
Oleh Yulianus Gunawan Mamput
Katolikana.com—Dalam masyarakat kita yang beragam, perjumpaan dengan penganut agama lain bukanlah hal yang luar biasa—justru menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di sekolah, tempat kerja, dunia maya, bahkan dalam lingkup keluarga, kita hidup berdampingan dengan orang-orang yang tidak selalu memiliki keyakinan yang sama dengan kita.
Bagaimana kita sebagai umat Kristiani menyikapi keberagaman ini? Apakah iman kita harus bersikap defensif? Atau justru terbuka untuk berdialog dan belajar dari yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mendapat jawaban yang mendalam dari seorang imam Yesuit asal Belgia bernama Jacques Dupuis (1923–2004).
Ia adalah seorang teolog Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk memikirkan relasi antara agama-agama, khususnya bagaimana umat Kristiani bisa berdialog secara jujur, rendah hati, dan tetap teguh dalam iman kepada Kristus.

Bukan Menara Gading
Dupuis bukan sekadar teolog kelas ruang kuliah. Ia tinggal dan berkarya di India selama lebih dari 30 tahun sebagai misionaris Yesuit.
Dalam kehidupan sehari-harinya, ia bergaul langsung dengan para penganut agama Hindu, Muslim, Buddha, dan lainnya. Ia tidak melihat mereka sebagai “orang luar” atau objek misi belaka, tetapi sebagai sesama pencari kebenaran dan makna hidup.
Pengalaman panjang itu kemudian membentuk kerangka teologinya: bahwa keselamatan Allah tidak dibatasi oleh batas-batas Gereja, dan bahwa agama-agama lain pun bisa menjadi jalan bagi rahmat Allah untuk bekerja.
Buku terkenalnya, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism (1997), merupakan puncak pemikiran Dupuis.
Buku ini bahkan sempat mengundang perhatian dan penyelidikan dari Kongregasi Ajaran Iman Vatikan karena menawarkan gagasan yang dianggap cukup “berani”. Namun, hari ini, banyak pemikir dan praktisi dialog antaragama melihat Dupuis sebagai jembatan penting dalam mewujudkan perdamaian antarumat beragama.
Tiga Perspektif
Untuk memahami pendekatan teologi Dupuis, kita bisa melihat tiga perspektif atau “trilogi” gagasannya dalam menyikapi hubungan antara kekristenan dan agama-agama lain:
1. Keselamatan dalam Kristus untuk Semua Orang
Dupuis tetap teguh dalam keyakinan bahwa Yesus Kristus adalah pusat dan dasar keselamatan bagi seluruh umat manusia. Namun, ia juga membuka ruang bahwa orang-orang yang tidak mengenal Kristus secara eksplisit tetap bisa mengalami keselamatan karena karya Kristus yang universal, meski mereka mungkin tidak mengenal-Nya secara formal.
2. Kehadiran Kristus dalam Agama-agama Lain
Bukan hanya individu-individu yang diselamatkan secara pribadi, tetapi agama-agama lain sebagai sistem juga mengandung nilai-nilai yang benar dan suci. Kristus, yang adalah Sabda Allah, bisa hadir secara misterius dalam praktik dan ajaran agama-agama lain, meski tidak secara eksplisit disebutkan. Kehadiran ini tidak menghapus kekhasan iman Kristiani, tetapi justru memperkaya pemahaman kita akan karya Allah yang luas dan tak terbatas.
3. Peran Agama-agama dalam Rencana Keselamatan Allah
Menurut Dupuis, agama-agama lain bukan hanya “jalan alternatif”, tetapi punya tempat dan peran nyata dalam rencana keselamatan Allah bagi dunia. Ini bukan berarti semua agama sama, tetapi bahwa semua agama dapat mengandung unsur kebenaran dan membuka manusia kepada Allah.
