Batik Jolawe Kembangkan Batik Ramah Lingkungan

0 0

Katolikana.com—Dedi H Purwadi (59), pemilik BatikJolawe, mengembangkan batik tulis berbahan pewarna alami. Setelah sempat menjadi jurnalis selama 14 tahun, Dedi mulai menekuni ketertarikannya terhadap batik.

“Waktu itu istri saya sedang belajar membatik, lalu dibawa pulang ke rumah dan saya melihat bagaimana caranya. Akhirnya, sambil menjadi trainer jurnalis saya ikut belajar menekuni batik dari istri saya,” ujar Dedi kepada Katolikana, Sabtu (3/10/2021).

Dedi menjelaskan, prinsip pengerjaan Batik Jolawe 80 persen prosesnya sama dengan batik sintesis. Namun 20 persen perbedaannya terletak pada saat treatment awal dan pada bahan warna maupun kekuatan pewarnaan. Batik dengan pewarna  alami membutuhkan pencelupan tidak hanya sekali, namun beberapa kali.

“Sebenarnya tidak mudah untuk membatik dengan pewarna alami. Ada penyiapan kain khusus yang sudah direbus dengan tawas agar daya ikat kain dengan pigmen warna bisa mengikat warna alami. Kemudian proses pewarnaan jauh lebih lama karena butuh proses pencelupan berulang-ulang,” jelasnya.

“Jika hal itu tidak dilakukan maka saat dilorot, bisa lepas atau pun berkurang kepadatan warnanya,” imbuhnya.

Dari Pewarna Sintetis ke Alami

Tahun 2009, Dedi dan istrinya telah berkecimpung dalam bisnis batik. Namun, mereka masih menggunakan bahan dasar pewarna sintetis.

Namun, sadar akan dampak buruk yang ditimbulkan oleh pewarna sintetis, seperti pencemaran lingkungan dan efek kesehatan, membuat Dedi memutuskan untuk mengganti bahan pewarna sintetis dengan pewarna alami, meski menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

“Ternyata ada bahan atau pencetus warna, seperti napthol, kostik, itu sifatnya korosif. Ada juga indigosol yang harus dikunci dan dibangkitkan dengan asam florida dan natrium nitrit, yang menyebabkan uap yang keluar dapat mengganggu pernafasan dan paru-paru,” ungkapnya.

Pembuatan batik tulis. Foto: batikjolaweyogya.blogspot.com/

Lebih Mahal?

Menurut Dedi, harga Batik Jolawe relatif lebih tinggi tiga hingga empat kali lipat dari pada batik sintetis, karena aspek waktu dan tenaga yang dibutuhkan lebih besar.

“Kalau bicara murah dan mahal itu tergantung setiap individu. Namun, yang jelas memang lebih tinggi dari batik yang menggunakan sintetis dan tergantung juga dengan kerumitan proses pengerjaan permintaan konsumen,” jelasnya.

Dedi menggunakan beragam tanaman, seperti akar, batang, daun, maupun buah. Lalu, limbah seperti kulit rambutan atau serabut kayu untuk diambil pigmennya.

“Meski pewarna alami masih terdapat limbah padat maupun cair, akan tetapi limbah padat alami ini bisa menjadi pupuk dan limbah cair sisa air bilasan, bisa dipakai untuk menyiram tanaman,” ujarnya.

Tujuan penggunaan pewarna alami ini terkait isu kesehatan dan keamanan. Tak hanya sekadar membeli atau membuat produk ramah lingkungan, produsen juga mampu memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitarnya, tanpa menghasilkan pencemaran lingkungan.

Dalam proses pembuatan, Batik Jolawe sangat bergantung pada alam dengan mengandalkan cuaca.

“Untuk mengeringkan satu tahap saja butuh waktu seharian. Terlebih, proses pewarnaan Batik Jolawe bertahap dan bisa dilakukan berulang kali sampai mendapatkan sesuai warna yang diinginkan,” jelasnya.

“Tuhan telah menciptakan dan menyediakan alam yang bisa kita manfaatkan untuk kelangsungan hidup. Itulah anugerah kita sebagai manusia,” tambah Dedi.

Menurut Dedi, pemakaian bahan pewarna alami merupakan bagian dari proses substansial ucapan syukur atau terima kasih bahwa kita sebagai manusia bisa hidup di sekitar lingkungan yang ditumbuhi berbagi tanaman.

“Kita bisa mengambil manfaat ekonomi tanpa harus mencemari lingkungan. Terlebih, bila kita terus menjaga dengan menanam Kembali. Maka, kita akan terus menerus bisa memperbanyak manfaatnya. Selain itu, kita juga berkontribusi untuk memberikan oksigen,” ujarnya.

Hasil produksi Batik Jolawe. Foto: batikjolaweyogya.blogspot.com

Butuh Pemahaman dan Komunikasi

Bagi Dedi, proses pemahaman dan komunikasi kepada konsumen harus dilakukan dari awal seperti penyampaian tentang konsistensi warna, untuk menghindari miss-komunikasi dan kerugian keduanya.

“Tentang permintaan warna, biasanya saya menyampaikan bahwa untuk mendekati warna yang diinginkan mungkin bisa. Namun, kalau persis tidak bisa. Pada umumnya, konsumen yang memesan batik dengan pewarna alami ini sudah memahami karakteristik dari Batik Jolawe,” tegasnya.

Ia memaklumi bahwa dalam dunia bisnis tidak selamanya enak dan selalu terdapat risiko di dalamnya.

“Waktu pandemi ini memang agak berkurang, bahkan pernah tidak ada sama sekali orderan dan omset nol. Tapi saya selama ini merasa senang saja untuk menghadapi, karena kalau melihat orang lain sampai ada yang bangkrut dan saya masih bisa bertahan,” ungkapnya.

Untuk perajin yang tetap ingin menggunakan bahan sintetis, Dedi berpesan untuk mengikuti SOP bekerja yang benar. Sebab, dampak buruk yang ditimbulkan bisa ke dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.

Hal ini juga dapat menimbulkan konflik. Namun jika ingin mengubah ke pewarna alami maka produsen harus siap, karena target atau pemasaran belum seluas pewarna sintetik.

“Memang harus pelan-pelan mengedukasi dan memberi informasi lengkap secara terus-menerus,” terangnya.

“Selain itu, belajar untuk terus bereksperimen agar menghasilkan warna yang sedang tren. Begitu pun desain, jika sama dengan batik pada umumnya maka batik dengan pewarna alami tidak bisa lebih tinggi nilai kompetitifnya dibandingkan pewarna sintetik yang bisa dijual dengan harga murah.”

Dedi berharap, pemerintah dan masyarakat bisa lebih banyak mendukung pembuatan batik dengan pewarna alami.

Jika tidak, maka permasalahan dalam industri batik akan menuai masalah lingkungan dan kesehatan yang jauh lebih besar dan dampak dampak yang muncul semakin tak terkendali.

“Bisa dilakukan edukasi sejak dini di kalangan anak muda, misalnya dalam pembelajaran membatik di Sekolah Dasar dilakukan pengenalan dan praktik pembuatan batik dengan pewarna alami untuk membangun pemahaman produk yang lebih ramah lingkungan dan sehat,” pungkasnya.**

Pribadi yang terus belajar dan berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Mahasiswa asal Pandaan, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.