Katolikana.com, Intan Jaya — Kematian Pendeta Yeremia Zanambani menjadi pukulan berat bagi jemaat dan pendeta di Intan Jaya, Papua.
Pendeta Yeremia ditemukan tewas di Hitadipa, tepatnya di kandang babi miliknya, dalam kondisi tubuh tergeletak berlumur darah, Sabtu (19/9/2020).
Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya dalam konferensi pers pada Kamis (29/10/2020) mengungkapkan, pelakunya diduga adalah aparat keamanan yang selama ini diterima baik sebagai keluarga oleh Pendeta Yeremia.
Anggota Tim Kemanusiaan Pendeta Dora Balubun, yang juga Ketua KPKC GKI di Tanah Papua, mengungkapkan selama ini para pendeta sangat terbuka. Semua orang yang ke sana diterima dengan baik, termasuk anggota tentara.
“Mereka bisa masuk keluar rumah. Mereka makan, mereka kasih (hasil) kebun, sayur, dan segala macam. Jadi mereka menerima dengan gampang. Mereka sudah mengganggap seperti anak dan keluarga, lalu tiba-tiba mereka mengalami seperti ini,” kata Pendeta Dora Balubun kepada Katolikana.com pada Kamis (29/10/20).
Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya melakukan investigasi dan mengungkap bahwa penembakan pendeta Yeremia dilakukan dengan senjata api standar militer, dengan jarak kurang lebih satu meter. Selain luka karena tembakan, ditemukan luka bagian belakang tubuh korban yang diduga akibat senjata tajam.

Sosok yang Tegas dan Dihormati
Pendeta Yeremia dikenal orang yang tegas dan dihormati. Ia memiliki karakter dan prinsip kuat dalam dirinya. Ia punya prinsip tak bisa ‘dibeli’. Hal ini ditunjukkan ketika ia mencari dua anak asal Hitadipa yang hilang pada 21 April 2020.
Ia adalah mantan Ketua Klasis GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) Hitadipa Intan Jaya. Ia menjadi Ketua Sekolah Tinggi Alkitab Theologia di Hitadipa sekaligus penasihat GKII Wilayah 3 Papua di Hitadipa Intan Jaya.
Pendeta Yeremia dikenal rutin memberikan pelayanan di dua wilayah Bulapa dan Janambu yang jaraknya cukup dekat dengan Hitadipa. Ia menempuh dengan jalan kaki pada pagi hari, dan sore hari baru kembali Hitadipa.
Sementara pelayanan di Bulapa, jaraknya cukup jauh. Ia harus menginap. Pada hari Sabtu pagi berangkat dan baru kembali pada Minggu sore.
Pendeta Yeremia juga dikenal sebagai ahli bahasa. Ia merupakan penerjemah kitab suci dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Moni. Ia harus ke Timika untuk mengerjakan penerjemahan kitab suci bahasa Moni ini.
Setelah selesai menjadi ketua Klasis, ia mengajar di sekolah Teologi Pertama di Sugapa mulai hari Senin hingga Kamis. Selama mengajar, Pendeta tidak kembali. Pendeta baru kembali ke Hitadipa pada hari Jumat hingga Minggu.
Intimidasi kepada Gereja
Penembakan yang terjadi kepada pendeta dan pelayan gereja di Intan Jaya, menurut Pendeta Dora Balubun menunjukan bahwa negara, melalui aparat keamanan, melakukan intimidasi kepada gereja.
“Mereka tidak menghargai para pimpinan gereja. Mereka tidak menghargai para pekerja gereja, bahwa kami harus hati-hati karena kapan pun kami bisa ditembak,” kata Pendeta Dora Balubun kepada Katolikana.com.

Menurut Pendeta Dora, peristiwa penembakan pendeta dan katekis atau pewarta di Intan Jaya telah menunjukan hal penting.
Pertama, mereka mau menunnjukan kepada kami, kepada gereja bahwa pekerja gereja adalah ujung tombak gereja, yang mendampingi jemaat.
Kedua, kata Pendeta Dora, mereka menjadi tokoh di tengah jemaat yang sangat penting.
“Bagi kami gereja, mereka ujung tombak bagi pelayanan,” kata Pendeta Dora Balubun.
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa penembakan yang diarahkan kepada pelayan gereja bagian upaya negara untuk menghentikan tokoh-tokoh gereja yang menyuarakan keadilan dan kebenaran.
“Kami tidak boleh menyuarakan jemaat dan pelayanan-pelayanan itu akan terhenti, karena para pendeta itu akan menjadi kekuatan bagi jemaat-jemaat kita untuk berbicara soal keadilan dan kebenaran,” kata Dora Balubun.
Penduduk Mengungsi
Setelah jenasah pendeta Yeremia dikubur pada 20 September 2020, sekitar pukul 11.00 waktu stempat, penduduk di Distrik Hitadipa mengungsi ke hutan-hutan dan sejumlah daerah kabupaten sekitar.
Bahkan masyarakat Hitadipa mengungsi hingga ke Nabire dan Yahukimo. Hingga laporan Tim Kemanusian dipublikasikan, belum ada upaya pendataan mengenai pengungsiaan ini.
Pendeta meninggalkan pelayanan karena didera ketakutan. Menurut Pendeta Dora Balubun, para pendeta ini memerlukan penguatan agar bisa kembali melayani jemaat.
“Ini butuh energi besar yang harus dilakukan oleh gereja-gereja di Papua untuk menolong para pendeta dan juga hamba Tuhan, yang hari ini kehilangan harapan karena peristiwa yang terjadi,” katanya.
Menurut Pendeta Dora, Tim Kemanusiaan baru bertemu dengan dua pendeta, sementara yang lain masih di tempat pengungsiaan. Menurutnya, pendeta GKII di Intan Jaya jumlahnya sekitar 23 pendeta.
“Kita tidak tahu di mana. Ini kerja yang panjang, terutama memang ini keluarga-keluarga pendeta, mereka meminta untuk aparat itu harus ditarik dari Hitadipa sebagai wilayah gereja supaya masyarakat bisa kembali dan merasa aman.”
Laporan: Basilius Triharyanto

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.