Deus Ibi Est?
Tuhan selalu memberi apa yang kubutuhkan—bahkan lebih, dengan cara dan waktu yang tepat. Deus ibi est. Tuhan ada di sana.

Oleh Rikha Emyya Gurusinga

SEJAK awal kuliah, aku belajar satu hal: jangan main-main dengan aturan. Mungkin aku tidak sepintar beberapa teman yang selalu bisa menjawab pertanyaan dosen dengan enteng, tapi aku yakin kedisiplinan bisa menjadi jalanku.

Tugas kukerjakan sebaik mungkin, absen kuusahakan penuh, dan setiap instruksi dosen kucatat hati-hati di buku kecil yang selalu kubawa.

Namun, ada satu sosok dosen yang selalu membuatku waspada. Beliau terkenal keras, tegas, tidak bisa diajak kompromi. Di kelas, suaranya yang lantang bisa membuat mahasiswa lain terdiam.

Banyak yang bilang, “Kalau bisa jangan sampai dibimbing sama beliau. Bisa stres setengah mati.” Aku mengangguk setuju. Bahkan diam-diam aku sering berdoa: “Tuhan, jangan sampai aku berurusan langsung dengannya.”

Semua berjalan normal sampai suatu sore, notifikasi WhatsApp memenuhi layar ponselku. Grup angkatan mendadak ramai. Admin membagikan file PDF: pengumuman dosen pembimbing skripsi.

Tanganku gemetar saat membuka file itu. Aku gulir pelan mencari namaku. Dan di sana, tertulis jelas: Pembimbing: Bapak yang paling kuhindari. Dunia seolah berhenti berputar.

Aku menutup layar ponsel, lalu membukanya lagi, berharap aku salah baca. Tapi tidak. Nama itu tetap ada di sana, menempel di samping namaku seperti sebuah ironi yang pahit.

Sejenak aku hanya terdiam, lalu membaca komentar di grup. “Wah, aku dapet dosen favorit!” tulis seorang teman dengan emotikon senyum. “Aku juga, seneng banget bisa bimbingan sama beliau,” sambung yang lain.

Dadaku panas. Aku mengetik pesan pribadi ke sahabatku, “Kenapa Tuhan begini ya? Kenapa aku, yang selama ini serius kuliah, malah dapat dosen yang paling kutakuti? Sementara mereka yang santai justru dapat pembimbing yang mereka mau?”

Pesanku terkirim, tapi jawabannya tidak benar-benar menenangkan. Hanya kalimat, “Sabar ya, mungkin ada maksudnya.”

Hari-hari pertama terasa berat. Aku mendatangi ruangannya dengan langkah kaku, seolah menuju ruang interogasi. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaanku. Beliau memang tidak pernah berubah: keras, cepat bicara, dan tidak suka basa-basi.

Tapi di balik ketegasannya, ada satu hal yang kurasakan: ketulusan untuk membantu. Setiap draft skripsiku diperiksa detail. Beliau menandai kalimat yang tidak efektif, menggarisbawahi teori yang kurang tepat, bahkan menunjukkan buku referensi yang bisa kupakai.

Aku pernah keluar dari ruangannya dengan hati campur aduk. Antara lega karena ada kemajuan, tapi juga perih karena tegurannya begitu tajam. Namun semakin sering aku bimbingan, semakin kusadari: beliau justru mempercepat langkahku. Tidak ada waktu terbuang untuk basa-basi.

Tidak ada janji bimbingan yang ditunda berbulan-bulan. Semua jelas, tegas, dan langsung menuju sasaran. Skripsi yang awalnya kurasa akan menjadi jalan penuh duri, justru melaju lebih cepat dari dugaan.

Hingga tiba saatnya aku duduk di depan meja hijau, menjawab pertanyaan penguji, dan akhirnya mendengar kalimat yang paling kutunggu: “Lulus.”

Aku menutup mata sejenak. Air mata menggenang. Dalam hati aku berbisik, “Tuhan, ternyata Engkau hadir lewat orang yang paling kuhindari. Kalau bukan beliau pembimbingku, mungkin aku masih terjebak di bab dua sampai sekarang.”

Namun, kelulusan bukanlah akhir cerita. Justru di situlah babak baru dimulai. Sejak lama, bahkan sebelum penelitian, aku sudah sibuk menanyakan lowongan pekerjaan. Aku melamar ke banyak tempat.

