Melangkah dalam Iman, Berakar di Alam

Misa AMA di Aek Bolu dan Seruan Rohani untuk Kembali ke Akar

0 27

Tanah Jawa, Katolikana.com—Di tengah gemuruh zaman dan hiruk-pikuk dunia modern, sekelompok umat Katolik dari Paroki Kristus Raja Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, memilih untuk melangkah ke dalam hening dan harmoni ciptaan.

Punguan Ama Katolik (PERBAKAT) Rayon VI mengadakan misa alam di Aek Bolu —sebuah tempat tenang yang dikelilingi pepohonan rimbun dan dialiri air yang menenangkan, Sabtu (12/7/2025).

Aek Bolu adalah nama sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.

Sekitar dua puluh bapak Katolik dari tiga stasi —St. Ireneus Silobosar, St. Anna Bagot Puloan, dan St. Benediktus Rondang— turut hadir bersama para ibu, dalam sebuah perjalanan spiritual yang sederhana namun sarat makna.

Ketakutan Manusia dan Keberanian Injil

Dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Pastor Paroki, RD Parlindungan Sinaga, dibacakan kisah Yusuf yang meminta tulangnya dipulangkan ke tanah leluhurnya (Kej. 49:29-32; 50:25-26a), dan sabda Yesus dalam Injil Matius 10:24-33 yang berkata, “Jangan takut kepada mereka yang membunuh tubuh, tetapi tidak berkuasa membunuh jiwa.”

Bacaan ini menjadi cermin bagi manusia modern yang begitu diliputi ketakutan —akan penyakit, kematian, kegagalan, bahkan dendam yang tersembunyi.

Pastor menyinggung gaya hidup paradoksal masa kini: ingin sehat, tetapi makan sembarangan; ingin hidup lama, tapi mengabaikan keseimbangan hidup. Ketidakkonsistenan seperti ini, kata beliau, adalah gejala dari iman yang rapuh.

Iman sejati justru menguatkan manusia menghadapi ketakutan, bukan menghindarinya. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (no. 84) pun menyerukan agar murid-murid Kristus tidak tunduk pada keputusasaan, tetapi hidup dalam sukacita Injil dan keberanian iman.

Menemukan Allah dalam Alam

Perjalanan ke Aek Bolu tidaklah mudah. Jalanan sempit dan menanjak menjadi tantangan tersendiri. Namun sesampainya di sana, segala lelah terbayar lunas.

Gemercik air, semilir angin, kicau burung, dan bayangan dedaunan menjadi orkestra alami yang menyambut liturgi suci.

Dalam homilinya, RD Parlindungan menegaskan bahwa alam bukan sekadar tempat wisata, tetapi saksi hidup kehadiran Allah, dan karena itu layak dipelihara dengan kasih.

Seruan ini selaras dengan Laudato Si’ (2015), ensiklik Paus Fransiskus yang menegaskan bahwa merawat bumi adalah bagian tak terpisahkan dari iman Kristiani. Alam adalah ruang pewahyuan, tempat perjumpaan antara manusia dan Sang Pencipta.

“Setiap ciptaan memiliki nilai, dan bumi ini bukan milik kita, melainkan rumah bersama yang dipercayakan Tuhan,” demikian refleksi Laudato Si’ yang terwujud nyata dalam misa di Aek Bolu.

Mengampuni sebagai Jalan Pemulihan

Kisah Yusuf bukan hanya kisah kesuksesan di tanah asing, tapi juga kisah pengampunan yang radikal. Ia yang dibuang oleh saudara-saudaranya, justru menjadi penolong saat kelaparan melanda. RD Parlindungan mengangkat tema ini sebagai panggilan untuk menyembuhkan relasi dalam keluarga dan masyarakat yang kerap terluka oleh gengsi, kesibukan, dan ego.

Dalam terang filosofi Batak Tolu Sahundulan —hormat pada hula-hula, lemah lembut kepada boru, dan rukun dengan dongan tubu— kita diajak kembali kepada nilai-nilai dasar kebudayaan yang harmonis dan Injili. Dendam, kata beliau, adalah penyakit rohani yang tak kasat mata namun perlahan menggerogoti jiwa.

“Dendam adalah penyakit yang tidak bisa didiagnosis secara medis, tetapi bisa membunuh iman dan kasih,” ujar Pastor.

Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti (2020) menegaskan bahwa damai sejati hanya lahir dari keberanian untuk mengampuni. Pengampunan bukan kelemahan, tetapi kekuatan yang menyembuhkan.

Liturgi Terbuka, Iman yang Terhubung

Misa di Aek Bolu membuktikan bahwa liturgi tak harus berlangsung di gedung megah. Tanah menjadi altar, langit menjadi langit-langit gereja, dan burung-burung menjadi koor. Umat yang hadir diajak merenungkan tiga pertanyaan eksistensial:

  1. Apakah saya peduli pada lingkungan hidup saya?
  2. Apakah saya menjaga keharmonisan dalam keluarga saya?
  3. Apakah saya sungguh percaya kepada Tuhan, atau masih dikalahkan oleh rasa takut?

Iman yang tumbuh di alam mengajak kita kembali ke akar. Alam mengajari kita rendah hati. Tanpa pengakuan, tanpa pujian, pohon tetap memberi naungan dan sungai tetap mengalir. Maka, liturgi alam bukan sekadar pengalaman estetis, tetapi pengingat akan esensi iman: terbuka, tulus, bersandar sepenuhnya pada Allah.

Kesaksian Hidup dan Seruan Bertindak

Misa AMA di Aek Bolu bukan hanya kenangan, tetapi panggilan hidup. Panggilan untuk menjaga bumi, berdamai dengan diri dan sesama, serta memperkuat iman yang terhubung dengan realitas. Dalam suasana alam yang sejuk dan penuh kedamaian, umat mengalami perjumpaan dengan Allah secara lebih utuh dan jujur.

“Iman yang lahir dari tanah akan berbuah dalam hati yang bersih,” demikian kata RD Parlindungan menutup homilinya.

Liturgi ini bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan untuk membangun keluarga yang rukun, lingkungan yang lestari, dan kehidupan yang lebih kudus. Inilah makna sebenarnya dari melangkah dalam iman dan berakar dalam alam —menyatu dengan ciptaan, berdamai dengan sesama, dan percaya penuh kepada Allah yang hidup. (*)

Kontributor: Febriola Sitinjak, Mahasiswa STP St. Bonaventura KAM

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.