Gereja Keuskupan Sintang Berjalan Bersama Suku Dayak

Di Keuskupan Sintang, suku Dayak tersebar di tiga Kabupaten: Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Masing-masing suku memiliki bahasa, kebiasaan dan adat-istiadatnya masing-masing.

0 628
Oleh RD. Gregorius Nyaming

“Gereja masih harus terus-menerus belajar dan memperbaharui diri dalam menjalankan tugas perutusannya mewartakan Injil. Kita pun diajak ikut berjalan bersama, sembari pula bertanya bagaimana karya pelayanan Gereja dijalankan di belahan bumi Nusantara ini, terlebih di kawasan yang bersinggungan dengan suku-suku asli, misalnya di Papua ataupun Kalimantan.”

Kutipan di atas bersumber dari tulisan Romo T. Krispurwana Cahyadi, SJ di Majalah Hidup edisi No.39. Apa yang tertuang dalam tulisan itu disampaikan oleh penulis dalam rangka merefleksikan kunjungan Paus Fransiskus ke Kanada (24-30 Juli 2022).

Membaca buah-buah refleksi dari Romo T. Krispurwana Cahyadi, menggugah saya sebagai seorang pastor asal Kalimantan, untuk sedikit berbagi pengalaman pergumulan dalam mewartakan Injil di tengah-tengah suku Dayak. Secara khusus, suku Dayak yang ada di Keuskupan Sintang, tempat saya mengabdikan diri.

Di Keuskupan Sintang, suku Dayak tersebar di tiga Kabupaten: Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Masing-masing suku memiliki bahasa, kebiasaan dan adat-istiadatnya masing-masing.

Harus jujur diakui kalau dalam tugas perutusannya mewartakan Injil, para pelayan pastoral kerap kali mengalami tantangan, kesulitan dan pergumulan saat berhadapan dengan tradisi, budaya dan kepercayaan lokal suku Dayak.

Bagi saya pribadi, pertanyaan retorik Simon Petrus kepada Yesus, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?”, kerap mengusik sanubari ketika menyaksikan saudara-saudariku orang Dayak yang sudah sekian lama memeluk agama Katolik, namun pada saat yang sama masih setia menjalankan tradisi dan adat istiadat warisan nenek moyang.

Bila bagi Simon Petrus kata-katanya tersebut lebih sebagai penegasan bahwa mereka tidak akan pergi, sebab perkataan Yesus adalah perkataan hidup yang kekal dan mereka telah percaya dan tahu, bahwa Yesus adalah yang kudus dari Allah, karena itu mereka tidak akan pergi meninggalkan-Nya seperti murid-murid lain yang mengundurkan diri (Lih. Yoh. 6:25-71), tidaklah demikian bagi saya. Kata-kata Simon Petrus itu lebih sebagai sebuah bentuk pergumulan pastoral.

Pengalaman yang saya jumpai ketika selama dua tahun berkarya di paroki Ambalau barangkali dapat menjadi contoh bagaimana tantangan, kesulitan, dan pergumulan dalam mewartakan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat, nyata adanya.

Paroki Ambalau bersama dengan Paroki Serawai dihuni oleh mayoritas suku Dayak Uud Danum. Harus saya akui tradisi dan kebiasaan suku Dayak Uud Danum, dalam beberapa hal sungguh berbeda, untuk tidak hendak mengatakan sangat jauh berbeda, dari tradisi dan kebiasaan suku Dayak lain di wilayah Keuskupan Sintang.

Orang-orang duduk menghadap matahari terbit untuk mengundang roh atau dehiyang baik agar memberikan kesehatan, kesejahteraan, dan menghindarkan segala marabahaya. (Foto: Severianus Endi/BeritaBenar)

Peristiwa sekitar kematian barangkali merupakan salah satu bagian unik dalam suku Dayak Uud Danum. Jika ada warga meninggal, jenasahnya harus disemayamkan selama tiga hari tiga malam di dalam rumah.

Suasana kematian umumnya penuh dengan suasana duka. Namun, tidak demikian dalam Dayak Uud Danum. Malam hari sambil menunggu jenasah dimakamkan biasanya selalu diisi dengan permainan bola api.

Begitu juga ketika pulang dari tempat pemakaman. Sesampai di rumah duka, sambil menunggu tuan rumah menyiapkan hidangan, beberapa warga terlihat bersuka cita, menari-nari sambil diiringi musik.

Tampaknya tujuannya ialah untuk menghibur keluarga yang sedang berduka. Akan tetapi sesungguhnya ada makna lain di balik itu semua, yakni keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian. Atas dasar keyakinan ini kematian itu bagi orang Uud Danum harus dirayakan, bukan diratapi.

