Katedral Notre Dame di kota Paris, Prancis, mengalami kebakaran hebat pada 15 April 2019 lalu. Dunia menangisi kejadian buruk atas gereja bersejarah ini. Mahkota Duri yang dipakai Yesus tersimpan di dalam gereja Notre Dame berhasil diselamatkan. Berikut catatan kesaksian mengenai Notre Dame oleh Yusuf Suharyono, umat dari Jakarta Timur dan pernah menjadi relawan Komunitas Taize Prancis.
Katolikana.com, Prancis — Musim semi di pelataran Notre Dame, Paris, pada 1996 terasa sangat lama dan menyiksa. Il fait froid ici. Pagi itu cuaca cukup dingin, suhunya sekitar sebelas derajat. Berlapis dua pakaian hangat ternyata belum cukup menghangatkan tubuh saya. Angin berhembus perlahan, di antara gerimis kecil dan sinar matahari yang sedikit bercahaya. Tangan saya tak henti-hentinya mencoba mencari kehangatan di saku mantel saya.
Awal Mei 1996, kali pertama saya menginjakkan kaki di kota romantis Paris. Saya menyusuri indahnya Sungai Seine, dan berlabuh di Île de la Cité dimana Katedral Notre Dame de Paris (Bunda Kami dari Paris) berdiri megah. Saya memandangi bangunan bersejarah berarsitektur gothik Prancis itu. Mata saya tak bisa lepas dari kubah bertulang, penopang layang, deretan berbagai karya seni pahat, serta jendela (kaca patri) mawar raksasa warna-warni yang sangat memesona saat diterpa cahaya matahari.
Lonceng gereja yang berjumlah sepuluh biji mulai berdentang perlahan. Suaranya lembut bersahutan, merambat pelan di antara dua menara ikonik bagian depan, dan terus menjalar hingga ke puncak menara utama yang berketinggian 90 meter. Keindahan dan sensasi seperti inilah yang sempat saya rasakan saat menikmati novel legendaris karya Victor Hugo berjudul The Hunchback of Notre Dame. Saya membayangkan Quasimodo si bongkok itu bergelantungan di antara lonceng-lonceng itu demi menarik tali-temali yang menghasilkan bunyi lonceng dan mengajak segenap jemaat dan penduduk Paris untuk memulai ibadat, misa, atau ritual rohani lainnya.
Memasuki gedung katedral yang maha tinggi dengan interior atapnya yang indah, saya mengambil tempat duduk di sisi kiri, lima baris dari belakang. Sengaja saya memilih posisi tersebut dengan harapan supaya dapat menikmati ‘surga di atas bumi’ ini sepuas-puasnya. Segera saya berlutut dan membuat tanda salib, menyiapkan diri untuk misa yang tak lama kemudian dimulai. Au nom du Père, et du Fils, et du Saint-Esprit. Amen.
Anak yang Hilang?
Beruntunglah saya mengimani Katolik. Meskipun sedikit terbata-bata mengikuti misa dalam Bahasa Prancis, setidak-tidaknya untuk nyanyian dan homili, saya merasa nyaman dan dapat mengikuti urutan liturginya dengan mudah. Semuanya sama seperti saat saya mengikuti misa di paroki sendiri. Kadang jika tidak yakin dengan ungkapan Prancis-nya, saya mengikuti bacaan dari Kitab Suci yang saya bawa dan mendoakan Bapa Kami dalam Bahasa Indonesia.
Tout a fait bien. Semuanya berjalan dengan baik hingga saya menyadari adanya sepasang suami istri dan dua wanita lanjut usia yang duduk di sebelah kanan tidak jauh dari saya. Dalam beberapa kesempatan saya mendapati keempat warga senior tersebut menoleh dan mengamati saya. Pandangan mereka setengah menyelidik. Ketika pandangan mata kami akhirnya bertemu, secara spontan saya melepaskan senyum. Mereka tak bergeming. Dengan wajah kaku dan dingin, mereka hanya mengangguk pelan. Bahkan saat saya ajak berjabat tangan untuk salam damai, mereka tampak bingung.
Apa sih maunya mereka? Batin saya mulai tidak tenang. Penuh penasaran.
Akhirnya begitu misa selesai, saya menghampiri ‘kenalan baru’ tersebut. Meski agak canggung pada mulanya, kami pelan-pelan mulai bisa saling berkomunikasi. “Jeune homme, pourquoi es-tu ici?’’, tanya wanita yang paling lanjut usia dengan nada ingin tahu.
Rupanya selama misa mereka penasaran dengan saya; mengapa anak muda seperti saya berada di gereja pada Minggu pagi seperti sekarang. Dengan kalem saya jawab bahwa saya ingin mengikuti Perayaan Ekaristi. Keempat oma dan opa tersebut tertawa. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Ohlala, anak muda di sini jarang ke gereja. Mereka lebih suka pergi ke kafe, mal, tempat kebugaran, atau tempat-tempat keriaan lainnya. Kamu ini beda.”