Beberapa wawancara kuikuti, tapi hasilnya selalu sama: “Kami akan menghubungi Anda kembali.” Aku menunggu. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak ada kabar.

Di saat yang sama, aku melihat teman-temanku mulai memamerkan kabar gembira.
Ada yang bekerja di perusahaan besar karena kenalan keluarganya. Ada pula yang masuk ke kantor pemerintah karena punya orang dalam. Bahkan teman yang dulunya sering menyepelekan kuliah, kini lebih dulu sibuk dengan rutinitas kerjanya.

Aku iri. Lebih dari itu, aku marah. Malam-malamku penuh tangis. “Tuhan, di mana Engkau? Mengapa mereka yang santai justru lebih dulu berhasil? Sementara aku, yang sudah berjuang keras, tetap tidak ada kepastian? Apakah semua perjuanganku sia-sia?”

Ada malam ketika aku berlutut lama sekali. Tidak ada kata-kata keluar, hanya tangis. Aku merasa doa-doaku melayang tanpa jawaban. Seolah-olah Tuhan bersembunyi di balik dinding bisu.

Namun, seperti kisah dosen pembimbing itu, jawaban Tuhan sering datang dengan cara yang tak terduga.

Beberapa bulan sebelum wisuda, sebuah tawaran datang dari lembaga yang bahkan tidak pernah kusangka. Bukan perusahaan yang dulu kukejar mati-matian, bukan kantor yang sering kudoakan secara spesifik.

Tempat ini berbeda. Lingkungan kerjanya sehat, orang-orangnya ramah, dan—yang membuatku tertegun—kebutuhan pokok para pegawainya difasilitasi. Makanan, tempat tinggal, bahkan beberapa kebutuhan dasar sudah tersedia. Gajinya layak, suasananya nyaman, dan masa depannya menjanjikan.

Saat aku menatap tanda tangan di atas kontrak kerja itu, aku tersenyum dalam hati. Tempat ini bukan hanya pekerjaan, tapi rumah baru. Bukan hanya gaji, tapi juga rasa tenang.

Lingkungan yang baik, kebutuhan dasar yang terjamin, dan orang-orang yang saling menopang—semua itu tak pernah ada dalam rencanaku, tapi justru menjadi kenyataan yang kini kujalani.

Dan di sanalah aku belajar satu hal yang paling penting: Hidup tidak pernah berjalan sesuai rumus yang kususun. Aku bisa berjuang keras, aku bisa merencanakan dengan detail, tapi pada akhirnya ada kuasa yang lebih besar yang menuntun arah langkah.

Aku ingat keluh kesahku dulu—merasa Tuhan tidak adil, merasa doa hanya menggantung di langit tanpa jawaban. Tetapi kini aku melihat ke belakang, dan setiap titik yang tampak gelap ternyata sedang digoreskan Tuhan untuk membentuk jalan terang.

Belajar dari skripsi, aku sadar: terkadang orang yang paling kita hindari justru menjadi alat Tuhan untuk mempercepat langkah kita. Belajar dari penantian pekerjaan, aku mengerti: terkadang keterlambatan bukanlah hukuman, melainkan cara Tuhan menyiapkan sesuatu yang lebih indah.

Tuhan memang tidak selalu memberi apa yang kuinginkan. Tapi Ia selalu memberi apa yang kubutuhkan—bahkan lebih, dengan cara dan waktu yang tepat. Deus ibi est. Tuhan ada di sana.

Bukan hanya di gereja, bukan hanya di doa yang kusuarakan, tapi juga di setiap peristiwa hidup yang awalnya terasa pahit. Ia hadir di wajah seorang dosen yang keras, di grup WhatsApp yang membuatku menangis, di penantian panjang tanpa kepastian, dan akhirnya… di tempat kerja yang jauh lebih indah dari sekadar bayanganku.

Aku menutup mataku malam itu dengan damai, berbisik pada diriku sendiri: Jika suatu hari aku kembali merasa Tuhan bersembunyi, aku hanya perlu melihat lebih dalam. Karena sesungguhnya, Ia selalu ada. Tidak pernah pergi. Tidak pernah sekalipun meninggalkan. (*)


Rikha Emyya Gurusinga, alumna STP Bonaventura KAM

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Comments (0)
Add Comment