Katolikana.com – Nama saya Diah. Saya seorang ibu dari tiga anak sekaligus wanita pekerja. Pernikahan, bagi saya, bukan sekadar kisah cinta yang dirajut dalam indahnya janji sehidup semati, tetapi sebuah perjalanan penuh tantangan dan salib yang akhirnya membawa saya pada kedalaman hubungan dengan Tuhan.
Dulu, sebelum menikah, hidup saya sering kali dibayangi pertanyaan tentang makna kehidupan: apa arti kelahiran ku di dunia ini? Ketika masalah datang, keputusasaan kerap menjadi teman. Saya berharap, dengan menikah, kebahagiaan akan datang, dan saya bisa berbagi beban dengan pasangan yang mencintai saya. Ada seseorang yang akan menopang hidup membuat aku mantap untuk menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri.
Awalnya, pernikahan terasa seperti mimpi indah. Semuanya penuh harapan akan kebahagiaan. Ketiga anak-anak kami lahir, menemani hari-hari penuh suka cita, dan saya serta suami mendapat pekerjaan idaman sebagai pegawai negeri. Kami bahkan berhasil membangun rumah sederhana yang kami impikan. Namun, kebahagiaan ini ternyata hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan.
Ketika Pernikahan Menjadi Salib
Seiring berjalannya waktu, kehidupan doa kami mulai goyah dan suami mulai jarang ke gereja. Suami saya terjerumus dalam kebiasaan buruk, termasuk perjudian dan hiburan tidak sehat. Berkali-kali jatuh dalam jerat hutang, dia sulit berubah meskipun sudah sering diingatkan. Pernikahan yang saya harapkan menjadi tempat bersandar justru berubah menjadi sumber derita.
Pernikahan tidak seindah yang kubayangkan. Harapan akan kebahagiaan hancur seiring dengan kenyataan yang kuhadapi: badai kehidupan dan salib yang harus kupikul seumur hidup. Berkali-kali terbersit keinginan untuk meninggalkan situasi ini, namun Tuhan belum mengizinkanku keluar dari rumah yang kubangun dengan tetesan keringat. Aku masih terikat pada harta dan pekerjaan yang kami miliki. Kadang-kadang aku merenung, inikah makna perikop yang mengatakan, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”
Kehidupan pernikahan yang jauh dari kata baik kujalani dengan penuh air mata. Aku tidak bisa melarikan diri, apalagi bercerita kepada siapa pun, karena aku merasa tidak ada tempat untuk berkeluh kesah. Suami, yang seharusnya menjadi tempatku bersandar, justru menjadi sumber penderitaan yang tiada habisnya. Anak-anaklah yang menjadi alasan terbesarku untuk bertahan dalam pernikahan ini, yang telah berjalan hampir satu dekade.
Saya merasa terjebak. Rumah yang kami bangun dengan kerja keras menjadi penjara emosional. Anak-anak menjadi satu-satunya alasan saya bertahan di tengah badai. Namun, pertanyaan demi pertanyaan terus mengusik.
Apakah ini gambaran pernikahan Katolik yang seharusnya aku jalani? Bagaimana aku bisa bertahan dalam rumah tangga yang tidak sehat bagi kewarasanku, terlebih bagi mental anak-anak? Aku tidak ingin mereka tumbuh tanpa kebahagiaan hanya karena ibunya juga tidak bahagia. Tapi bagaimana aku bisa membuat mereka bahagia ketika mentalku sendiri sudah hancur berantakan? Apakah ada cara untuk keluar dari pernikahan yang menyiksa ini? Bahkan, aku bertanya-tanya, apakah gereja akan memberikan dispensasi jika aku memutuskan untuk bercerai. Sebab, bagiku, menjalani seumur hidup dalam situasi ini terasa terlalu lama tanpa tujuan yang jelas.
