Oleh Yutta Sihing Gusti
Katolikana.com — Di masa kecil, mungkin kita pernah begitu meyakini bahwa menjadi Ultraman adalah impian yang paling masuk akal di dunia.
Sosok pahlawan galaksi yang dengan gagah berani menumpas monster raksasa sambil tanpa beban merubuhkan gedung-gedung pencakar langit di tengah kota—terlihat sangat menyenangkan.
Imajinasi masa kanak-kanak memang tidak kenal batas, dan dari situlah kita mulai membayangkan bentuk kebahagiaan dan makna hidup versi kita sendiri.
Namun semua itu perlahan runtuh begitu kita duduk di bangku sekolah dasar. Kita mulai “dituntun” untuk memeluk cita-cita yang lebih “realistis”: dokter, guru, polisi—daftar profesi yang tampaknya sudah disediakan sistem dan tak bisa ditawar.
Mimpi menjadi Ultraman kini hanya menjadi cerita lucu dalam ingatan.
Lalu, saat memasuki masa remaja—ketika hormon testosteron sedang mendidih—impian kita pun berevolusi: menjadi Rockstar.
Dengan rambut gondrong, kaos lusuh, gitar distorsi, dan mimik murung ala Kurt Cobain, kita membayangkan diri tampil di atas panggung, dipuja, dan menjadi simbol perlawanan.
Rasanya keren, bukan? Hingga satu titik, kita mulai menyadari: mimpi itu pun mungkin hanya sebentuk pelarian dari kenyataan.
Dan tibalah kita di fase dewasa: mulai bekerja, merancang masa depan yang “aman”. Menjadi teller bank, marketing, atau staf korporat.
Menikah, mencicil KPR, lalu pensiun dan tua dalam ketenangan. Stabil, mapan, wajar—meskipun sesekali terdengar membosankan. Tapi siapa yang berani bertaruh melawan skenario ini?
Antara Bebas dan Bingung
Hidup ternyata bukan sekadar garis lurus dari A ke Z. Ia penuh persimpangan. Tiap pilihan datang dengan kemungkinan salah, dengan rasa cemas yang tak jarang berubah jadi penyesalan.
Bahkan dalam keputusan-keputusan paling rasional pun, kita tetap bisa merasa menyesal di kemudian hari. Kenapa? Karena hidup bukan matematika. Ia lebih mirip puisi—penuh makna ganda, interpretasi, dan kadang absurd.
Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, mengatakan bahwa “manusia dihukum untuk bebas.”
Kalimat itu, bagi sebagian orang, terasa membingungkan. Tapi jika direnungkan lebih dalam, ia menggambarkan realitas yang sangat manusiawi. Kebebasan bukan hadiah. Ia adalah beban. Kita bebas memilih, dan karena itulah kita bertanggung jawab atas segala konsekuensinya—baik ataupun buruk.
Kebebasan mengharuskan kita terus memilih, dan setiap pilihan berisiko. Kita tak bisa menyalahkan siapa pun. Kita sendirilah yang menentukan jalan hidup kita. Kita bukan hasil dari nasib, tapi dari pilihan-pilihan yang kita buat.
Antara Eksistensi dan Kerapuhan
Namun di balik gemerlap kebebasan itu, kita juga melihat betapa rapuhnya manusia. Filsuf Jerman, Karl Jaspers, mengidentifikasi empat batas eksistensial manusia: kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan. Keempat batas ini bukan untuk ditakuti, melainkan diakui sebagai bagian dari kemanusiaan kita.
Pilihan yang kita buat, kebebasan yang kita miliki, sering kali berbenturan dengan batas-batas itu. Kita memilih, berharap berhasil. Tapi saat gagal, kita merasa remuk. Kita mulai meragukan diri sendiri, mempertanyakan hidup, bahkan takut untuk memilih lagi.
Di sinilah letaknya kekuatan refleksi: menyadari bahwa kesalahan bukanlah akhir, melainkan bagian dari pertumbuhan. Bahwa penderitaan bisa memperhalus hati. Bahwa perjuangan adalah jalan menuju pengertian yang lebih dalam. Dan bahwa kematian, pada akhirnya, adalah pengingat agar kita hidup dengan sepenuh hati.
Ilusi Akhir Sejarah
Saya—seperti banyak orang di usia 20-an—sering terjebak dalam apa yang disebut para psikolog sebagai The End of History Illusion atau Ilusi Akhir Sejarah. Ini adalah bias kognitif yang membuat kita yakin bahwa siapa kita hari ini adalah versi final dari diri kita.
Kita merasa tidak akan banyak berubah lagi di masa depan, padahal kita sadar betapa besarnya kita telah berubah dari masa lalu.
Lihatlah ke belakang, sepuluh tahun lalu. Apakah Anda masih sama dengan diri Anda yang sekarang? Mungkin Anda tertawa melihat cita-cita, gaya hidup, atau nilai-nilai Anda yang dulu. Sekarang, coba lihat ke depan, sepuluh tahun ke depan. Mengapa kita tidak bisa membayangkan perubahan yang sama?
Ilusi ini membuat kita egois terhadap masa depan. Kita membuat keputusan seolah-olah kita akan selalu tetap sama. Padahal, manusia adalah makhluk yang selalu bertumbuh—baik melalui pengalaman, luka, kegagalan, maupun cinta.
Menghidupi Perubahan
Tidak ada yang salah dengan pernah ingin menjadi seperti Kurt Cobain. Itu bagian dari kebebasan. Yang jadi masalah adalah ketika kita menganggap bahwa pilihan itu bersifat mutlak dan tidak bisa direvisi. Bahwa satu kesalahan menentukan seluruh hidup kita. Bahwa sekali salah, selamanya salah.
Padahal, hidup adalah esai panjang—bukan pilihan ganda. Ia bukan soal benar atau salah, tapi tentang bagaimana kita belajar dari setiap kalimat yang kita tulis. Setiap paragraf bisa kita revisi. Setiap kesalahan bisa menjadi pelajaran. Kita punya ruang untuk berubah.
Sartre benar: kebebasan adalah hukuman. Tapi dalam hukuman itu ada rahmat. Kita diberi ruang untuk menulis ulang hidup kita. Untuk memperbaiki, memperhalus, bahkan memulai dari awal.
Hidup adalah Teks yang Terbuka
Dalam dunia yang penuh tekanan untuk “menjadi sesuatu”, barangkali yang kita butuhkan hanyalah kesediaan untuk terus berubah. Untuk mengakui bahwa diri kita hari ini bukan versi terbaik kita, melainkan versi sementara. Bahwa kita sedang menulis. Dan tulisan itu belum selesai.
Maka saat Anda memilih—entah pekerjaan, pasangan, atau jalan hidup—biarkan ada ruang untuk perubahan. Biarkan masa depan punya andil dalam membentuk siapa Anda. Biarkan kesalahan menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.
Dan yang terpenting, teruslah menulis. Karena hidup bukan pilihan ganda. Ia adalah esai panjang. Dan Anda, adalah penulisnya. (*)
Penulis: Yutta Sihing Gusti, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.