Katolikana.com – Idealnya, orang Katolik menikah dengan orang Katolik. Namun, kebanyakan masyarakat suatu bangsa tidak hanya menganut satu agama, tidak hanya beragama Katolik tetapi berbagai agama, plural. Umat Katolik hidup dan bergaul dengan umat beragama lain. Dalam pergaulan sehari-hari, umat Katolik tidak sekadar menerima kehadiran umat lain, tetapi juga ada di antaranya yang saling jatuh cinta dan bahkan memutuskan untuk menjadi suami-istri. Tentu saja, umat Katolik yang berjuang memahami dan menaati iman dan ajaran Katolik pasti tetap setia mengimani ajaran Katolik itu. Ia tetap mempertahankan “sikap menerima Kristus sang Penyelamat sepenuhnya” (Familiaris Consortio, art. 54). Dengan kata lain, imannya tak akan tergerus – malah semakin kuat – kendati menghidupi perkawinan beda agama. Ibarat pelaut yang tangguh, biarpun hempasan ombak begitu dahsyat, ia tetap bisa melaut penuh perjuangan!
Sebagai Pastor, saya menerima banyak pertanyaan dari umat seputar perkawinan beda agama dan bisa saja pertanyaan yang sama pernah ditanyakan kepada Pastor lainnya. Pertanyaannya kurang lebih demikian: Pastor, mengapa beda agama tidak hanya dilarang oleh gereja, tetapi malah menjadi halangan yang menggagalkan sahnya perkawinan? Apa dasar ajaran gereja dan apakah ada solusi jika memang kedua calon mempelai telah memutuskan akan menikah beda agama? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi fokus kami dalam tulisan ini.
Perkawinan campur ada dua jenis: perkawinan beda agama (disparitas cultus) dan perkawinan beda gereja (mixta religio). Dalam tulisan ini, kami hanya membahas perkawinan campur beda agama. Sedangkan perkawinan campur beda gereja, kami akan membahasnya di lain kesempatan.
Perbedaan Iman dan Ajaran
Dalam pandangan Gereja, perkawinan campur bukan perkawinan antara mereka yang berbeda suku, negara dan warna kulit melainkan antara dua orang yang berbeda iman, agama, gereja dan ajaran (termasuk Kitab Suci dan moralitas atau etika serta ajaran sosial). Dalam bagian awal Motu Proprio Matrimonia Mixta (MM) pada 31 Maret 1970, Paus Paulus VI memberi arti perkawinan campur: “perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan pasangan non-Katolik, baik yang dibaptis dalam gereja lain maupun orang yang tidak dibaptis”. Secara khusus, arti perkawinan beda agama adalah perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang tidak dibaptis. Sedangkan perkawinan beda gereja berarti perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang yang dibaptis dalam Gereja yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Katolik.
Menarik membaca dengan seksama Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 kanon 1070 §1 yang menegaskan: “Adalah batal kontrak perkawinan antara orang yang belum dibaptis atau kaum bidaah dan skisma dengan orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik”. Dalam KHK lama ini sangat jelas bahwa seharusnya orang dibaptis Katolik tidak bisa dan tidak diperkenankan melangsungkan: (a) perkawinan dengan orang yang berbeda agama atau penganut kultus tertentu (non-baptis atau bidaah); (b) perkawinan dengan kaum skisma (agama-agama reformis yang memisahkan diri dari Katolik). Jika ada umat Katolik yang tetap melangsungkan perkawinan dengan mereka ini, maka perkawinan tersebut batal (nullum).
Paus Paulus VI kemudian menyampaikan sikap dan ajaran Gereja: “Perkawinan yang dirayakan antara dua orang, satu di antaranya telah dibaptis di Gereja Katolik atau diterima di dalamnya, sementara yang lain belum dibaptis, tidaklah sah tanpa pemberian dispensasi sebelumnya oleh Ordinaris setempat” (MM, no. 2). Ajaran Paulus VI tersebut ternyata terus diadopsi dalam KHK tahun 1983 kanon 1086: “perkawinan antara dua orang, yang di antaranya satu telah dibaptis dalam gereja katolik atau diterima di dalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah” (§1); Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126” (§2).
Baik dalam Matrimonia Mixta maupun dalam KHK 1983, perkawinan dengan kaum skisma tidak dimasukkan lagi dalam perkawinan beda agama, tetapi perkawinan beda gereja (bdk. kanon 1124).
Jauh sebelum ada Kitab Hukum Kanonik, dalam Kitab Suci pun perkawinan beda iman itu dilarang keras. Misalnya dalam 2 Kor. 6: 14: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya”. Dalam ayat biblis ini, Rasul Paulus menggolongkan umat manusia dalam dua kelompok: mereka yang percaya dan ada dalam Kristus dan mereka yang tidak tidak percaya dan tidak ada dalam Kristus. Sebab dalam kenyataannya, mereka yang menikah dengan orang-orang yang tidak beriman kepada Kristus tak jarang menghadapi kesulitan meneruskan kesetiaan terhadap iman akan Kristus.
