Majalah PRABA, Tetap Bertahan Sebagai Media Cetak untuk Memenuhi Kebutuhan Lansia

Majalah PRABA merupakan majalah Katolik yang menggunakan bahasa Jawa.

0 1,936

Katolikana.comKalau Anda ditanya, apa majalah Katolik tertua di Indonesia? Pasti jawabannya Majalah HIDUP yang terbit sejak 5 Januari 1946.  Selain Majalah HIDUP, Majalah PRABA merupakan majalah Katolik yang tergolong ‘tua’ karena terbit sejak 8 September 1949.  

Menurut Kemala Atmojo, seorang pengarsip media cetak di Indonesia, hingga edisi No. 1 Tahun VII/5 Januari 1955, nama pengelola Majalah PRABA tak muncul di majalah. Baru pada tahun 1957, terlihat nama pengelola majalah, yaitu: Direktur: A. Dibjawahjana SJ, dan Redaksi: St. Mudjilan (Penanggung Jawab).

Mengutip Kemala Atmojo, pada mulanya PRABA adalah majalah tengah bulanan. Baru pada tahun-tahun berikutnya menjadi majalah sepuluh harian, terbit tiap tanggal 5, 15, dan 25. Harga: Rp. 1,- per edisi. Alamat Redaksi: Bintaran Kidul 5, Yogyakarta.

Isinya tak cuma mengenai agama Katolik. Tapi ada berbagai cerita umum lainnnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan ada cerita wayang dan cerita pendek,” tulis Kemala Atmojo.

Majalah PRABA Tahun VII, Nomor 1, 5 Januari 1955. Foto: atmojo.id

Salah satu tokoh penting yang pernah mengisi Majalah PRABA adalah almarhum Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara S.J. 

Menurut F. Danuwinata SJ, selama menyelesaikan studi doktoral, Drijarkara menuliskan sejumlah keadaan/pengalaman yang dijumpai di sana untuk dipublikasikan di kolom “Serat Saking Ngerum di Majalah PRABA.  

Tulisannya di Majalah Praba edisi 11 November 1951, berjudul Napels pralambanging kadonjan sing larut (Napels simbol keduniawian yang lenyap) Drijarkara mengisahkan bagaimana ia betul-betul menikmati pendakian gunung berapi tersohor di Italia yaitu Visuvio. 

Tahun 1952 sd 1955 Driyarkara mengelola rubrik Warung Pojok di Majalah PRABA dengan memakai nama samaran Nalajaya (Pak Nala). Driyarkara telah menghasilkan 123 tulisan pendek yang telah dikumpulkan ulang oleh G. Budi Subanar menjadi buku bertitel Pendidikan Ala Warung Pojok. 

Ini salah satu contoh tulisan Driyarkata berupa kritik sosial yang disampaikan dalam narasi yang jenaka, berjudul “Olah Lidah” di rubrik Warung Pojok: 

“Sekarang zaman model. Banyak orang berolah lidah. Lha ya kalau lidah sapi atau lidah babi rasanya sedap. Tetapi ternyata olah lidah artinya olah raga lidah alias menggerakkan lidah, bicara semaunya, bertengkar semaunya, saling mencela semaunya, saling menuduh semaunya, saling menjelekkan semaunya.

Memikirkan orang yang saling olah lidah tersebut rambut Pak Nala menjadi putih semua. Seumpama bangsanya Pak Nala olah lidahnya dikurangi dan ditambah olah pikiran dan olah tenaga, sedikit bicara banyak bekerja, kiranya keadaan bangsanya Pak Nala akan lebih baik dibanding yang sekarang.” 

Di majalah PRABA ini, Driyarkara mengajak pembacanya untuk merefleksikan berbagai masalah politik, ekonomi, sosial budaya, dan religi sebagai masalah yang dihadapi masyarakat luas. 

Dari ‘Sangat Liturgi’ ke Umum 

Pemimpin Redaksi Majalah PRABA Antonius Setya Putra (Toni) mengungkapkan, bentuk fisik majalah PRABA itu awalnya seperti tabloid atau berbentuk selebaran.  

Menurut Toni, penerbitan PRABA awalnya menggunakan dengan bahasa Jawa. Namun, sejak 1995 majalah PRABA mulai menggunakan bahasa Indonesia (80%) dan bahasa Jawa (20%). 

“Kalau jumlah halaman akan selalu berkembang seiring dengan kebutuhan dan jumlah pelanggan”, ungkap Toni. 

