Apakah Aku Penjaga Saudaraku?

Kisah pilu tentang Edi yang berprofesi sebagai seorang sopir truk pernah dimuat di Kompas.com

0 148

Oleh RD. Gregorius Nyaming

RD Gregorius Nyaming

Katolikana.com—Suatu hari Edi dengan truknya membawa lele dari Cirebon. Karena mengantuk, truk yang ia bawa menabrak pohon lalu terguling ke sawah. Lele yang ia bawa pun jatuh berhamburan ke area sawah.

Warga sekitar yang melihat peristiwa tersebut bukannya menolong, tapi malah berebut menjarah lele-lele miliknya.

Menyaksikan warga yang menjarah lelenya itu, Edi hanya bisa duduk sambil menangis histeris. Mirisnya lagi, tak ada satu pun warga yang datang menghampiri untuk menghibur dan menenangkannya.

Sebagai bangsa yang hidup berlandaskan nilai-nilai Pancasila, pengalaman pahit yang menimpa Edi sungguh memilukan hati kita.

Kita meyakini kalau Pancasila sungguh didasarkan pada dimensi kultural masyarakat Indonesia. Pancasila dibangun di atas nilai-nilai luhur yang sudah berkembang dalam tatanan kultural selama berabad-abad.

Nilai-nilai luhur yang khas dan membudaya di masyarakat seperti gotong-royong, ramah, santun, toleran dan peduli terhadap sesama adalah nilai-nilai yang telah mengakar di masyarakat jauh sebelum Indonesia berbentuk negara kesatuan.

Saya teringat pidato Presiden Joko Widodo pada HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia. Presiden Joko Widodo mengajak masyarakat Indonesia untuk bersyukur, sebab di tengah krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, ditambah lagi meletusnya perang di Ukraina, bangsa kita mampu menghadapinya.

Menurut Jokowi, salah satu sumber kekuatan yang membuat bangsa kita mampu menghadapi tantangan berat itu ialah adanya sikap saling melindungi dan saling berbagi di tengah masyarakat.

Menarik bahwa kekuatan yang memampukan bangsa kita menghadapi badai tantangan oleh beliau ditempatkan di urutan pertama dari keempat kekuatan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Hal ini menegaskan bahwa hidup saling melindungi dan berbagi memang sudah merupakan jati diri bangsa Indonesia yang menjiwai Pancasila sebagai landasan hidup bersama.

Tanpa menegasi perkataan Presiden Joko Widodo, melihat kisah pilu yang dialami Edi membuat kita bertanya: sungguhkah sikap saling melindungi, saling berbagi sudah menjadi cara hidup masyarakat kita? Sudahkah dalam hidup sehari-hari kita menjadi penjaga bagi sesama saudara sebangsa dan setanah air?

Pertanyaan ini makin relevan bila kita menyaksikan perang di Ukraina yang hingga kini belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Dua negara yang secara kultural memiliki kesamaan dan kedekatan, ternyata tidak mampu hidup berdampingan. Hidup saling menjaga dan melindungi. Ditambah lagi dengan kembali memanasnya hubungan Israel-Palestina, pertanyaan ‘apakah aku penjaga saudaraku?’ makin relevan.

Manusia adalah makhluk sosial (homo socius). Hakikat ini mau menegaskan sebagai manusia kita ingin selalu hidup bersama dan berinteraksi dengan orang lain. Dengan hidup bersama orang lain, manusia dipanggil untuk menjadi sesama bagi orang lain dengan saling menolong, menjaga dan melindungi. Solider dan berbelas kasih dengan sesama yang menderita dan berkekurangan.

Namun, menyaksikan perang dan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini, manusia sepertinya tidak sedang menjadi sesama bagi manusia yang lain, tapi malah menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Kisah Kain dan Habel

Apakah aku penjaga saudaraku? Bagi kita umat Kristiani, kata-kata ini pastilah tidak terlalu asing. Dalam Kitab Suci, kata-kata itu hanya pernah satu kali terucap. Letaknya pun tidak sukar untuk ditemukan karena tertulis di halaman-halaman awal kitab pertama, yakni Kitab Kejadian (4:1-16).

Adalah Kain, anak sulung Adam dan Hawa, yang mengucapkan kata-kata tersebut. Kata-kata itu keluar dari mulutnya ketika ditanya oleh Tuhan “Di mana Habel, adikmu itu?” Jawaban lengkap yang Kain berikan: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?”

Tuhan bertanya demikian kepada Kain bukan karena Habel tersesat dan hilang saat mereka sedang bermain di luar rumah, lalu meminta Kain untuk mencari adiknya.

Pertanyaan itu Tuhan ajukan untuk meminta pertanggungjawaban Kain, yang semestinya menjadi penjaga dan pelindung, namun sampai hati menghilangkan nyawa adik kandungnya sendiri.

Mengapa Kain sampai hati membunuh adik kandungnya sendiri? Semuanya bermula ketika mereka mempersembahkan korban persembahan kepada Tuhan. Kain, yang adalah seorang petani, mempersembahkan kepada Tuhan sebagian dari hasil tanahnya.