Dalam konteks Indonesia, mereka yang tidak dibaptis atau umat beda agama adalah Saudara-Saudari kita umat Islam, Buddha, Hindu, dan Konghucu serta penganut aliran kepercayaan. Tentu saja Gereja sangat menghargai iman mereka; mereka adalah Saudara-Saudari kita yang berdampingan dan hidup bersama dengan kita. Tidak hanya itu, Gereja juga sangat menghargai semangat umat agama lain tersebut untuk memelihara iman dengan sekuat tenaga.
Menjauhi Bahaya Meninggalkan Iman Katolik
Di balik kanon 1086 tersebut ada prinsip ajaran Gereja yang mesti disadari oleh umat, yakni orang Katolik tidak bisa menikah secara sah dengan orang non-baptis. Tidak hanya itu, setiap orang Katolik memiliki kewajiban untuk setia dalam iman Katolik, dengan demikian orang Katolik hendaknya menikah dengan orang Katolik atau orang yang dibaptis. Sementara motivasi luhur di balik kanon tersebut adalah Gereja melindungi iman pihak Katolik dari bahaya murtad, kesulitan dan indiferentisme atau acuh tak acuh terhadap iman Katolik. Gereja pula memastikan terwujudnya pendidikan iman anak secara Katolik (bdk. A. Tri Edi W., Kursus Tribunal, 2019: 20).
Motivasi Gereja melindungi iman pihak Katolik dan anak-anak yang akan lahir muncul terutama karena Gereja melihat kenyataan bahwa: “Pandangan yang berbeda-beda mengenai iman dan juga mengenai perkawinan, tetapi juga sikap semangat religius yang berbeda-beda, dapat menimbulkan ketegangan dalam perkawinan, terutama dalam hubungan dengan pendidikan anak-anak. Lalu dapat timbul bahaya untuk menjadi acuh tak acuh terhadap agama” (Katekismus Gereja Katolik no.1634). Dalam buku komentar hukum kanonik berjudul “Codice di Diritto Canonico” (CDC), ahli hukum Gereja J. Fornés memberi jawaban mengapa beda agama menjadi halangan untuk sahnya perkawinan: “Berbahaya terhadap iman pihak Katolik dan iman anak-anak” (2004: 716).
Gereja menyadari bahwa tidaklah gampang bagi pihak Katolik memelihara imannya jika hidup dalam perkawinan beda agama. Itu sebabnya John. P. Beal dalam New Commentary on the Code of Canon Law (NCCCL) mengatakan: “Gereja telah lama mengakui bahwa perkawinan antara orang Katolik dan non-Katolik menimbulkan bahaya khusus bagi kelanjutan praktik iman Katolik dan pembaptisan serta pendidikan anak-anak secara Katolik” (JP. Beal, 2000: 1288). Ahli hukum kanonik lainnya, Juan Ignacio Bañares dalam buku Exegetical Commentary on the Code of Canon Law (ECCCL) mengatakan bahwa perkawinan campur sangat membahayakan iman pihak Katolik dan anak-anak yang akan lahir. Pendapat Bañares itu merujuk pada KHK 1917 kanon 1060 di mana Gereja melarang dengan tegas perkawinan campur antara seorang Katolik dengan seorang non-Katolik jika ada bahaya bagi pihak Katolik dan anak-anak yang akan lahir untuk memelihara dan mempertahankan iman katolik (Bañares, 2004: 1183).
Baiklah jika kita juga membaca ajaran Konsili Vatikan II melalui Gaudium et Spes (GS) seputar perkawinan. Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan suci yang tidak tergantung semata-mata dari manusia. Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan tujuan (bdk. GS 48). Dengan kata lain, perkawinan bukan hanya berurusan dengan kehendak manusia (kedua mempelai), tetapi lebih dari itu, berkaitan dengan iman. Dalam arti, kita mengimani bahwa Allah yang menyatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan sampai mati (Mat 19: 6). Selain itu, kasih Kristuslah yang menjadi dasar hidup suami-istri (Ef. 5: 21-33).
Bagi Katolik, orangtua adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak di dalam keluarga. Ajaran tersebut ditegaskan Gereja di dalam dokumen Gravissimum educaionis (GE), nomor 3 dan di dalam Amoris Laetitia, bab 7). Akan tetapi, bagaimana mungkin orangtua menjadi pendidik “iman” yang utama dan pertama bagi anak-anak jika mereka sendiri campur agama? Bagaimana orangtua mengajarkan sakramen perkawinan kepada anak-anaknya, jika perkawinan orangtua bukanlah sakramen? Bagaimana mereka mengajarkan kesetiaan pada iman katolik? Jika pasangan-suami (pasutri) beda agama mampu mendidik anak-anak secara katolik, kemungkinan besar butuh perjuangan besar. Apakah pasutri sudah menyadarinya? Sudah siap, mampu berjuang? Mampu setia pada tanggung jawab dan janji untuk memelihara iman Katolik sekuat tenaga?
