu membuatku betah datang misa.”
Dan pada suatu Paskah, ia memberanikan diri membawakan nasi goreng buatannya sendiri. Telurnya hangus, nasinya kurang asin. Tapi Tiara menghabiskannya sampai butir terakhir. “Ini… nasi goreng rasa cinta,” katanya sambil tersipu.
Namun cinta muda itu tak sempat tumbuh dewasa. Malam Tahun Baru ketika mereka berdua baru menginjak usia delapan belas, Tiara menerima kabar bahwa pemuda itu menjadi korban penusukan dalam perkelahian yang tidak pernah ia pahami. Dunia runtuh lagi. Sejak saat itu, Paskah selalu membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya—sebuah campuran getir antara kehilangan dan harapan penebusan.
Nasi goreng di atas wajan kini telah matang. Tiara menuangkannya ke atas piring putih polos. Ia menunduk sejenak, membisikkan doa dalam hati. Untuk ibunya. Untuk cinta pertamanya. Untuk semua kenangan yang tertinggal di antara sendok dan garpu.
Ketika suapan pertama masuk ke mulutnya, rasanya tidak luar biasa. Tidak istimewa. Tapi cukup. Cukup untuk membuat hatinya hangat. Cukup untuk membuat air mata menetes tanpa disadari. Dan cukup untuk membuatnya merasa bahwa ia tidak sendiri.
Dapur kecil itu, dengan dinding yang mulai mengelupas dan jendela yang tak lagi bisa ditutup sempurna, menjadi ruang suci pagi itu. Sebuah altar kenangan, di mana cinta dan kehilangan bersatu dalam aroma nasi goreng.
Kehidupan terus berjalan, pikir Tiara. Tapi tak apa jika sesekali ia berhenti di titik ini, menyantap masa lalu, meneguk kenangan, dan tersenyum pada yang pernah hadir. Karena dalam hidup, terkadang yang paling abadi bukanlah waktu atau tempat—melainkan rasa.
Dan pagi itu, dalam keheningan Labuan Bajo, rasa itu bernama: nasi goreng. (*)
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.