Begitu juga dengan Habel, seorang gembala kambing domba, mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya. Singkat cerita, Habel dan korban persembahannnya diindahkan oleh Tuhan. Sedangkan Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya.

Melihat korban persembahannya tidak diindahkan Tuhan, hati Kain pun menjadi panas. Ia lalu mengajak Habel untuk pergi ke padang. Ketika mereka sudah sampai di padang, tiba-tiba ia memukul Habel, lalu membunuhnya.

Kepada Kain yang telah membunuh adiknya itu, Tuhan berfirman: “Apakah yang telah kauperbuat ini?” Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah.

Dengan bertanya kepada Kain “Di mana Habel, adikmu itu?”, Tuhan tidak meminta dia untuk sibuk melihat keluar guna mencari jawab di luar dirinya. Sebaliknya, Tuhan meminta Kain untuk masuk ke dalam dirinya. Bertanya kepada diri sendiri mengapa sampai hati membinasakan saudara kandung sendiri.

Relakah Manusia Mendakwa Dirinya Sendiri?

Pengalaman pahit Edi, begitu juga perang di Ukraina, perang Israel-Palestina dan segala ketidakpedulian serta penindasan terhadap martabat hidup manusia, sesungguhnya menjadi undangan bagi setiap kita untuk merenung, menengok ke dalam diri dan bertanya.

Persoalannya, relakah manusia mendakwa dirinya sendiri? Tidakkah permainan saling menyalahkan (game blaming) seperti yang kita jumpai dalam kisah jatuhnya Adam dan Hawa ke dalam dosa, yang kerap kita saksikan dalam realitas hidup harian kita?

Jawaban tegas Kain ‘Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga saudaraku?, nampaknya menjadi cerminan dari sikap kita manusia yang kerap kali menolak untuk bertanggung jawab atas melimpahnya penderitaan, ketidakadilan sosial, kerusakan alam dan sebagainya.

Sikap penolakan itu rasanya sukar untuk dapat diterima terlebih bila ditempatkan dalam konteks modernitas yang memproklamasikan otonomi manusia. Pada era ini manusia ditempatkan sebagai subjek sejarah. Dengan ini modernitas ingin menentang paham tentang sejarah sebagaimana dikenal dalam tradisi Kekristenan yang mengajarkan bahwa Allah adalah subjek universal sejarah.

Menurut Colin E. Gunton (1993), modernitas merupakan era yang telah menyingkirkan Tuhan sebagai pusat bagi kesatuan dan makna keberadaan hidup manusia.

Eksistensi Allah mesti ditolak karena Ia dianggap menjadi penghalang bagi manusia untuk menjadi diri sendiri dan bebas. ‘Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin’ (Dostoevsky). ‘Segala sesuatu diperbolehkan jika Tuhan tidak ada’ (Jean-Paul Sartre). ‘Manusia akan dapat mengangkat dirinya dari saat dia tidak lagi ditelan (engulfed) oleh Tuhan’ (Friederich Nietzsche). ‘Agama hanyalah matahari ilusi yang melingkungi manusia. Ateisme dengan demikian tampil sebagai desakan manusia untuk kebebasan yang absolut’ (Karl Marx).

Selain untuk memperoleh kebebasan absolut, melimpahnya penderitaan dan ketidakadilan merupakan alasan lain ditolaknya eksistensi Allah. Tuhan dipandang telah kehilangan kelayakannya untuk dipercaya di mata manusia, karena Ia tidak melakukan intervensi, menolong. Ia tidak mampu atau tidak mau mencegah ketidakadilan, tak mampu menghapus penderitaan padahal Ia mahakuasa. Karena itulah, Stendhal kemudian melahirkan sebuah rumusan termasyhur: “Satu-satunya alasan untuk memaafkan Allah adalah dengan menegaskan bahwa Ia tidak ada” (Adrianus Sunarko, 2016).

Manusia kini mengisi tempat kosong yang telah ditinggalkan oleh Allah. Hal ini menghantar pada sebuah keyakinan dari modernisme bahwa manusialah yang akan membawa sejarah menuju akhir yang sempurna. Manusia modernlah dengan segala kemampuan teknisnya akan menghapuskan segala bentuk penderitaan.

Pertanyaannya, apakah manusia berhasil membawa sejarah pada akhir yang sempurna? Apakah segala bentuk penderitaan sudah lenyap dari muka bumi ini? Kita tentu tidak menampik adanya peningkatan kualitas hidup berkat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknik dan ekonomi. Akan tetapi, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap banyaknya sisi buruk dari modernitas. Kerusakan alam, ketidakadilan sosial, makin melebarnya jurang antara negara kaya dan miskin, konflik, merupakan beberapa contoh dari sisi negatif tersebut.

Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dengan segala bentuk penderitaan, bencana, malapetaka yang muncul karena kegagalan proyek modern tersebut? Apakah Allah? Jelas tidak mungkin. Eksistensinya sudah terang-terangan ditolak oleh manusia modern. Kalau begitu apakah manusia yang harus bertanggung jawab? Seharusnya demikian.