Menurut Toni, sejak pertama ia bergabung dengan PRABA tahun 2007 ia merasa bahwa isi PRABA cenderung ‘sangat liturgi’. 

“Kalau penampilannya seperti itu bagaimana bisa maju?” ungkap Toni.  

Ketika Toni diberi mandat sebagai Redaksi Pelaksana, ia mengubah semua rubrikasi menjadi format yang agak umum.  

Tahun 2016, Toni ditugaskan menjadi Pimpinan Redaksi. Saat menjabat sebagai Pimpinan Redaksi, Toni membuat rubrikasi yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan pelanggan.  

Ia membidik kaum muda dan remaja serta Ibu rumah tangga dengan rubrik resep masakan dengan harapan bahwa seluruh anggota dapat membaca dan berlangganan.  

Antonius Pamuji Jarot Susilo (59), seorang Prodiakon Gereja Santo Paulus Pedan mengatakan majalah PRABA memiliki isi yang komplit, seperti adanya kesaksian, sajian utama mengenai Pekan Suci termasuk update. 

“Saya merasa senang sih baca majalah PRABA. Soalnya ada Ngudarasa Sabda Dalem karena saya sebagai salah satu prodiakon,” ungkap Antonius. 

Menurut Toni, PRABA tidak menerbitkan edisi khusus meskipun setiap tahun di bulan September ada peringatan ulang tahun PRABA. Namun, PRABA mencoba menghadirkan artikel mengenai eksistensi PRABA dari waktu ke waktu. 

“Menurut saya, majalah PRABA harus tetap menjaga eksistensinya agar tetap diminati para pembacanya,” ujar Antonius. 

Toni menjelaskan, media digital tak hanya memiliki kelebihan, namun juga ada kekurangan. Salah satunya ialah tidak terdokumentasi dengan baik. Lain halnya dengan media cetak yang mudah diarsipkan.  

“Bagi para pelanggan yang berada di usia tertentu, media cetak merupakan pilihan terbaik karena bisa dibaca seturut waktu yang dimiliki oleh pelanggan,” tambahnya. 

Pelanggan PRABA yang mengundurkan diri bukan karena alasan “cukup membaca berita melalui gadget” namun karena faktor usia yang makin renta di mana kemampuan mata untuk membaca kian menurun.  

Majalah PRABA di Masa Pandemi 

Di situasi pandemi seperti sekarang, PRABA juga ikut merasakan dampaknya. Ada beberapa tantangan yang PRABA alami sejak pandemi ini seperti sulitnya membuat janji dengan narasumber.  

Narasumber seringkali mengundur bahkan membatalkan janji yang sudah disepakati akibat kesibukan narasumber. Hal ini tentunya sangat memengaruhi jadwal penerbitan.  

“Jika dibatalkan, saya harus mencari narasumber pengganti dalam waktu yang cukup singkat,” jelas Toni.  

Menurut Toni, sebelum pandemi, majalah PRABA masih memiliki pelanggan yang cukup banyak untuk ukuran media rohani (Katolik).  

PRABA yang terbit setiap tanggal 5 dan 20 setiap bulannya ini tetap dinantikan oleh pelanggannya. 

“Sejak pandemi, satu demi satu pelanggan mengundurkan diri. Apa pun alasannya, dapat dipahami bersama,” ujar Toni. 

Toni mengungkapkan sejak lama Ia sangat menginginkan PRABA untuk beralih ke media digital, namun terdapat beberapa pertimbangan yang menjadikan PRABA tetap terbit di media cetak. 

Majalah PRABA identik dengan ‘bacaannya lansia’ atau mereka yang berusia di atas 40 tahun. Faktor usia inilah yang menjadi pertimbangan PRABA tetap bertahan sebagai media cetak.  

“Banyak pelanggan PRABA yang lebih nyaman dalam bentuk cetak”, ungkap Toni. 

Para pelanggan merasa bahwa dengan bentuk cetak, mereka bisa membaca setiap waktu dan tidak perlu untuk diselesaikan saat itu juga. Selain itu, PRABA yang bertahan dengan cetak ini dapat untuk diarsipkan. 

Kadang ada pelanggan yang rajin mengumpulkan majalah ini untuk arsip pribadi,” ungkap Toni. 

Kontributor: Widya Silaban, Vinka Kristy, Yohanes Farih, Andreas Bagas (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.