SKP Gereja Katolik Se-Tanah Papua Keluarkan Seruan Pastoral Agar Masyarakat Asli Papua Dilindungi

Gereja Katolik tidak diam menyikapi berbagai situasi yang dialami masyarakat asli Papua.

0 6,258

Katolikana.com, Papua – Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Gereja Katolik Se-Tanah Papua menyerukan kepada negara dan berbagai pihak untuk melindungi masyarakat asli Papua di berbagai bidang kehidupan. Seruan ini dikeluarkan pada Jumat, 23 Agustus 2024, oleh lima SKP/SKPKC di Tanah Papua.

SKP/SKPKC (Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) Gereja Katolik se-Tanah Papua, terdiri dari SKPKC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Agats, SKP Keuskupan Timika, SKPKC OSA Christus Totus Papua, KPKC Keuskupan Jayapura.

Konferensi pers ini dipimpin oleh Koordinator SKP Se-Tanah Papua RP Heribertus Lobya, OSA. Kemudian, Elias Gobay, Sekretaris Komisi KPKC Keuskupan Jayapura, membacakan seruan pastoral secara daring, yang membuka dengan kutipan Mgr. Yanuarius Matopai You, Uskup Keuskupan Jayapura, “Kamu yang harus memberi mereka makan”.

“Bertolak dari kutipan itu, kami menemukan bahwa tugas memberi makan kepada orang Papua pertama-tama adalah tugas dan kewajiban pemerintah Indonesia. Akan tetapi tidak berarti gereja tinggal diam. Gereja harus menyerukan suara kenabian akan kebenaran, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan khususnya di Tanah Papua,” ucap Elias Gobay.

Selanjutnya, ia membacakan seruan ini, bahwa Gereja yang memiliki pengaruh besar di masyarakat, khususnya di Papua dengan mayoritas penduduk beragama Kristen, memiliki peran yang sangat penting sebagai mitra pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan.

Secara khusus dalam bidang Advokasi: Gereja sering kali menjadi suara bagi masyarakat yang terpinggirkan, memperjuangkan hak-hak mereka, dan mengawasi kebijakan pemerintah. Hingga awal Agustus 2024 ini, kami mencatat beberapa hal yang memprihatinkan di Papua dalam bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Dalam bidang sipil, kekerasan di Papua telah bertransformasi dari insiden sporadis, sesekali, tidak teratur menjadi suatu sistem yang  permanen dan terstruktur, berkelanjutan, terus-menerus, dan meluas.

Awalnya, kekerasan fisik mendominasi, namun kini luka psikologis akibat tindakan sistematis di berbagai sektor kehidupan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari realitas di Papua.

Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan di Papua bukan hanya masalah keamanan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang kompleks.

BACA JUGA: 50 Tahun YPPK Tilemans Papua di Paniai, Esau Tekege: Dulu Gaji 5 Rupiah Guru Tetap Layani di Tempat Terpencil, Sekarang? 

Dalam bidang politik, pemerintah Indonesia telah menerapkan strategi penguasaan politik di Papua yang ditandai dengan, pertama militerisasi: penguasaan wilayah secara militer dan intervensi dalam pemerintahan sipil. Kedua, pembelahan internal, yaitu melemahkan gerakan perlawanan seperti KNPB dan ULMWP serta memecah belah lembaga agama dan LSM.

Ketiga, manipulasi politik, yaitu mengendalikan lembaga-lembaga perwakilan seperti MRP, DPRD, dan kepala daerah agar tunduk pada kebijakan pusat. Keempat, peningkatan migrasi, yaitu mendorong migrasi penduduk non-Papua untuk mengubah demografi dan melemahkan suara masyarakat asli, dan terakhir ditandai penciptaan konflik horisontal, yakni memanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk menciptakan konflik internal di masyarakat Papua.

Kemudian, dalam bidang ekonomi, SKP se-Tanah Papua mencatat adanya eksploitasi sumber daya alam di Papua yang tak terkendali, terutama deforestasi dan perampasan tanah adat, telah memicu kampanye global ‘All Eyes on Papua’.

Kampanye ini bertujuan untuk menarik perhatian dunia terhadap krisis lingkungan dan sosial yang dihadapi masyarakat adat akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan.