Berangkat dari pemahaman akan tradisi kematian itu, Hari Raya Jumat Agung, yang oleh Gereja ditetapkan sebagai hari pantang dan puasa, bagi beberapa umat justru harus dirayakan dengan penuh suka cita. Tentu saja harus dengan memotong babi seperti yang ada dalam budaya mereka. Pemahaman demikian jelas saja menjadi tantangan tersendiri dalam karya pastoral Gereja.

Gadis dayak. Foto: kibrispdr.org

Saya tambahkan contoh lain lagi. Saat dunia dilanda wabah pandemi Covid-19, masyarakat Dayak memiliki kearifan lokal tersendiri untuk memperlambat serta memutus rantai penyebarannya.

Kearifan lokal itu ialah ritual Tolak Bala. Ritual ini—yang dilakukan di beberapa Kabupaten maupun di kampung-kampung—boleh dikatakan sebagai sistem lockdown ala suku Dayak.

Sebagai sebuah warisan leluhur, masyarakat Dayak meyakini kemujaraban ritual adat ini. Oleh sebab itu, ritual ini tidak boleh dilakukan secara serampangan. Sejak mantra memainkan peran yang sangat penting, maka ritual ini harus dipimpin oleh orang yang sungguh-sungguh fasih melafalkan mantra tersebut.

Demi mujarabnya ritual ini, dituntut kerja sama dari seluruh masyarakat setempat dalam menaati pantangan, yakni tidak keluar rumah (lockdown) selama beberapa hari sesuai dengan yang telah ditetapkan.

Selama masa lockdown ini, pintu masuk kampung akan ditutup untuk mencegah masuknya wabah atau penyakit. Hanya beberapa orang saja, seperti tenaga medis, yang diperkenan untuk beraktivitas.

Ritual adat ini harus dilakukan dengan benar, karena jika tidak justru bisa mendatangkan celaka atau bencana terhadap sebuah wilayah yang melaksanakannya.

Barangkali ini juga yang menjadi alasan mengapa ritual adat ini hanya dilakukan jika ada wabah atau penyakit yang sungguh-sungguh membahayakan keselamatan penduduk.

Ritual ini tentu saja menimbulkan ketegangan di tengah jemaat. Pun demikian di antara para pastor yang berkarya di Keuskupan Sintang. Salah seorang rekan pastor bahkan membagikan di grup perpesanan foto pelaksanaan ritual tolak bala di paroki tempat ia bertugas.

Sebagai seorang pastor yang berasal dari luar pulau Kalimantan, rekan pastor tersebut rupanya sedang mengalami kegalauan setelah menyaksikan ritual adat tolak bala yang dilangsungkan di wilayah parokinya.

Masalah utama yang menjadi sumber kegalauan dan kegelisahan rekan pastor tersebut ialah soal kepada siapa doa/mantra dalam ritual tolak bala itu ditujukan.

Bahwa doa mohon perlindungan yang disampaikan selama ritual ditujukan kepada Petara/Jubata/Duata/Penompa/Duataq/Duato/Tanangaan/Ranying Hatalla Langit (ragam sebutan untuk Yang Maahtinggi dalam suku Dayak), bukan kepada Allah yang Mahakuasa, dalam pandangan rekan pastor tersebut menyerang secara langsung inti dari iman Katolik, yakni iman akan Allah Penyelamat. Pelaksanaan ritual adat itu sebagai bentuk nyata dari sikap menduakan Tuhan.

Rekan pastor tersebut tidak sendirian dalam berpandangan demikian. Seperti yang ia sampaikan dalam grup perpesanan, ada juga sebagian umat yang berpandagan sama dengan dirinya. Untuk itulah dia meminta masukan dari Bapa Uskup dan rekan-rekan pastor lain bagaimana Gereja seharusnya bersikap.

Kedua contoh di atas merupakan sebagian kecil dari kearifan lokal yang dijumpai oleh Gereja dalam karya misinya di tengah suku Dayak.

Bagaimana sikap Gereja berhadapan dengan kenyataan tersebut? Apakah terhadap ritual adat tolak bala secara langsung harus dikategorikan sebagai sikap menduakan Tuhan? Apakah umat yang hendak merayakan Jumat Agung dengan pesta pora harus dicap rendah kualitas imannya karena menodai keagungan dan kekudusan pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut rasanya tidak cukup hanya dijawab dengan “ya” atau “tidak”, “salah” atau “benar”.

Pemimpin Gereja Katolik dan umat Katolik Dayak. Foto: hidupkatolik.com

Berjalan Bersama: Dialog dengan Budaya Lokal

Satu kenyataan berikut memang harus disadari oleh Gereja Keuskupan Sintang dalam menghayati identitas dan perutusannya di tengah suku Dayak. Yakni bahwa gerak hidup manusia Dayak hampir selalu diwarnai oleh ritual dan upacara adat.

