Katolikana.com—Kasus pencabulan anak di bawah umur yang menimpa tiga orang anak di Depok oleh seorang pengelola panti asuhan bernama Angelo, menemui jalan buntu.
Selain pelaku belum dihukum, kasus ini justru menjadi berbelit. Seolah si pelaku memiliki kebal hukum. Kasus serupa yang terjadi di Paroki Herkulanus, Depok pelakunya sudah divonis dengan hukuman 15 tahun penjara.
Hal ini terungkap pada diskusi “Bedah Kasus Pencabulan Anak-Anak Asuh: Apakah Sang Kelelawar Malam Kebal Hukum” yang digelar Minggu, (14/3/2021).
Diskusi ini menghadirkan pembicara: Ipda Elia Herawati, S.Tr.K., Kanit PPA Polres Depok, Ermelina Singereta, S.H.,M.H., Pendamping Hukum Korban, Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.H., (Ahli Hukum Pidana), Poengky Indart S.H., LLM (Komisi Kepolisian Nasional), Nahar S.H., M.Si (Plt. Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA) dan Dr. Livia Iskandar, M.Sc., P.Si. (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Polisi Hadapi Kendala
Ipda Elia Herawati selaku PPA Polres Depok memaparkan kronologi perkara. Menurut Elia, laporan kasus ini masuk pada September 2020, dengan tempat kejadian di angkot yang tengah berhenti di depan tukang potong rambut.
Saat itu ada empat orang anak panti yang sedang potong rambut, dan tiga orang korban beserta pelaku sedang di dalam angkot. Lokasi kedua ialah di dalam toilet pecel ayam.
Pihak kepolisian sudah melakukan pemeriksaan terhadap korban dan para saksi. Namun dalam proses penyelidikan untuk memastikan rangkaian peristiwa yang diceritakan oleh korban menemui beberapa kendala.
Pertama, tukang potong rambut yang didatangi saat penyelidikan sudah berganti orang. Akibatnya, tak ada orang yang bisa memastikan bahwa pada periode Juli 2019 ada anak panti yang menggunakan angkot untuk potong rambut.
Kedua, karyawan tempat pecel ayam yang ketika itu didatangi korban dan pelaku sudah tidak bekerja.
“Selain itu ada ketidakcocokan antara keterangan korban dengan keterangan sopir angkot mengenai keberadaan supir angkot, saat kejadian pencabulan tersebut,” ujar Elia.
Tulus mengatakan, dalam keterangan korban, supir angkot berada dalam angkot dan melihat dari spion. Sedangkan menurut pengakuan supir angkot, ia berada di luar angkot.

Dilaporkan Dua Kali
Pendamping Hukum Korban Emelina Singereta mengatakan, kasus yang menjerat Angelo sudah dilaporkan dua kali. Pertama, pada September 2019.
Saat itu pelaku ditahan di Polres Depok, namun akhirnya dibebaskan demi hukum karena masa tahanan habis.
Emelina Singereta memaparkan, setelah laporan pertama mengalami kendala.
Saat itu banyak tekanan dari publik yang mempertanyakan soal bagaimana kelanjutan kasus Angelo.
Maka KPAI membentuk grup WA “Koordinasi Kasus Angelo” dengan anggota Kementrian Sosial, KPTA, lembaga, LPSK, KPAI, Kepolisian—tidak hanya Kepolisian Depok tapi juga Mabes Polri.
“Grup WhatsApp ini untuk memudahkan proses koordinasi dalam rangka mendorong Kepolisian, dalam hal ini Polres Depok, untuk membukakan kembali kasus itu atau melanjutkan kembali laporan pertama,” jelas Ermelina.
Karena kasus pertama mengalami kendala, dibuatlah laporan kedua pada 7 September 2020 dengan nomor laporan: STPLP/2096/K/IX/2020/Restro Depok dan Pasal yang digunakan adalah Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Laporan kedua dibuat oleh Bapak Darius selaku pengelola panti tempat anak-anak itu tinggal.
Ermelina Singereta selaku Pendamping Hukum Korban menyayangkan tidak adanya koordinasi dari pihak Polres Depok dengan dirinya mengenai kendala apa yang ditemukan oleh Polres Depok dalam proses penyelidikan.
Menurutnya, kalau Polres Depok mengalami kendala dalam proses penyelidikan dapat dikoordinasikan sehingga Ermelina dan tim bisa turut membantu. Misalnya, meminta bantuan LPSK yang memang punya tanggung jawab untuk menangani kasus-kasus seperti ini.
Ada Kejanggalan
Ahli Hukum Pidana Ahmad Sofian melihat adanya kejanggalan dalam kasus pelaporan pertama, yakni mengapa tidak diperpanjang masa penahanan?
“Penyidik mempunyai wewenang untuk memohon perpanjangan masa penahanan kepada jaksa penuntut umum,” ujar Ahmad Sofian.
Berdasar pasal 24 KUHP ayat (1) dan ayat (2) masa penahanan bisa diperpanjang 40 hari setelah maksimal jangka waktu penahanan 20 hari.
“Kalaupun ternyata sudah diperpanjang, seharusnya waktu 60 hari cukup untuk penyidik melengkapi berkas. Nyatanya, hingga kini berkas itu belum juga bisa dilengkapi oleh kepolisian,” tambahnya.
Selain itu tidak ada Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). “Karena belum terbitnya SP3, seharusnya status Angelo masih sebagai tersangka. Sebab penangguhan penahanan seharusnya bukan berarti menghentikan penyidikan,” tambah Ahmad Sofian.
Pasal 24 ayat (4) tertulis jika masa tahanan habis, mengeluarkan tersangka demi hukum, status tersangka tetap melekat.
Ahmad Sofian memahami jika Ermelina dan tim kesal dengan pihak penyidik. “Sebab seharusnya kasus ini sudah bergulir ke pengadilan, dan Angelo sudah menikmati hotel prodeo di lembaga pemasyarakatan,” tegasnya.
Kompolnas akan Lakukan Gelar Perkara
Anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indriarti mengatakan akan mengawal kasus Angelo ini karena sudah menerima pengaduan dari pihak lawyer.
“Kompolnas juga akan melakukan gelar perkara terkait kasus ini agar kasus ini dapat dijalankan dengan baik,” ujarnya.
Polres Depok perlu berkoordinasi kepada pihak lawyer bilamana dalam proses penyidikannya ditemukan kesulitan. Agar kasus ini bisa diselesaikan dan pelakunya bisa dihukum.[]
Kontributor: Agatha Sita

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.