Gereja memandang betapa luhurnya nilai iman dan ajaran sehingga perlu dipelihara, dipertahankan, dan dilindungi dengan perbuatan, kesetiaan, cinta, dan perjuangan. Oleh karena itu, umat Katolik diminta untuk setia pada iman dan ajaran Katolik seperti ditegaskan dalam KHK kanon 750 dan kanon 752. Melalui kanon 750 Gereja meminta semua umat Katolik agar dengan sikap iman ilahi dan Katolik harus mengimani semua yang terkandung dalam Sabda Allah, tradisi suci dan magisterium (ajaran resmi gereja). Gereja menghimbau umat agar menaati semua ajaran-ajaran yang dinyatakan para pemimpin Gereja Katolik (bdk. kanon 752).
Baca! Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2)
Pernah studi Hukum Gereja di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma. Saat ini menjadi Formator Skolastikat OSC di Bandung dan anggota Tribunal Keuskupan Bandung.
Selamat pagi Romo, nama saya Irvan. Saya ingin bertanya seputar perkawinan dalam Katolik. Pertanyaan saya adalah bagaimana Gereja Katolik menyikapi suatu kehamilan diluar nikah dan aturannya seperti apa lalu jika ingin menikah jika salah satu pihak bukan Katolik itu bagaimana, begini saya memiliki teman yang pacarnya hamil kemudian setelah dibicarakan perkara ini oleh kedua belah pihak keluarga memutuskun untuk menikahkan mereka karena memang keduanya ada rasa sama suka. Ada kendala dimana mereka berbeda agama. Teman saya ini yang pria adalah Katolik dan pacarnya seorang muslimah atau beragama Islam tetapi juga si wanita bersedia mengikuti keyakinan teman saya atau dengan kata lain ingin masuk agama Katolik dan keluarga juga sudah menyetujui. Namun masalahnya, karena berbeda keyakinan dan hamil diluar nikah mereka bingung bagaimana cara mengurus terkait regulasi dan tahapan untuk menikah. Nah itu bagaimana ya Romo untuk regulasinya apakah rehab, apakah bisa langsung menikah menggunakan prosesi perkawinan campur, atau si wanita harus masuk Katolik dulu baru menikah atau bagaimana ya Romo ? Terimakasih Romo.
Hallo Irvan. Terima kasih pertanyaan Anda. Dari kisah Anda ini, ada tiga “kunci kasus”: (a) hamil di luar nikah; (b) memutuskan akan nikah; dan (c) nikah beda agama.
Pertama, hamil di luar nikah. Bagaimana tanggapan Gereja? Tentu, melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah merupakan dosa; tindakan yang bertentangan dengan moral. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae (EV), arti. 23 menyesali pudarnya rasa hormat terhadap sakralitas seksualitas. Menurutnya, dewasa ini ada banyak orang yang melakukan hubungan seksual dengan semaunya, bertentangan dengan moral Kristiani dan semata-mata untuk memuaskan keinginan-keinginan serta naluri-naluri pribadi; bahkan hanya didorong oleh cinta diri.
Anak-anak muda jangan pernah jatuh dalam seks pra-nikah. Jangan asal menuruti dorongan nafsu (bdk. 1 Petrus 1:14-16; 2 Tim 2:22). Lebih banyak akibat negatifnya daripada positifnya. Ditanggung seumur hidup pula! Hanya saja begini: kalau kita berhadapan dengan teman-teman kita yang mengalami permasalahan semacam ini, kita berusaha menguatkan mereka. Perasaan mereka tentu campur aduk. Ada yang malu. Ada yang bingung harus bagaimana. Kita dukung mereka untuk tidak menggugurkan bayi dalam kandungan. Jangan dosa ditutup dengan dosa lain. Jangan kesalahan ditutup dengan kesalahan lain. Hamil di luar nikah itu merupakan perbuatan yang salah. Maka, jangan ditutup lagi dengan perbuatan salah lain, seperti aborsi!
Kedua, memutuskan akan menikah. Dalam kisah ini, mereka menikah karena ada rasa suka sama suka. Apakah ini benar? Apakah bukan karena sudah hamil? Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1101 §1 ditegaskan agar apa yang ada di dalam batin, sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam kata-kata. Jangan sampai menyatakan “mau menikah”, tetapi dalam hati tidak demikian. Ini pura-pura menikah; dan jika ‘tidak mau menikah’, maka ia melakukan “simulatio totalis” atau menolak perkawinan itu sendiri atau pura-pura menikah (bdk. Kanon 1101§2). Jika seseorang sebenarnya “menolak menikah”, namun karena sudah hamil di luar nikah, dia pura-pura menikah agar ada status bayinya, akibatnya fatal: perkawinan itu tidak sah!
Baik jika mereka berdua berkonsultasi kepada Romo Paroki. Sebab, Romo Paroki akan membantu keduanya untuk menyelidiki apakah keduanya memiliki motivasi yang benar, sungguh-sungguh dan penuh untuk menikah.