Namun sayangnya, manusia menolak untuk bertanggung jawab terhadap penderitaan yang menyertai kemajuan yang diperoleh melalui teknik dan industrialisasi. Kita sering menyaksikan ada tendensi di mana manusia selalu berupaya memaafkan diri atas segala penderitaan yang terjadi. Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga saudaraku?

Kekudusan hidup

Habel, dalam bahasa Ibrani Hevel, mempunyai arti ‘napas, kefanaan, ketidakberhargaan, ketiadaan’ (Miroslav Volf, 1996).  Habel, dengan demikian, mereprensentasikan kefanaan hidup manusia. Manusia hanyalah napas. Tetapi napas itu berasal dari Allah sendiri yang Ia hembuskan ke dalam diri kita: “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej 2:7). Hidup manusia dengan demikian adalah kudus adanya (Rabi Jonathan Sacks, 2015).

Apakah yang telah kauperbuat ini? Begitulah pertanyaan yang Allah tujukan kepada Kain setelah ia menghilangkan nyawa adik kandungnya sendiri. Menurut St. Paus Yohanes Paulus II, pertanyaan ini menafsirkan pengalaman tiap orang: di lubuk suara hatinya manusia selalu diingatkan, bahwa hidup tidak dapat diganggu gugat – hidupnya sendiri dan hidup sesamanya – sebagai sesuatu yang bukan miliknya, sebab menjadi milik Allah dan kurnia Allah Sang Pencipta dan Bapa (Ensiklik Evangelium Vitae, 40).

Perang Rusia-Ukraina, perang Israel-Palestina, telah memakan banyak korban jiwa, termasuk anak-anak yang tidak berdosa. Fakta ini seolah hendak mengatakan kalau martabat hidup manusia itu tidak lagi kudus adanya. Dia tidak lagi dilihat sebagai milik dan karunia Sang Pencipta. Benarlah kemudian apa yang dikatakan oleh Vincent P. Miceli (1989). Semua ateisme teoretis yang mengusung kebebasan absolut manusia, menurutnya, menyebarkan filsafat yang keliru tentang manusia, tentang dunianya, sejarahnya dan takdirnya. Mereka meninggikan manusia sebagai Tuhan. Tetapi manusia, sekali ia diilahikan, mulai untuk menindas dan membinasakan sesamanya.

Clauss Westermann (1984) berpendapat bahwa manusia bukan hanya Adam dan Hawa, melainkan juga Kain dan Habel. Dengan kata lain, setiap manusia berpotensi untuk menjadi Kain. Dalam bahasa Ibrani Kain berarti ‘mendapat, menguasai, memiliki’.

Kitab Suci mengatakannya dengan sangat eksplisit: “Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: “Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN” (Kej 4:1).

Kain, dengan demikian, merepresentasikan gagasan bahwa apa yang saya miliki memberikan saya kekuasaan. Dari arti nama Kain ini, kita kemudian bisa memahami mengapa dia menjadi begitu panas hati ketika persembahannya tidak diindahkan oleh Tuhan. Bagi Kain, ketika saya mempersembahkan kepada Tuhan apa yang saya miliki, saya melakukannya supaya dapat memperoleh sebagian dari kekuasaanNya.

Sampai pada poin ini kita bisa memahami mengapa persembahannya tidak diindahkan oleh Tuhan. Tuhan tidak berkenan menerima persembahan yang demikian. Persembahan yang Ia terima ialah yang dari Habel/hevel, yakni persembahan yang datang dari kerendahan hati sebagai makhluk yang fana. ‘Tuhan, saya hanyalah napas. Tetapi napas yang kuhembuskan ini adalah milikMu, bukan milikku’ (Rabi Jonathan Sacks, 2015).

Manusia adalah Relasional
Apakah aku penjaga saudaraku? merupakan sebuah pertanyaan relasional. Sebuah pertanyaan yang mau menegaskan bahwa sebagai manusia, kita bukanlah makhluk yang tertutup bagi diri sendiri. Manusia tidak dapat hidup dari dan untuk dirinya sendiri. Iman Kristiani mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dan manusia tidak diciptakan seorang diri. Allah menciptakan mereka laki-laki dan perempuan (Kej 1:27). Hal ini hendak menandaskan bahwa dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan ia tidak dapat hidup tanpa berhubungan dengan sesama (Gaudium et Spes, 12).

Hidup dalam hubungan dengan orang lain menuntut sikap hidup yang terbuka bagi kebutuhan dan penderitaan sesama. Sebab, manusia tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan sepenuh hati memberikan dirinya (Gaudium et Spes, 24).

Kekuasaan yang asalnya dari Tuhan sendiri juga semestinya dipahami dan dijalankan dalam kerangka relasionalitas ini. Bukan dalam selubung kehendak untuk berkuasa seperti terdapat dalam diri Kain. Bila dijalankan dalam kerangka relasionalitas, maka kekuasaan menjadi sarana untuk menghormati, memelihara dan menyejahterakan kehidupan, bukan justru  menjadi alat untuk menyingkirkan, menindas dan membinasakannya. (*)

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.