
Oleh T.H. Hari Sucahyo
Katolikana.com—Tiga bulan bukan waktu yang panjang untuk menilai sebuah kepemimpinan, apalagi bagi seorang Paus.
Namun, sejak 8 Mei 2025—saat nama Robert Francis Prevost diumumkan di balkon Basilika Santo Petrus—jejak langkah Paus Leo XIV mulai terasa. “Habemus Papam!” menggema, dan dunia segera bertanya: siapakah gembala baru ini?
Pilihan namanya, Leo XIV, seolah sebuah sinyal awal: mengaitkan dirinya dengan Leo XIII yang dikenang sebagai pembela keadilan sosial. Sejak awal, ia memberi kesan bahwa pontifikatnya akan menjadi perjumpaan antara warisan tradisi dan keberanian menjawab tantangan abad ke-21.
Dari Kapel Sistina ke Panggung Global
Misa perdana di Kapel Sistina sehari setelah pemilihannya, menjadi titik tolak arah kepemimpinannya. Dengan nada tegas namun hangat, ia mengingatkan bahwa Yesus bukan sekadar figur moral atau “pahlawan super” versi dunia modern, melainkan undangan masuk ke misteri kasih dan pengorbanan. Ada nada peringatan di sana—bahwa Gereja perlu kembali ke inti Injil tanpa kehilangan kesadaran akan realitas zaman.
Dua hari kemudian, ia memanggil para kardinal dan menegaskan komitmennya melanjutkan semangat Konsili Vatikan II dan visi Paus Fransiskus.
Namun, ia menambahkan agenda yang jarang disentuh di Vatikan: etika kecerdasan buatan. AI, katanya, adalah pisau bermata dua: bisa menjadi berkat, tapi juga ancaman martabat manusia bila tanpa kendali moral. Seketika, media dunia menaruh perhatiannya.
Simbol, Pesan, dan Gestur Berani
Dalam pekan-pekan awal, Leo XIV memilih gerak simbolis yang kuat. Ia berziarah ke Sanctuary of the Mother of Good Counsel—meneguhkan akar rohaninya di Ordo Agustinian—dan berbicara di hadapan ribuan wartawan, menyerukan kebebasan pers serta pembebasan jurnalis yang dipenjara. Di situ, ia tampil bukan hanya sebagai pemimpin Gereja, tetapi juga sebagai suara moral bagi hak-hak sipil.
Ketika ketegangan Israel–Iran memanas pada Juni, ia menyerukan “akal sehat” dan dialog damai. Di tengah dunia yang terbiasa dengan retorika kekuatan, ia mengembalikan peran Tahta Suci sebagai penengah moral.
Ia juga menegaskan kelanjutan proyek Sinode Sedunia—bukan sebagai agenda paus sebelumnya semata, tetapi sebagai proses reformasi pastoral yang panjang dan memerlukan kesinambungan.
AI dan Ensiklik Perdana
Langkah besar pertamanya di bidang ajaran datang melalui ensiklik tentang kecerdasan buatan. Dokumen ini menegaskan prinsip-prinsip martabat manusia, keadilan sosial, dan perlindungan dunia kerja sebagai fondasi pengaturan AI.
Tak hanya gereja, komunitas akademik dan industri teknologi pun menanggapi serius. Dalam satu terbitan, ia menjembatani moral Katolik dengan percakapan global paling mutakhir.
Diplomasi Moral dan Kesatuan Gereja
Dalam minggu-minggu awal, ia menerima sejumlah kepala negara dan pemimpin dunia. Pertemuan-pertemuan ini bukan sekadar basa-basi diplomatik, melainkan ruang untuk membahas kemanusiaan, perdamaian, dan hubungan Gereja–negara.
Menjelang akhir kuartal pertamanya, ia mengumpulkan imam dan umat Keuskupan Roma. Temanya sederhana tapi mendasar: kesatuan dan misi. Gereja yang terpecah, ujarnya, kehilangan daya kesaksian; Gereja yang lupa misi, perlahan mati.
Menariknya, ia tidak terburu-buru merombak Kuria Roma. Ia memilih mengamati, mendengar, dan membangun konsensus. Gaya ini mungkin mengecewakan pihak yang menunggu reformasi cepat, tetapi mengindikasikan kesadaran akan pentingnya kesinambungan.
Antara Penjaga Tradisi dan Penjawab Zaman
Jejak awal Leo XIV memadukan tiga hal: simbolisme rohani, intervensi moral di isu global, dan perhatian pada pembaruan internal Gereja. Dari kebebasan pers hingga etika AI, dari seruan damai hingga panggilan kesatuan, arah pontifikatnya mulai terbentuk.
Ia tampaknya paham bahwa menjadi Paus di era ini berarti hadir dalam percakapan global, berbicara dalam bahasa teknologi, hak asasi manusia, dan perdamaian internasional—tanpa kehilangan akar Injil. Ia belum memecahkan masalah besar Gereja dan dunia, tapi ia sudah menanam benih.
Hasilnya baru akan terlihat seiring waktu. Namun, dalam tiga bulan ini, satu hal jelas: Leo XIV berupaya menjadi penjaga warisan iman sekaligus penjawab tantangan zaman. (*)
Penulis: T.H. Hari Sucahyo, umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki Karangpanas Semarang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.