Saat kelahiran, mandi pertama kali di sungai, saat menanjak dewasa, saat ada orang sakit, menikah, kematian, kegiatan terkait perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, masuk rumah baru, dan lain-lain, selalu ada ritual-ritual khusus yang dilakukan.

Ritual dan upacara adat menjadi hal yang wajib untuk dilaksanakan karena manusia Dayak meyakini bahwa hidup manusia dan alam semesta beserta isinya adalah anugerah dari Jubata.

Karena itu, ritual dan upacara adat yang mereka lakukan menjadi bentuk konkret dari pengungkapan atau pementasan iman. Sekaligus juga sebagai perbuatan penyuci peristiwa penting dalam kehidupan manusia menurut tata cara tertentu dan secara berskala (G. Van Schie, 2008).

Mengingat fungsinya yang demikian sentral, sudah dapat dipastikan bahwa Gereja dalam karya pastoralnya akan selalu berjumpa dengan ragam bentuk ritual dan upacara adat yang dipraktekkan oleh masyarakat Dayak.

Perjumpaan tersebut sekali lagi tak menutup kemungkinan timbulnya ketegangan lebih-lebih ketika berhadapan dengan iman dan tradisi Kristiani.

Di sinilah kemudian, bila terhadap orang Dayak yang sudah memeluk iman Katolik diajukan pertanyaan “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?”, masih ada keraguan untuk memberikan jawaban sejelas dan setegas seperti yang dinyatakan oleh Simon Petrus.

Kenyataan tersebut hendaknya tidak segera dilihat sebagai sebuah kegagalan dari proses evangelisasi di Keuskupan Sintang, baik pada zaman para misionaris maupun pada zaman setelahnya.

Suku Dayak Uud Danum. Foto: Netralnews.com

Kalau pun ada yang berasumsi demikian rasanya juga tidak beralasan mengingat Gereja Keuskupan Sintang sudah merayakan Pesta Emas pada 2011 silam. Sebuah momen yang dapat menjadi indikasi kalau iman Katolik sudah berakar, tumbuh dan berkembang dalam diri umat beriman. Tak terkecuali dalam diri orang Dayak.

Masih adanya keraguan atau ketidaktegasan dalam iman akan Yesus Kristus, justru menjadi kesempatan bagi Gereja untuk lebih giat lagi berdialog dengan serta mempelajari dan mendalami budaya lokal. Lalu mencari model-model pewartaan yang kontekstual agar umat semakin mengenal dan mengimani Kristus yang adalah Jalan, Kebenaran dan Hidup.

Pada titik inilah Gereja Keuskupan Sintang harus sungguh menyadari bahwa Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia itu mempunyai hubungan yang sangat erat.

Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini menandaskan: “Sebab Allah, yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus, untuk menggali dan semakin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam” (GS no.58).

Penari mengenakan pakaian tradisional suku Dayak. Foto: agathatourscentralkalimantan

Gereja, meski tak jarang menghadapi tantangan dan kesulitan dalam upaya mewartakan Kabar Gembira keselamatan yang datang dari Allah, tentulah tak boleh menutup mata terhadap keberadaan budaya dan kepercayaan orang Dayak.

Pengalaman kerap mengajarkan kalau umat akan merasa tersakiti bila budaya yang mereka warisi dari para leluhur kemudian dicap sebagai budaya yang tidak pantas untuk dipraktekkan.

Beberapa bahkan tidak mau lagi datang ke gereja, ketika tanpa ada penjelasan yang memadai dan memuaskan, Gereja melarang mereka untuk tidak lagi mempraktekkan tradisi dan adat istiadat yang telah mereka warisi dari para leluhur.

Tentulah bukan menjadi sifat keibuan Gereja yang sampai hati melukai hati anak-anaknya. Bahkan sampai membuat mereka menjauh dari padanya.

Untuk itulah, Gereja Keuskupan Sintang memandang penting budaya dan adat istiadat setempat sebagai locus bagi dirinya dalam menghayati misi dan perutusannya mewujudkan citra ilahi dan menghadirkan Kerajaan Allah.

Hal itu ditegaskan dengan benderang dalam rumusan visi Arah Dasar Keuskupan 2022-2026: “Gereja Katolik Keuskupan Sintang, sebagai persekutuan umat Allah, dalam bimbingan Roh Kudus, bercita-cita membangun kerajaan Allah, di tengah budaya dan adat istiadat setempat, dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, melalui tugas perutusan sebagai nabi, imam, dan raja, demi keselamatan manusia”.