Akan tetapi, saya usul begini: jika salah satu (atau keduanya) belum siap menikah, lebih baik jangan buru-buru menikah. Perlu waktu kesiapan dan kemantapan komitmen menikah. Kalau memilih usul ini, berarti bayi ditunggu sampai dilahirkan, lalu dijaga dengan baik dan penuh cinta.
Namun, jika ada keduanya sudah siap dan mantap menikah, maka baik jika segera menghubungi Romo Paroki agar calon istri ini bersama calon suaminya didampingi dengan sungguh-sungguh dan dalam waktu yang memadai.
Ketiga, nikah beda agama. Dalam kisah ini, laki-laki beragama Katolik. Sementara perempuan beragama Islam (non-baptis). Jika mereka menikah, maka mereka akan menikah beda agama. Ada rencana bahwa perempuan ini mau mengikuti agama calon suaminya. Kita tahu bahwa orang dewasa yang mau dibaptis Katolik wajib MENGIKUTI MASA KATEKUMENAT (masa pembelajaran) selama satu tahun. Apakah dia sempat dibaptis sebelum menikah? Saya usul begini: jika perempuan ini mau menjadi Katolik, maka ia ikut Katekumenat dulu. Di sela-sela ikut Katekumenat itu, dia juga mempersiapkan diri untuk menikah.
Tentu, dalam ajaran Katolik, “perbedaan agama” merupakan “halangan perkawinan yang sah” (Kanon 1086). Maka, agar dapat menikah dengan sah, keduanya mesti mendapatkan “dispensasi” dari salah seorang otoritas Gereja ini, yakni: dari uskup atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial.
Namun, dispensasi atas nikah beda agama, tidaklah sembarangan diberikan. Ada syaratnya, sesuai Kanon 1125, yakni pihak Katolik harus menyatakan janji di hadapan Allah melalui kehadiran Romo dan umat yang berhimpun. Janji-janji itu, yakni: pertama, pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik. Kedua, berjanji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk membaptiskan anak-anak yang akan lahir secara Katolik. Ketiga, ia berjanji dengan sekuat tenaga bahwa akan mendidik semua anak dalam Gereja Katolik.
Dalam kanon 1125 itu pula ditegaskan bahwa janji-janji pihak Katolik hendaknya diberitahukan kepada pihak yang bukan Katolik. Mengapa? Alasannya sederhana: agar sebelum menikah, keduanya sudah menyepakati janji-janji pihak Katolik ini. Setelah menikah, mereka berdua tidak ribut lagi soal pembaptisan dan pendidikan anak dalam Gereja Katolik. Umumnya, jika non-baptis ini sudah menjadi katekumen (calon baptis Katolik), maka ia pasti mendukung janji pihak Katolik ini. Tidak ada masalah, toh dia akan menjadi Katolik.
Selain itu, calon pasutri ini diajari mengenai tujuan perkawinan dan ciri-ciri hakiki esensial perkawinan yang tidak boleh dikecualikan oleh calon pasangan. Calon pasutri ini bisa didampingi secara personal oleh Romo (karena calon istri sudah hamil), atau bisa juga melalui kursus persiapan perkawinan.
Demikian jawaban saya atas pertanyaan ini. Semoga dapat membantu. Tuhan memberkati.
Bandung, 22 April 2023
Romo Postinus Gulö, OSC
Saya seorang katolik, istri saya dari protestan, sebelum menikah, Karna Agama istri saya protestan yg ada perjanjian dgn agama katolik maka, istri sya tdk di permandikan lgi krna sudah di permandikan di gereja protestan.hanya proses untuk menjadi Katolik itu, istri saya harus terima sakramen penguatan dulu, dan itu biasa di terima pada saat misa hari Sabtu aleluya.saat paskah. Itu sudah di anggap sah menjadi katolik. Setelah resmi menjadi Katolik,baru bisa melakukan pendaftaran untuk ikut kursus perkawinan selama 3 Minggu. Setelah mengikuti kursus ,barulah melakukan pendaftaran untuk nikah. Setelah pendaftaran nikah maka, nama kedua pasangan akan di umumkan selama 3 Minggu berturut turut di gereja tersebut.tujuan dari pengumuman di gereja selama 3 Minggu itu adalah untuk memberi kesempatan bagi kedua belah pihak, baik dari pihak perempuan maupun pihak laki laki, yg mana apabila kemudian ada pihak lain yg keberatan mengenai rencana pernikahan pasangan tadi ,maka pihak yg keberatan tersebut melapor secara resmi ke pihak gereja bahwa rencana pernikahan tersebut bisa di batalkan akibat dari keberatan dari pihak lain. Misalnya mungkin mantan suami, atau mantan istri.yg masih blm rela di ceraikan oleh salah satu pasangan yg berencana menikah secara katolik
Jawaban
Saudara Alex yang baik, terima kasih atas pertanyaan Anda. Hal yang perlu diapresiasi adalah calon istri Anda yang tadinya beragama Protestan kemudian mau menjadi anggota Gereja Katolik dengan sukarela. Gereja Katolik mengakui baptisan Gereja Protestan yang materia dan forma-nya sama dengan yang diakui oleh Gereja Katolik. Materia baptisan adalah air murni. Sedangkan forma baptisan adalah kata-kata yang diucapkan saat pembaptisan: “Saya membaptis engkau dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus”. Cara pembaptisannya pun mesti dilakukan satu persatu kepada masing-masing calon baptis. Umumnya, Gereja-Gereja yang berada di bawah PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), baptisan mereka diakui oleh Gereja Katolik.