Belajar Menjadi Manusia Lewat Dialog
Hidup manusia tak pernah lepas dari kehadiran orang lain. Kita belajar bicara, berpikir, bertindak sebagai manusia justru karena dibimbing dan hidup bersama sesama. Seperti kata Desmond Tutu, “Manusia yang merasa bisa hidup sendiri sebenarnya adalah submanusia.” Dalam konteks dialog antaragama, hal ini menjadi penting: kita menjadi manusia seutuhnya justru saat membuka diri terhadap yang lain.
Dalam konteks Indonesia—negara dengan enam agama resmi dan ratusan kepercayaan lokal—pemikiran ini sangat penting. Banyak konflik di negeri kita berawal dari kecurigaan, ketidaktahuan, atau bahkan fanatisme keagamaan yang menutup ruang dialog.
Dupuis menawarkan jalan tengah yang kuat dan seimbang: tetap setia pada iman Kristiani, namun terbuka secara jujur kepada kehadiran Allah dalam kehidupan orang lain.
Ia menolak dua kutub ekstrem:
- Eksklusivisme yang menutup dialog dan menganggap “selain kita” pasti sesat.
- Relativisme yang menyamakan semua agama dan menghapus kekhasan iman.
Sebaliknya, ia menawarkan “komplementaritas asimetris”—sebuah istilah yang mengakui bahwa meski agama-agama berbeda, masing-masing bisa saling memperkaya dan memperdalam pemahaman kita tentang Tuhan.
Ia menegaskan Kristus sebagai pusat keselamatan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Allah bekerja dalam tradisi agama lain dengan cara yang misterius.
Melalui konsep Kristosentrisme inklusif, Dupuis menyatakan bahwa Kristus adalah jalan utama keselamatan, tetapi rahmat Allah tidak terbatas pada Gereja Katolik saja. Dialog antaragama bukan sekadar ajakan untuk memeluk iman Kristen, melainkan kesempatan saling belajar, saling memperkaya, dan menyadari bahwa karya keselamatan Allah menjangkau jauh melampaui batas institusi.
Dengan cara pandang ini, dialog antaragama menjadi jalan untuk membangun perdamaian, memperdalam iman, dan menghidupi kasih Allah dalam kebhinekaan.
Dialog Bukan Kompetisi
Sering kali kita berpikir bahwa berdialog berarti “mengorbankan iman” atau “berkompromi terhadap kebenaran”. Tetapi bagi Dupuis, dialog adalah bentuk kasih kristiani. Yesus sendiri membuka hati-Nya bagi siapa pun yang mau mendengarkan dan berdialog: perempuan Samaria, pemungut cukai, orang Roma.
Dialog bukan tentang siapa menang dan siapa kalah. Dialog adalah pengakuan bahwa kita tidak memiliki seluruh kebenaran, dan bahwa kita selalu bisa belajar dari orang lain.
Tentu, dialog tidak selalu mudah. Dibutuhkan kerendahan hati, kesabaran, dan komitmen terhadap kebenaran. Tapi hanya dengan dialoglah kita bisa membangun dunia yang damai, adil, dan saling menghargai.

Iman yang Kokoh Tapi Ramah
Di dunia yang mudah sekali terbelah oleh perbedaan, kita butuh teologi yang menyatukan, bukan memecah. Kita butuh iman yang kokoh sekaligus ramah, tegas sekaligus terbuka. Dan di sinilah Jacques Dupuis menawarkan warisan yang sangat berharga.
Bagi umat Kristiani, ini bukan soal mengurangi cinta kepada Kristus. Justru sebaliknya: dengan semakin mencintai Kristus, kita diajak untuk melihat bagaimana kasih Allah menjangkau semua orang, dalam berbagai cara yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya.
Dalam zaman di mana konflik atas nama agama terus terjadi, pemikiran seperti Jacques Dupuis adalah oase yang memberi harapan. Bahwa dunia bisa lebih damai, jika kita semua mau mendengarkan, memahami, dan berjalan bersama, sambil tetap teguh dalam keyakinan dan rendah hati dalam cinta.
“Yesus adalah jalan, tetapi kasih-Nya tak terbatas pada jalan yang kita tahu.”
– Refleksi dari semangat Jacques Dupuis
Penulis: Yulianus Gunawan Mamput, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.