Berjalan bersama suku Dayak dengan demikian hendak menunjukkan komitmen Gereja Keuskupan Sintang untuk mengadakan dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal.

Komitmen tersebut lahir dari kesadaran kalau Gereja Keuskupan Sintang itu hidup, bergerak dan ada di tengah sebuah konteks budaya lokal.

Sebuah realitas yang memang harus sungguh disadari, sebab di tengah konteks budaya lokal inilah Gereja menghayati identitas diri dan perutusannya dalam mewujudkan kerajaan Allah.

Komitmen untuk berdialog kiranya sebangun dengan apa yang ditekankan oleh Federasi Konferensi-konferensi Para Waligereja Asia (FABC). Para uskup se-Asia menekankan pentingnya peran tradisi dan budaya manusia dalam pewartaan yang dijalankan oleh Gereja.

Mereka menandaskan bahwa triple-dialog dengan tiga realitas utama kehidupan Asia merupakan perwujudan nyata dari misi perutusan Gereja di Asia, yakni dialog dengan tradisi keagamaan lain, budaya-budaya lokal dan kemiskinan.

Dalam Sidang Pleno V di Bandung, 17-27 Juli 1990, para Uskup Asia menegaskan: “Misi Gereja di Asia meliputi: “ada bersama dengan masyarakat, menanggapi kebutuhan mereka, dengan kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam aneka ragam budaya dan dalam tradisi keagamaan lain, dan memberi kesaksian tentang nilai Kerajaan Allah lewat kehadiran, solidaritas, sharing dan perkataan. Misi kemudian berarti dialog dengan kemiskinan, budaya-budaya lokal dan tradisi keagamaan lain yang ada di Asia”.

Dialog yang jujur dan sabar itu tidak selalu mudah untuk dijalankan. Gereja diajak untuk meneladan Kristus yang, “menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi mengantar mereka kepada terang Ilahi.”

“Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama di lingkungan mereka dan bergaul dengan mereka sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat” (AG no.11).

Dalam usaha mewujudkan Kerajaan Allah di Keuskupan Sintang, dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal kiranya menjadi sangat penting. Dengan cara demikian, Gereja bisa menyusun kebijakan-kebijakan pastoral yang tertuang dalam arah dasar Keuskupan maupun Paroki dengan bertolak dari dalam dunia simbol dan adat masyarakat lokal.

Pimpinan gereja Katolik bersama dengan umat Katolik Dayak. Foto: kap.or.id

Harapannya agar umat Allah Keuskupan Sintang, dalam konteks ini manusia Kristen Dayak, akan sampai pada pengenalan akan Allah dan semakin mantap mengakui bahwa Yesus adalah roti hidup yang telah turun dari surga. Bahwa Dialah Yang Kudus dari Allah.

Poin tentang bertolak dari dunia simbol dan adat masyarakat lokal mengingatkan kita akan pesan yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si.

Dalam Bab IV Ekologi yang Integral Bapa Suci menegaskan: “Pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri.

Hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia” (no.144).

Bukan hanya membantu untuk menyusun kebiajakan-kebijakan pastoral yang kontekstual, melainkan juga bisa membantu dalam menemukan model katekese yang kontekstual.

Katekese yang kontekstual ialah katekese yang menggunakan sarana, metode dan isi atau bahan yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan subjek katekese, disesuaikan dengan konteks aktual, yang beradaptasi dengan keadaan dan kebutuhan yang ada.

Katekese yang kontekstual, baik dalam metode, sarana, juga dalam isinya, akan menjadikan katekese itu sendiri efektif dan tepat sasaran. Tujuannya tiada lain agar terjadinya transmisi iman yang diwariskan turun temurun oleh Gereja, serta terjadinya transformasi hidup dalam diri jemaat beriman (Ardas Keuskupan 2012-2016).

Budaya dan tradisi suku Dayak beserta konteks kehidupan mereka memang menjadi fokus utama pembahasan dalam artikel ini. Di Keuskupan Sintang sendiri masih ada suku-suku lain seperi Tionghoa, Jawa, Flores, Batak, dll. Karena itu, dengan mengangkat kebudayaan Dayak sama sekali tak ada niatan untuk menjadikan Gereja Keuskupan Sintang berwajah Dayak.

Justru kebersamaan dengan suku-suku lain dapat menjadi usaha pengembangan Komunitas Basis Kristiani, yang oleh St. Paus Yohanes Paulus II dipandang sebagai titik berangkat yang solid untuk membangun sebuah tatanan hidup yang baru yang didasarkan pada “peradaban cinta” (Ecclesia in Asia no. 25). (*)

RD. Gregorius Nyaming, Imam diosesan Keuskupan Sintang. Kini sedang studi teologi di The John Paul II Catholic University of Lublin, Poland.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.