Hashtag #AllEyesOnPapua telah menjadi viral, menunjukkan kepedulian masyarakat internasional terhadap isu yang menyoroti ancaman terhadap hutan dan budaya masyarakat adat Papua.

Sementara itu di bidang sosial, SKP se-Tanah Papua mencatat bahwa masyarakat Papua merasa termarjinalkan dan tak berdaya. Akibat berbagai permasalahan yang telah terjadi, masyarakat asli Papua (OAP) saat ini merasakan beberapa hal.

Pertama, kehilangan harapan. Mereka merasa masa depan mereka tidak pasti dan suara mereka tidak didengar. Kedua, pelanggaran hak. Mereka merasa hak-hak dasar mereka, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, dan martabat, terus-menerus dilanggar.

Ketiga, ketidakpercayaan. Mereka tidak percaya pada janji-janji pemerintah dan merasa dibohongi. Keempat, ketakutan. Mereka hidup dalam ketakutan akan kekerasan, konflik horizontal, dan ketidakstabilan. Dan kelima, keberdayaan yang terkikis: Mereka merasa kehilangan kendali atas kehidupan mereka sendiri dan tidak tahu bagaimana mengubah situasi.

Dalam bidang budaya, terdapat ancaman yang serius terhadap keberagaman budaya di Papua sebagai dampak dari bidang sipil, politik, ekonomi dan sosial seperti kelangsungan hidup masyarakat adat serta rusaknya nilai-nilai spiritual dan kultural yang terikat erat dengan alam, perubahan lanskap sosial dan budaya akibat migrasi besar-besaran penduduk dari luar Papua ke daerah ini telah mengubah lanskap sosial dan budaya.

Dominasi budaya pendatang mengancam keberadaan budaya asli Papua, terutama di wilayah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Akibat Konflik Sosial dan Politik, banyak pula tradisi dan upacara adat yang terbengkalai.

Selain itu, proses modernisasi dan globalisasi yang cepat telah membawa perubahan besar dalam gaya hidup masyarakat Papua. Akibatnya, banyak generasi muda yang meninggalkan tradisi dan nilai-nilai leluhur. Akhirnya, diskriminasi terhadap masyarakat adat Papua dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, telah menyebabkan rendahnya harga diri dan hilangnya semangat untuk melestarikan budaya.

Dari catatan berbagai bidang tersebut, SKP/SKPKC se-Tanah Papua kemudian menyerukan lima poin.

Pertama, Kepada Presiden Republik Indonesia untuk mengeluarkan payung hukum tentang status keamanan di Papua berdasarkan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Kedua, kepada Komnas HAM agar menindaklanjuti laporan-laporan dari Papua dan melakukan Investigasi kasus-kasus dugaan pelangaran HAM  di Papua (Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Puncak dan Puncak Jaya).

Ketiga, kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Prioritaskan Kesejahteraan Rakyat: Kembangkan ekonomi rakyat yang berkeadilan, kurangi kemiskinan, dan distribusikan sumber daya secara adil. Menyusun sistem penanggulangan kedaruratan di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Keempat kepada MRP, DPR Provinsi, Pemerintah Daerah dan Korporasi agar melindungi Hak Masyarakat Asli: Atur migrasi, cegah diskriminasi, dan lindungi hak-hak masyarakat asli Papua.

Kelima, kepada semua pihak agar segera menghentikan kekerasan: Akhiri segala bentuk kekerasan dan intervensi militer. Prioritaskan jeda kemanusiaan dan gencatan senjata. Buka Ruang Dialog: Fasilitasi dialog politik yang inklusif untuk mencari solusi damai atas konflik.

Seruan ini ditandatangani oleh masing-masing pimpinan SKP/SKPKC, yaitu Direktur SKPKC Fransiskan Papua RP Alexandro Rangga OFM, Direktur SKP Keuskupan Agats RD Lukas Lega Sando, Ketua SKP Keuskupan Timika Saul Wanimbo, Direktur SKPKC OSA Christus Totus Papua RP Heribertus Lobya, OSA, dan Sekretaris Komisi KPKC Keuskupan Jayapura Elias Gobay.

Editor: Basilius Triharyanto

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.