Paus Fransiskus, Pangeran Para Pengungsi

Memotret delapan tahun Paus Fransiskus memimpin Gereja Katolik sedunia.

0 198

Katolikana.com – Sudah delapan tahun Paus Fransiskus memimpin Gereja Katolik sedunia. Kini ia menapaki usia yang ke-84. Sebagaimana lazimnya,  usia tak pernah menipu mata.  

Langkah kaki Bapa Suci tampak tertatih-tatih. Jika boleh menduga, sepertinya ia menderita sakit menahun pada kaki kanannya. Melihatnya berjalan kaki atau menuruni tangga, kita dipaksa menahan napas. Cemas kalau-kalau ia terjerembap saat melangkah.

Lumrahnya Paus tidak lagi bepergian jauh. Apalagi pada musim pagebluk Covid -19 ini. Akan lebih baik ia berdiam di kediamannya, Wisma Santa Marta. Akan tetapi, ia tak hendak. Ia telanjur bertekad menjumpai umat Katolik dan non-Katolik di belahan bumi yang lain. Menyapa mereka yang selama ini nestapa akibat dicekam teror dan konflik bersenjata.

Maka, pekan lalu ia terbang. Menempuh jarak 4.000 km, menuju Timur Tengah. Menyongsong sebuah negeri yang selalu siap dengan aneka ‘kejutan’. Entah itu berupa serangan roket atau bom bunuh diri di siang bolong.

Fransiskus tak gentar. Ia tetap datang ke Irak.

Pertanyaannya, siapakah Fransiskus?

***

 

Paus Fransiskus bersama orang-orang muda saat World Youth Day di Panama pada 2019/Foto: Vatican Media

Menengok kota-kota yang ia datangi, orang-orang yang ia sapa, hingga diksi dalam setiap pidatonya, kita tahu ia bukanlah seorang diplomat—dan memang bukan. Sebentar saja ia mampir di istana untuk beramah tamah dengan para pejabat negara. Selebihnya, ia lebih banyak meluangkan waktunya menyambangi kota-kota yang hancur, untuk berbincang dengan tokoh lintas agama dan menyapa orang-orang biasa yang lama hidup dalam pelukan ketakutan.

Secara resmi, Fransiskus dikenal sebagai Paus ke-266. Kepala negara Vatikan sekaligus Uskup Roma—pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Namun, di Irak, secara sadar ia menjadikan dirinya sebagai pejuang keadilan. Lawatannya dimaksudkan sebagai perjuangan menegakkan keadilan. Khususnya bagi kaum migran—para pengungsi—dari berbagai latar belakang.

Ia “menanggalkan” baju Uskup Roma-nya dan dengan bijak memakai kostum universal yang membuatnya bisa menjadi jujugan bagi semua orang.

Bagi umat Kristiani Irak, ia memainkan peran sebagai bapak bagi seluruh denominasi Kristen—tak hanya umat Katolik saja. Sehingga, ia berkenan memimpin misa dalam ritus timur di Gereja Mar Yousef, sebuah gereja Katolik Syria. Padahal, Baghdad juga memiliki katedral Katolik Roma, yang secara kebetulan sama-sama bernama “Mar Yousef”. Secara simbolis, Fransiskus menunjukkan dirinya adalah primus interpares bagi segenap umat Kristiani.

Demi melindungi eksistensi mereka, ia sempatkan pula untuk sowan ke kediaman pemimpin spiritual Syi’ah, Ayatullah al-Sistani. Ia datang laksana bapak yang dengan sopan menitipkan anak-anaknya kepada Sang Ayatullah. Dengan rendah hati, ia memohonkan agar umat Kristiani dan umat Muslim dapat hidup berdampingan dengan tenteram di Negeri Syi’ah tersebut. Ia ingin para pengikut Yesus tak perlu lagi mengungsi karena dipersekusi di tanah airnya sendiri.

Lantas bagi orang-orang yang bukan Kristiani, Fransiskus memosisikan diri sebagai sahabat. Di kota Abraham, contohnya, ia berusaha keras mencari minoritas Yahudi. Sayangnya, tak satu pun dari mereka bisa ia jumpai. Bisa jadi persekusi kepada kaum Yahudi di sana begitu hebat, sampai-sampai mereka sangat takut menunjukkan diri. Untungnya, ia dapat bertemu dengan minoritas lainnya: kaum Yazidi. Dan ia berdialog hangat dengan mereka.