Ketika umat Protestan yang “baptisannya” diakui sah oleh Gereja Katolik, maka ketika pindah menjadi anggota Gereja Katolik, ia tidak perlu dibaptis lagi. Baptisan yang sah, tidak bisa dan tidak boleh diulang. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 845. Ia diterima secara resmi dalam Gereja Katolik setelah mengikuti masa katekumenat (masa pembelajaran menjadi Katolik).
Tidak hanya itu, istri Anda ini juga mau menerima Sakramen Penguatan. Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1065 §1, orang yang dibaptis Katolik atau diterima di dalamnya jika akan menikah, dianjurkan untuk menerima Sakramen Penguatan. Namun, ini bukanlah aspek keabsahan (ad validitas) dari perkawinan. Jika penerimaan Sakramen Penguatan itu tidak memungkinkan menjelang perkawinan, maka perkawinan tetap sah.
Memang perlu diakui bahwa Sakramen Penguatan ini sangat penting. Bahkan wajib diterima oleh setiap umat Katolik (bdk. Kanon 890). Melalui Sakramen Penguatan, kita dicurahkan oleh Roh Kudus sehingga berani menjadi saksi-saksi Kristus dengan perkataan dan perbuatan. Bahkan, mewartakan dan membela iman Kekatolikan (bdk. Kanon 897).
Laporan Halangan Nikah
Sebelum perkawinan dirayakan, Pastor melakukan penyelidikan yang memadai terhadap calon pasangan. Tujuannya adalah untuk membantu calon pasangan ini bisa menikah sah secara Katolik (KHK Kanon 1066). Pastor mengusahakan agar tidak ada satu hal pun yang menghalangi perayaan perkawinan yang sah (ad validitatem) dan layak (ad liceitatem).
Umumnya, setelah Pastor melakukan pemeriksaan kanonik kepada calon pasangan, barulah dilakukan pengumuman (KHK Kanon 1067) sebanyak tiga kali di dalam Gereja Paroki di mana calon pasangan berdomisili atau kuasi domisili. Tujuan utama pengumuman perkawinan ini adalah agar umat beriman yang mengetahui adanya halangan nikah dari calon pasangan, wajib melaporkan kepada Pastor atau kepada Uskup atau Romo Vikaris Jenderal (KHK Kanon 1069).
Jadi, kalau dalam kasus yang ditanyakan Pak Alex ini, ada laporan dari mantan “calon pasangan” (mantan istri atau mantan suami), harus segera ditelusuri kebenarannya. Sebab, seseorang yang masih terikat perkawinan terdahulu, kendati sudah cerai sipil, tidak bisa menikah sah secara Katolik SEBELUM perkawinannya dianulasi oleh Tribunal Keuskupan atau diputus (dissolutio vinculi) oleh Tahta Suci (KHK Kanon 1085).
Jika setelah ditelusuri oleh Pastor dan terbukti bahwa calon mempelai masih terikat perkawinan terdahulu, maka perkawinan tersebut perlu ditunda sampai keluar putusan anulasi atau pemutusan ikatan nikah.
Pertanyaannya: apakah mereka yang sudah cerai sipil dijamin perkawinannya bisa dianulasi? Jawabannya: belum tentu. Sebab, arti anulasi itu adalah pembatalan perkawinan yang sejak semula tidak sah (void ab initio). Saya punya ilustrasi sederhana terkait anulasi ini. Misalnya, dalam pertandikan sepak bola, seorang striker (penyerang) membawa bola dan menggolkan dalam keadaan offside. Bola memang masuk ke gawang lawan. Tetapi, gol itu anulir oleh wasit karena sebelum menggolkan dia sudah offside. Demikian halnya dalam perkawinan. Jika seseorang melangsungkan perkawinan, tetapi sebelumnya ada hal-hal yang menghalangi perkawinan yang sah sah, maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Perkawinan yang tidak sah ini yang dapat dianulir oleh Hakim Tribunal.
Penyebab perkawinan tidak sah, yakni: a) terkena salah satu halangan nikah; b) cacat kesepakatan nikah; dan c) cacat bentuk perayaan perkawinan kanonik. Jadi, kalau tidak memiliki dasar anulasi dari salah satu penyebab ini, maka permohonan anulasi perkawinan, pasti ditolak oleh Hakim Tribunal Keuskupan.