Kemudian wanita lain yang berjalan dengan tongkat menambahkan, “Saya yakin Bunda Maria dan segenap surga bersuka cita. Hari ini salah seorang putranya telah kembali ke rumah.” Meski tidak cukup yakin dengan maksud mereka, saya mengangguk tersenyum.
Dalam perjalanan pulang menuju apartemen, saya terus memikirkan apa maksud oma dan opa tadi. Mengapa anak muda Prancis tidak ke gereja? Mengapa saya berbeda? Jika saya telah kembali, apakah selama ini artinya saya hilang dan sesat seperti kisah dalam Lukas 15:11-32 (Anak yangHilang)? Apakah Bunda Maria sungguh gembira dan bersuka cita ketika banyak anak muda kembali mengikuti Yesus Kristus, putra-Nya?

Belajar dari Sebuah Manekin
Setiap kali ke Paris saya selalu berusaha menyempatkan diri untuk pergi ke Katedral Notre Dame. Berdoa sambil menyalakan lilin. Mengikuti misa. Atau sekadar menjadi turis Asia imut yang menikmati keindahan warisan budaya UNESCO tersebut.
Dari berbagai kunjungan tersebut, saya mulai merasakan perubahan. Sesuatu yang berbeda. Kekaguman saya akan Notre Dame berangsur-angsur berubah menjadi keprihatinan. Bangunan yang tampak indah dari luar itu ternyata beku, kaku dan dingin di dalamnya. Tak bernyawa. Ibarat manekin cantik, ia sedap dipandang mata namun jiwa dan kehidupan tak ada dalam dirinya.
Apalah artinya 12 juta orang yang mengunjungi Bunda Kami setiap tahun jika semuanya hanya lewat dan berlalu? Berapakah yang hilang dan sesat dan mau kembali pada Sang Putra? Akan seperti apakah masa depan Gereja Katolik dan anak-anak muda Eropa nanti?
Seperti kita ketahui negara-negara Eropa dalam beberapa tahun ini terlibat dalam perdebatan maupun perseteruan alot tentang Brexit, krisis imigran serta bagaimana menangani dan menampung mereka, panasnya berbagai konflik di perbatasan dan keengganan beberapa negara untuk terlibat dalam pencarian solusi terbaik, serta penerapan berbagai kebijakan ekonomi utamanya yang menyangkut perpajakan. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, saat berbicara di Parlemen Eropa sekitar awal 2018 pernah mengingatkan kemungkinan pecahnya perang saudara di Eropa.
Potret kemuraman kaum muda benua biru terekam pula dalam berbagai aspek kehidupan. Pergaulan bebas, LGBT, HIV & AIDS, pengangguran, kekerasan dan kriminalitas adalah sebagian isu – jika tidak ingin disebut permasalahan – yang menerpa mereka. Kesehatan mental mereka pun terdampak. Banyak anak muda yang kini cenderung lebih mudah pesimis, stres, depresi hingga bunuh diri.
Bagaimana dari sisi relijius? Adalah sebuah fakta yang dianggap normal bahwa kini banyak anak muda yang mengaku ateis. Sikap hormat dan menaruh kepercayaan pada kaum klerus menurun tajam karena berbagai skandal memalukan yang mereka lakukan. Gereja-gereja menjadi hampir kosong dan kebanyakan hanya diisi oleh oma-opa seperti yang saya temukan pada 1996. C’est une situation triste.
Fakta tersebut dikuatkan oleh Stephen Bullivant, seorang guru besar teologi dan sosiologi di St. Mary’s University di London, yang mengadakan survei pada 2014-2016 di 12 negara Eropa. Hasil surveinya diterbitkan pada 2018, seperti yang diberitakan koran Inggris The Guardian, yaitu mayoritas generasi milenial di 12 negara Eropa mengaku ‘tak punya agama’. Bullivant menyatakan, “Norma bahwa biasanya orang-orang Eropa memeluk Kristen, sudah tidak berlaku lagi, dan mungkin hilang selamanya.”
Dari berbagai kunjungan ke Notre Dame, saya mulai merasakan perubahan. Sesuatu yang berbeda. Kekaguman saya akan Notre Dame berangsur-angsur berubah menjadi keprihatinan. Bangunan yang tampak indah dari luar itu ternyata beku, kaku dan dingin di dalamnya. Tak bernyawa. Ibarat manekin cantik, ia sedap dipandang mata namun jiwa dan kehidupan tak ada dalam dirinya.
Kontributor: Yusuf Suharyono, umat di Jakarta Timur dan relawan Komunitas Taize Prancis.

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.