Oleh Febriola Sitinjak
Katolikana.com — Tidak semua dari kita bisa melakukan hal-hal besar, tetapi kita semua bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Kalimat sederhana ini adalah cermin dari jiwa Bunda Teresa: kecil dalam tubuh, besar dalam kasih.
Seorang perempuan yang tanpa gembar-gembor merevolusi makna cinta—bukan dengan kekuatan, tetapi dengan kelembutan. Bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan kesetiaan pada yang miskin, yang terlupakan, dan yang tertolak.
Lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu pada 26 Agustus 1910 di Skopje, kini bagian dari Republik Makedonia Utara, ia tumbuh dalam keluarga Katolik Albania yang sederhana namun penuh semangat pelayanan.
Sejak kecil, ibunya menanamkan nilai kemurahan hati. Dari dapur sederhana mereka, Drana, sang ibu, kerap berbagi makanan untuk orang miskin. Dan dari rumah itulah, kasih Bunda Teresa untuk dunia bermula.
Panggilan dalam Panggilan
Pada usia 18 tahun, Agnes meninggalkan keluarganya dan bergabung dengan Kongregasi Suster Loretto di Irlandia. Ia dikirim ke India dan mengajar di Sekolah St. Mary, Kalkuta. Selama dua dekade, ia hidup sebagai guru. Namun panggilannya belum selesai.
Dalam sebuah perjalanan ke Darjeeling pada 1946, ia mengalami “panggilan dalam panggilan”. Dalam keheningan spiritual, ia merasa Yesus memintanya keluar dari biara dan hidup bersama mereka yang paling menderita.
Dengan izin Vatikan, ia mengenakan sari putih bergaris biru—lambang kerendahan hati dan pengabdian kepada kaum miskin India. Ia tidak hanya meninggalkan biara; ia memasuki dunia yang terlupakan oleh banyak orang: lorong-lorong kumuh, rumah-rumah pengungsi, dan tempat orang-orang sekarat dibiarkan sendiri.
Kasih dalam Duka dan Gelap
Yang istimewa dari Bunda Teresa bukan hanya tindakannya, tetapi juga kejujurannya tentang pergulatan rohani. Dalam surat-surat pribadinya yang dikumpulkan dalam buku Come Be My Light, ia menulis tentang kekosongan iman yang panjang, bahkan keraguan akan kehadiran Tuhan. Namun, di tengah gelap itu, ia memilih tetap mencintai.
“Penyakit terbesar bukanlah TBC atau kusta, tetapi rasa tidak dicintai,” katanya. Bagi Bunda Teresa, kasih bukanlah perasaan manis yang datang dan pergi. Kasih adalah komitmen. Ia percaya bahwa dalam wajah mereka yang sekarat, ia melihat wajah Yesus sendiri.
Tahun 1950, ia mendirikan Kongregasi Misionaris Cinta Kasih. Tidak ada janji kekayaan atau kemudahan. Namun para suster yang bergabung diajak untuk merawat yang sakit, yang sekarat, yang ditolak bahkan oleh keluarganya sendiri. Bagi Bunda Teresa, pelayanan bukan soal hasil spektakuler, melainkan tentang kehadiran. Tentang berada di sisi seseorang yang akan meninggal, dan memegang tangannya.
Ia berkata, “Rumah adalah tempat kasih dimulai. Bukan seberapa banyak yang kita lakukan, tetapi seberapa besar cinta yang kita berikan dalam melakukannya.”
Pada 1979, Bunda Teresa dianugerahi Nobel Perdamaian. Ia datang tanpa gaun mewah, hanya mengenakan sari khasnya. Ia menyampaikan pidato sederhana: “Kalau kalian ingin menyembuhkan dunia, pulanglah dan cintai keluargamu.”
Namun seperti banyak orang besar, ia juga dikritik. Sebagian menilai pelayanannya terlalu menekankan penderitaan dan spiritualisasi kemiskinan. Beberapa mempertanyakan standar medis di rumah-rumah yang dikelola kongregasinya. Ia tetap bersikukuh: bahwa tugas Gereja adalah mencintai, bukan mengubah dunia dengan sistem, melainkan dengan kehadiran.
Warisan yang Tak Padam
Bunda Teresa wafat pada 5 September 1997. Namun kasihnya tidak padam. Paus Yohanes Paulus II memulai proses beatifikasinya hanya dua tahun setelah wafatnya. Dan pada 4 September 2016, ia dikanonisasi menjadi Santa Teresa dari Kalkuta oleh Paus Fransiskus di Vatikan, di hadapan puluhan ribu peziarah.
Kongregasi yang ia dirikan kini tersebar di lebih dari 130 negara. Namun yang lebih penting: jutaan orang terinspirasi untuk hidup lebih sederhana, lebih penuh kasih, dan lebih dekat dengan mereka yang sering diabaikan.
Bunda Teresa mengingatkan kita bahwa kekudusan bukan milik mereka yang sempurna. Kekudusan dimulai dari hal kecil: secangkir air untuk yang haus, seulas senyum untuk yang lelah, sehelai doa untuk yang terluka.
Di era modern yang penuh dengan hiruk-pikuk media sosial, polarisasi, dan keletihan spiritual, warisan Bunda Teresa menjadi lentera kecil yang tidak pernah padam. Ia mengajak kita berhenti sejenak, melihat sesama bukan sebagai ancaman, tapi sebagai saudara yang perlu dirangkul.
Karena kasih tidak selalu mengubah sistem, tetapi kasih dapat menyembuhkan jiwa. Dan itu cukup untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik.
“Kita dipanggil bukan untuk sukses, tetapi untuk setia.” – Bunda Teresa
Mari kita setia. Dengan kasih yang kecil. Tapi dengan cinta yang besar. (*)
Penulis: Febriola Sitinjak – Mahasiswa STP St. Bonaventura KAM
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.