Namun, jika orang yang keberatan itu tidak memiliki lagi ikatan nikah dengan calon mempelai, maka perkawinan tetap bisa dilangsungkan. Dalam beberapa kasus, ada “mantan” yang keberatan jika mantan pasangannya menikah lagi, kendati mantan pasangannya itu sudah menerima putusan anulasi perkawinan. Umumnya hal ini terjadi jika ada masalah harta benda, harta gono-gini. Jika ada hal ini, maka Pastor Paroki mempertimbangkan secara bijaksana agar Gereja tidak ikut terseret dalam masalah yang seharusnya Gereja tidak ikut “direpotkan”. Selain itu, Pastor mesti jeli agar tidak ada celah bagi pihak-pihak yang tidak berniat baik untuk “menggugat” Gereja secara hukum sipil.
Demikian jawaban saya terhadap pertanyaan ini. Semoga terjawab apa yang diharapkan oleh Bapak Alex. Tuhan memberkati.
Bandung, 22 April 2023
Romo Postinus Gulö, OSC
Romo, saya mau tanya. Rencana saya (katolik) dan pasangan saya (non-katolik) akan menikah tahun depan, tepatnya 1 bulan setelah dia di baptis karena pasangan saya bersedia untuk ikut katekumen di tahun ini. Sambil dia katekumen dan kami membereskan persiapan untuk pernikahan, pada saat Kanonik apakah akan di langsungkan dengan cara perkawinan campuran ? yang mengharuskan pasangan saya membawa 2 saksi orang yg beragama katolik ? dan setelah pasangan saya selesai katekumen dan bulan depan melangsungkan pemberkatan apakah kami tetap bisa menerima sakramen pernikahan dan tetap mengadakan misa ?
Jawaban
Saudari Putri yang baik terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan. Semoga rencana dan persiapan perkawinan Anda berjalan lancar. Hal yang patut disyukuri adalah bahwa calon suami Anda akan dibaptis Katolik. Dukung dan semangati dia agar mengikuti katekumenat (proses pembelajaran dan persiapan menjadi Katolik) dengan sungguh-sungguh.
Dari kisah Anda ini, saya menangkap tiga pertanyaan. Pertama, apakah pada saat Kanonik akan dilangsungkan dengan perkawinan campuran? Mungkin maksudnya: apakah pada saat Anda dan calon suami mengikuti Pemeriksaan Kanonik di mana calon suami masih belum menerima baptis, perkawinan kalian akan dilangsungkan secara beda agama? Kedua, apakah calon suami harus memilih 2 saksi yang harus beragama Katolik? Ketiga, apakah pada saat pernikahan nanti dapat dilangsungkan dengan perayaan Misa (Ekaristi)? Saya mencoba menjawab ketiga poin ini satu persatu.
1. Pemeriksaan Kanonik
Pada bagian ini saya memiliki beberapa jawaban. Pertama, perlu memahami dengan baik apa yang mesti dilakukan dalam “pemeriksaan kanonik” atau “penyelidikan kanonik”. Pemeriksaan kanonik dilakukan dengan cara wawancara kepada calon pasutri secara bergantian. Pada kesempatan itu, pastor mengajukan berbagai pertanyaan kepada calon pasutri. Inti dari berbagai pertanyaan ini sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa: a) informasi data pribadi yang diperlukan dari calon pasutri adalah lengkap dan valid; b) tidak ada satu hal pun yang menghalangi perayaan perkawinan yang sah (ad validitatem) dan pantas (ad liceitatem); b) calon pasangan sungguh mengerti tujuan perkawinan Katolik dan berkomitmen melaksanakannya; c) calon pasangan mengetahui dan mau melaksanakan hal-hal fundamental yang tidak boleh dikecualikan dalam perkawinan dan untuk membangun keluarga (bdk. KHK kanon 1066-1067).
Jadi pemeriksaan kanonik itu sangat penting. Sebab, ia menjadi bagian dalam proses persiapan perkawinan sehingga calon pasutri berkomitmen membangun keluarga dengan setia sampai mati! Calon pasutri membutuhkan kesiapan intelektual, moral, spiritual untuk melangsungkan sakramen perkawinan dengan hati tulus dan bebas di hadapan Allah dan Gereja yang kudus. Itu sebabnya, pada 22 Januari 2011, Paus Benediktus XVI pernah mengatakan kepada para pejabat dan advokat Tribunal Rota Romana, di Vatikan, agar penyelidikan kanonik itu tidak sebatas tahapan birokratis (AAS 103, 2011: 111). Penyelidikan kanonik harus dilakukan dengan baik, benar dan bijak serta dalam waktu yang memadai.