Namun, momen yang paling menyesakkan dada barangkali ketika ia menemui Abdullah Kurdi di Mosul. Abdullah adalah ayah Alan Kurdi, seorang bocah pengungsi yang tewas di lepas pantai Turki pada medio 2015. Bocah ini menjadi buah bibir dunia setelah potret tubuh mungilnya yang tersungkur tanpa nyawa di tepi pantai tersebar luas di internet.

Maka, ia hadir untuk merangkul Abdullah. Ia meluangkan waktu demi menyimak pengalaman getir seorang pengungsi yang harus kehilangan anak lelakinya. Cukup lama mereka berbincang empat mata. Fransiskus menyediakan dirinya sebagai pendengar yang baik bagi Abdullah.

***

Paus Fransiskus menghadiri pembukaan sebuah patung yang menggambarkan sekelompok migran dari berbagai budaya dan dari waktu bersejarah yang berbeda sesudah Misa Hari Migran dan Pengungsi Sedunia di Lapangan Santo Petrus di Vatikan 29 September 2019. (foto CNS / Vincenzo Pinto, Reuters)

 

Gestur simpatik ini lantas melempar ingatan saya ke masa delapan tahun silam. Jorge Mario Bergoglio naik tahta menjadi Paus dan bergelar Paus Fransiskus saat angin revolusi berhembus kencang di Dunia Arab. Jutaan orang nekat melintasi batas negara. Satu demi satu perahu gelap berusaha mengendap-endap mencapai dataran Eropa melalui Laut Mediterania. Eropa mendadak kebanjiran jutaan manusia yang datang mencari perlindungan.

Ia tidak tinggal diam melihat situasi dunia. Sejak bulan-bulan pertama menduduki sancta sedes, ia sudah menunjukkan kepeduliannya terhadap isu tersebut. Bagaimana pun ia sendiri merupakan keturunan imigran. Ayahnya, Mario José Bergoglio, adalah imigran asal Italia. Sementara ibunya, Regina Maria Sivorí, juga memiliki darah Italia dari leluhurnya. Wajar bahwa latar belakang ini kelak membentuk kepedulian Fransiskus kepada para pengungsi dan imigran.

Maka, saat para pemimpin Eropa masih bertele-tele menyikapi isu pengungsi dan imigran, ia telah berinisiatif mengambil tindakan. Kunjungan kepausan pertamanya ia arahkan ke Lampedusa, sebuah pulau kecil di selatan Italia. Ia bergegas mengunjungi Lampedusa saat mendengar kabar banyaknya manusia perahu asal Afrika Utara terdampar di sana.

Kedatangannya ke Lampedusa sontak menaikkan moral para pengungsi yang saat itu kerap mendapat stigma sebagai “imigran gelap”. Bagaimana tidak, itu adalah lawatan pertama seorang kepala negara Eropa ke pulau kecil itu. Lawatan monumentalnya sekaligus “menekan” para pemimpin Eropa untuk segera bergerak memberikan suaka kepada mereka.

Sewindu berlalu, semakin gamblang ia bukan tipikal penyeru keadilan dari balkon Basilika.  Banyak pendahulunya bertindak demikian, tetapi ia tidak. Ia lebih suka menyambangi mereka yang terusir dari kampung halamannya dan menyapa yang terkatung-katung tanpa status warga negara. Ia sibuk memperjuangkan keadilan dari rumah detensi dan reruntuhan kota yang luluh lantak oleh perang.

Reputasinya membuktikan ia akan selalu terlihat di sisi kaum pencari suaka. Delapan tahun menduduki takhta Santo Petrus, Fransiskus bukan lagi sekadar pangeran gereja. Lebih dari itu, ia telah menjelma “pangeran” bagi semua pengungsi di dunia.

Dan bagi “pangeran para pengungsi”, gelombang satu juta manusia yang meninggalkan Irak justru telah mengundangnya untuk menginjakkan kaki ke sana.

Editor: JB. Pramudya

 

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.