Menemukan Harapan di Altar Tuhan
Di tengah kesesakan yang tak tertahankan, aku berlari kepada Tuhan Yesus. Kupersembahkan penderitaan dan kesesakan hidupku di altar-Nya dalam Sakramen Ekaristi. Perlahan, hatiku mulai pulih, dan aku menemukan kekuatan untuk bertahan. Tiada hari kulalui tanpa menerima Tubuh dan Darah Kristus dalam Perayaan Ekaristi.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pindah kerja, meninggalkan rumah beserta segala isinya, dan melepaskan semua harta benda yang kumiliki. Dalam nama Tuhan Yesus, aku membawa keluargaku meninggalkan tanah tempat aku berpijak, tempat anak-anak kulahirkan. Aku pergi dengan harapan bahwa Tuhan akan menuntun kami dan menyediakan segalanya.
Saat ini, perlahan-lahan hidup kami mulai tertata kembali. Aku bersyukur atas berkat Tuhan yang melimpah dalam kehidupan kami sekeluarga. Anak-anak bisa bersekolah di tempat yang layak, berprestasi, dan mampu beradaptasi dengan baik. Salib kehidupan yang dulu terasa begitu berat kini mulai terasa lebih ringan, karena bersama Yesus, salib itu menjadi lebih manis untuk kutanggung.
Melalui perjalanan ini, aku belajar bahwa penderitaan adalah jalan menuju keintiman bersama Yesus. Aku tidak menemukan-Nya dalam kekayaan atau jabatan, tetapi justru melalui jalan salib. Kehadiran-Nya begitu nyata dan luar biasa.
Pernikahan Sebagai Taman Getsemani
Dalam perjalanan pernikahan kami, perlahan-lahan suami mulai berubah. Ia kini lebih rajin ke gereja dan kembali menjalankan perannya sebagai imam keluarga. Kehidupan doa juga mulai tumbuh kembali dalam keluarga kecil kami. Semua ini tidak lepas dari penyertaan Tuhan dan doa Bunda Maria, teladan kesabaran dalam menanggung segala perkara.
Apakah masalah akan benar-benar hilang 100%? Tentu tidak. Luka hati tidak sembuh seketika, dan riak-riak persoalan akan selalu ada. Namun, aku kini menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Dia menghendaki aku untuk tetap tenang, pasrah, dan percaya kepada kuasa-Nya.
Penderitaan yang saya alami membawa saya pada pemahaman mendalam tentang pernikahan. Pernikahan bukan hanya soal kebahagiaan, tetapi juga tentang penyerahan diri dan perjuangan bersama Tuhan. Saya menemukan Yesus tidak dalam kekayaan atau jabatan, tetapi dalam jalan salib yang penuh air mata.
Pernikahan, bagi saya, adalah seperti Taman Getsemani—tempat pergulatan dan penyerahan total kepada Allah. Dalam penderitaan, saya mengalami perjumpaan yang intim dengan Tuhan, yang menguatkan saya untuk memikul salib kehidupan.
Pesan untuk Keluarga Katolik
Aku sadar, krisis dalam pernikahan Katolik bukan hanya aku yang mengalami. Banyak keluarga Katolik lain yang juga menghadapi badai kehidupan, bahkan sampai tercerai-berai karena tidak mampu menanggung beratnya masalah. Kekhawatiran akan masa depan sering kali menjadi alasan untuk berpisah, bahkan meninggalkan gereja demi kehidupan baru bersama orang lain.
Namun, seperti Yesus yang bergulat di Taman Getsemani, pernikahan bagi keluarga Katolik juga menjadi tempat bergumul, menyerahkan diri, dan menemukan kekuatan dari Allah Bapa. Di sanalah aku menyadari bahwa pernikahan, betapapun sulitnya, adalah jalan menuju penghiburan dan kepercayaan kepada penyertaan Tuhan.
Bagi semua keluarga Katolik yang sedang menghadapi badai kehidupan, janganlah goyah. Satukan dan persembahkan penderitaanmu di altar Tuhan. Sambut Dia selalu dalam Sakramen Ekaristi, karena di sanalah Dia akan mengangkat bebanmu dan menyembuhkan lukamu. Semoga kisah ini menjadi penghiburan dan inspirasi bagi kita semua. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. (*)
Penulis: Diah Kristanti, warga Paroki St. Yusup Jember
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.