Dari paparan di atas terbaca jelas bahwa “pemeriksaan kanonik” bukanlah saat perkawinan dilangsungkan. Pemeriksaan kanonik dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan. Memang ada satu istilah yuridis tentang perkawinan Katolik. Dalam kanon 1108, ‘bentuk perayaan perkawinan Katolik’ disebut dengan istilah “forma canonica”. Arti sederhananya adalah ‘bentuk perayaan perkawinan sesuai Hukum Gereja Katolik. Kendati tidak tepat, kadang-kadang bentuk perkawinan ini disebut juga “Perkawinan Kanonik”. Mungkin istilah terakhir ini yang pernah didengar oleh Saudari Putri sehingga muncul dalam kisah ini.
Kedua, perkawinan yang akan dilangsungkan bukan beda agama dan bukan pula perkawinan campur. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, perkawinan antara seorang yang dibaptis dengan seorang non-baptis disebut perkawinan beda agama (disparitas cultus). Sementara perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan seorang dibaptis Protestan disebut perkawinan beda Gereja (mixta religio). Dari kisah ini, Putri dan calon suami akan melangsungkan perkawinan tahun depan setelah calon suami menerima baptis dalam Gereja Katolik. Artinya, perkawinan yang akan Anda langsungkan bukan perkawinan beda agama lagi (bukan antara seorang Katolik dengan seorang non-Katolik). Sebab, pada saat Anda menikah, calon suami Anda sudah dibaptis. Dalam ajaran Gereja Katolik, perkawinan yang terjadi di antara mereka yang sudah dibaptis merupakan sakramen. Hanya kematian yang memisahkan pasangan suami-istri. Oleh karena itu, silakan Putri bersama calon suami mempersiapkan perkawinan dengan matang dan memadai.
Ketiga, jika seorang Katolik menikah dengan seorang katekumen. Lain halnya jika Putri (Katolik) melangsungkan perkawinan dengan calon suami yang masih katekumen dan belum dibaptis. Di sini, perkawinan tetap dilangsungkan secara beda agama. Mengapa? Alasannya sederhana. Sakramen Baptis adalah pintu bagi sakramen-sakramen lain. Baptis diperlukan untuk keselamatan jiwa-jiwa (bdk. Kanon 849). Bagi Katolik, perkawinan antara yang sudah dibaptis merupakan sakramen. Artinya, jika salah satu dari calon pasutri belum dibaptis, maka perkawinan itu bukanlah sakramen. Dengan kata lain, perkawinan beda agama bukanlah perkawinan sakramental. Namun, jika perkawinan beda agama ini dilangsungkan secara sah dalam Gereja Katolik, dan ketika pasangan yang belum baptis akhirnya menerima baptisan, maka perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah diangkat oleh Yesus Kristus ke dalam martabat sakramen (bdk. Kanon 1055-1056).
Jika calon suami Anda belum dibaptis, berarti Anda menikah beda agama dengannya. Ada syarat-syarat yang yang harus dipenuhi ketika melangsungkan perkawinan beda agama, yaitu:
a) Calon pasangan meminta dispensasi nikah beda agama kepada salah satu pejabat Gereja Katolik: Bapak Uskup atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial. Permohonan dispensasi ini diajukan melalui pastor paroki atau pastor vikaris paroki.
b) Dispensasi nikah beda agama akan diberikan jika pihak katolik mau memenuhi syarat-syarat yang diminta sesuai Kanon 1125: (1) pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik; (2) berjanji dengan jujur bahwa sekuat tenaga akan membaptiskan anak-anak secara Katolik; (3) berjanji dengan jujur bahwa sekuat tenaga akan mendidik anak-anak dalam ajaran Katolik.
Umumnya, mereka yang sudah katekumen tidak memiliki kesulitan untuk memahami janji-janji pihak Katolik ini. Dia pun tidak akan keberatan!
2. Saksi Pernikahan
Apakah saksi perkawinan harus Katolik? Apakah dua orang saksi itu harus dipilih oleh calon suami? Dalam Kanon 1108 hanya disebutkan bahwa dua orang saksi perkawinan itu merupakan syarat yang yang harus ada. Jika kurang dua orang, maka bentuk perayaan perkawinan menjadi cacat. Akibatnya sangat fatal: perkawinan yang telah dilangsungkan menjadi tidak sah.
Dalam kanon itu tidak disebutkan bahwa dua orang saksi perkawinan harus beragama Katolik. Kendati demikian, sangat baik jika calon pasangan memilih “dua saksi perkawinan” dari antara umat yang beragama Katolik dan bisa menjadi teladan dalam hidup perkawinan. Tentu ini bukan keharusan. Hanya pertimbangan pastoral. Tugas dua saksi perkawinan adalah menyaksikan bahwa kedua mempelai melangsungkan perkawinan secara sah dalam Gereja Katolik. Nama kedua saksi ini akan ditulis dalam Surat Penyelidikan Kanonik dan juga dalam Surat Perkawinan (Testimonium Matrimonii).
Saksi perkawinan itu bisa dua-duanya dipilih oleh calon suami atau sebaliknya oleh calon istri. Bisa juga satu orang dan calon suami dan satu orang dari calon istri. Tetapi, tidak ada keharusan bahwa calon suamilah yang bertanggungjawab memilih dua saksi itu. Tidak demikian! Dalam konteks tertentu, pastor dapat juga memilih saksi perkawinan bagi kedua mempelai.
