Pendiri Sanggar Sanak Kadang, Tiead: Sumpah Pemuda Momen Kaum Muda Bangkit dari Keterpurukan

Makna Sumpah Pemuda saat pandemi Covid-19

0 383

Katolikana.com, Surakarta — Sumpah Pemuda kali ini dirayakan saat pandemi Covid-19, bagi pendiri Sanggar Sanak Kadang Tiead Adhika Gilham, momen ini dimaknai sebagai momentum kaum muda untuk bangkit dari keterpurukan.

Tiead menganggap pandemi ini sebagai momentum bagi kaum muda untuk bangkit. Kondisi yang tidak menentu sekarang ini justru menjadi tantangan, bukan permasalahan yang membuat putus asa.

“Mumpung masih muda. Apa yang dipikirkan, ya ayo diperjuangkan. Jangan menyerah dengan kahanan (keadaan-Red). Tetapi berbuatlah lebih, melampaui batas diri,” ujar Tiead, saat wawancara telepon pada Selasa malam (27/10/2020).

 

Sanggar Sanak Kadang

Belajar tidak melulu dilakukan di dalam ruangan kelas. Belajar bukan sekadar mengejar prestasi akademis. Apalagi bagi anak-anak usia dini yang masih senang bermain, belajar bisa dianggap sesuatu yang membosankan.

Sebaliknya, tak jarang ada anak-anak yang senangnya hanya bermain, enggan belajar. Memang lumrah bagi seumuran mereka. Namun apa jadinya bermain tanpa didampingi. Apalagi orang tuanya sibuk mencari nafkah.

Hal itulah yang melatarbelakangi Tiead Adhika Gilham mendirikan Sanggar Sanak Kadang di Kampung Tipes, Kelurahan Tipes, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, pada September 2015 silam.

Ia dan kedua temannya, Yunia Putri dan Ferusta Nova Adi Pratama, menggagas sanggar belajar di lingkungan tempat tinggalnya itu lantaran gelisah menemukan anak-anak seusia SD justru senang bermain sampai malam.

 

“Apalagi masa pandemi (Covid-19) anak anak di kampung sini semua belajarnya dari rumah. Padahal bermain itu tidak sekadar bermain, tetapi apa sih yang kamu dapatkan ketika bermain? Atau menjadi sangat penting ketika bermain itu dimaknai dan diarahkan serta diajak berdiskusi bersama,” ujar Tiead, panggilan akrabnya, saat dihubungi via telepon Selasa (27/10) malam.

Menurut lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini, anak-anak bukanlah sekadar obyek dalam proses belajar maupun bermain. Melainkan, anak – anak juga subyek yang memiliki daya rasa, cipta dan karya.

“Sejak awal saya bilang tidak mau kalau mengajari mata pelajaran yang ada di buku-buku sekolah. Sebab bagi saya, materi pelajaran di sekolah menjadi salah satu penyebab jiwa eksplorasi, inisiatif dan kreasi anak itu kurang berkembang,” ujar Tiead.

 

Edukasi Alternatif bagi Anak

Menempati teras rumah RT di kampungnya, Sanggar Sanak Kadang yang dalam Bahasa Jawa, -artinya Saudara untuk Sanak, Sekeluarga untuk Kadang-, menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam lima pilar saat bermain. Meliputi, Cinta Diri Sendiri, Cinta Orang tua dan Sesama, Cinta Indonesia, Cinta Lingkungan, dan Cinta Pengetahuan.

Salah satu praktik sekaligus teorinya ialah lewat kegiatan menanam. Anak-anak diajak “berkotor-kotoran” dengan mengumpulkan botol bekas yang dianggap sampah untuk dijadikan media tanam. Lalu diisi dengan tanah, diberi sedikit pupuk, dan dikenalkan dengan pelbagai nama tumbuhan.

Dari lima pilar itu, sambung pria kelahiran Jakarta, 29 Juni 1991 ini, menanam dengan menggunakan botol-botol bekas yang dikreasikan merupakan edukasi pilar Cinta Lingkungan. Termasuk pilar Cinta Keluarga lantaran ada beberapa orang tua yang cerita pernah ditegur anaknya karena buang sampah sembarangan.

“Ini alternatif edukasi melatih rasa, melatih konsistensi dalam merawat tanaman, dan saya pikir ini juga berdampak kepada ketahanan pangan kita, khususnya belajar proses bertahan hidup,” sambung Tiead.

 

Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Sulanto dan Umi Sunarsih ini menegaskan, pendidikan itu dasarnya “dari, dan, untuk anak”. Maka keberadaan orang tua juga sangat penting dalam proses bermain yang bermakna. Pasalnya, peran orang tua selain memfasilitasi juga memberi ruang dialog atas proses bermain anak.

“Target kita itu sebenarnya ingin kampung Tipes ini hidup. Tidak sekadar hidup, namun juga berkembang. Sehingga anak menjadi pintu pertama. Kalau sekarang generasi kita misalnya suka membuang sampah sembarangan, ya generasi anak-anak kita yang nantinya menghidupi kampung ini minimal tidak akan buang sampah sembarangan,” tandas umat Paroki Santo Petrus, Purwosari, Solo.

 

Laporan Kontributor: Aditya Wijaya dari Semarang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.