Siapakah yang bisa menjadi saksi perkawinan? Siapapun yang sudah mampu menggunakan akal budi, dapat menjadi saksi perkawinan. Bahkan bisa juga dari anggota keluarga mempelai itu sendiri. Secara pastoral, sangat baik jika saksi ini telah dipilih jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan perkawinan. Ini juga pertanda bahwa perkawinan yang akan dilangsungkan memang sungguh dipersiapkan dengan baik.
Dalam beberapa kasus, ada saksi perkawinan yang ditunjuk mendadak. Bahkan hanya sesaat sebelum pelaksanaan perkawinan. Tindakan ini menjadi salah satu indikasi bahwa perkawinan itu kurang dipersiapkan dengan baik. Umat Katolik jangan meniru tindakan seperti ini.
3. Perayaan Perkawinan dalam Ekaristi
Dalam perayaan perkawinan antara mempelai yang dua-duanya Katolik sangat memungkinkan untuk melangsungkannya dengan perayaan Ekaristi (Misa). Namun, perayaan perkawinan itu juga bisa dilangsungkan dalam perayaan Sabda saja, tanpa Ekaristi. Dari paparan ini kita sudah tangkap maksudnya bahwa dalam perayaan perkawinan tidak diharuskan dilangsungkan dalam perayaan Ekaristi.
Perayaan perkawinan dalam Ekaristi harus mengindahkan ritus liturgi Ekaristi sehingga terungkap penghormatan yang agung terhadap Ekaristi Mahakudus sebagai sumber dan puncak kehidupan umat Kristiani. Dalam Ketentuan Pastoral Keuskupan Regio Jawa, pasal 121, no. 2 dikatakan bahwa: “Perayaan perkawinan dapat dilaksanakan dengan memasukkan kebiasaan setempat yang sesuai dengan semangat Kristiani, menurut ketentuan para Uskup yang telah diperiksa oleh Tahta Suci”. Untuk melaksanakan ini, maka pastor akan memberitahukan yang mana kebiasaan-kebiaaaan setempat yang boleh dan tidak boleh dimasukkan dalam perayaan perkawinan.
Demikian jawaban saya atas pertanyaan ini. Kami mendoakan Putri dan calon suami kiranya diberi kesehatan yang prima oleh Tuhan. Kami percaya bahwa Putri bersama suami mempersiapkan perkawinan dengan sebaik-baiknya dan dalam waktu yang memadai. Tuhan memberkati.
Bandung, 6 Mei 2023
P. Postinus Gulö, OSC
Selamat malam Romo, aku punya teman sudah menikah selama 7 tahun, dalam hidup perkawinannya ia sering berselisih dengan suaminya walau hal-hal sepele hingga terkadang keluar kata-kata kasar dan mengungkit kembali kehidupan masa lalu teman saya, sikap suaminya ini selalu berulang ketika ada masalah kecil. Teman saya merasa tidak nyaman saat ini ia berada dalam emosional yang labil sampai-sampai berpikir untuk meninggalkan suaminya. Namun masih dilema karena memiliki anak balita.
Pertanyaan saya apakah dalam ajaran gereja katolik salah satu pasangan bisa berpindah keyakinan namun masih dalam status perkawinan. Terimakasih
Selamat siang romo sy ingin bertanya. untuk perkawinan beda gereja (saya katolik pasangan kristen) namun pasangan belum di baptis di gerejanya apakah bisa melangsungkan pernikahan atau harus baptis terlebih dahulu. terima kasih romo.
Selamat mlm romo izin bertanya saya sdh menikah hampir 8 tahun, saya seorang Katolik dan suami Kristen kmi menikah dispensasi di gereja Kristen ada romo dan pendeta yg memberkati, yg ingin saya tanyakan saya mempunyai dua anak waktu itu sdh penyerahan di gereja Kristen, tetapi saya lebih sering mengajak anak di gereja Katolik, yg ingin saya tanyakan kalo saya mau membaptis anak ke Katolik apakah bisa. Ibunya Katolik dan bapak ny Kristen. Kira2 ada syaratnya tidak romo karena anak2 lebih ke Katolik yg pertama sdh berumur 8 tahun dan yg kedua umur 6 tahun mohon pencerahan nya romo.
Halo Romo , saya mau bertanya saya seorang katolik dan Pasangan saya adalah atheist dan merupakan WNA . Kami sama2 Belum pernah menikah dan kami berencana untuk menikah secara katolik, apakah itu bisa Romo? Dan jika bisa dokumen apa saja yang kami harus punya . Terimakasih sebelumnya
Banyak umat Katolik, seperti saya susah untuk menikah secara Katolik… Di gereja dan di lingkungan dicuekin terus gak dianggap sebagai sesama Katolik karena kami miskin… Mereka para pengurus Gereja Katolik hanya mau melayani umat Katolik yang kaya…