Selamat Jalan Rama Tan Thian Sing, MSF: Sang Guru Kehidupan yang Menyapa Hati

0 29

Yogyakarta, Katolikana.com — Langit Semarang tampak sendu pada Rabu, 4 Desember 2025. Kabar duka itu datang bagai angin yang menyentuh daun-daun kenangan: Rama Albertus Magnus Tan Thian Sing, MSF, seorang Misionaris Keluarga Kudus yang rendah hati, telah berpulang ke Rumah Bapa.

Rama Sing, begitu ia akrab disapa, bukan sekadar imam. Ia adalah guru kehidupan yang meninggalkan jejak sunyi namun mendalam di hati para murid dan rekannya.

Rama Sing pernah tinggal di Wisma Nazareth, Banteng, Yogyakarta, baik sebagai frater senior maupun sebagai pendamping novis MSF. Beliau dipanggil kembali ke rumah Bapa di surga pada pukul 08.15 WIB di RS St. Elisabeth Semarang. 

Pria asli Semarang ini dikenal dengan senyumnya yang teduh, kelembutannya yang menenangkan, namun di balik itu, tersimpan ketangguhan seorang karateka yang pernah menangkis serangan begal dengan tangan kosong—menyisakan jari tangan kanan yang kaku sebagai saksi bisu keberaniannya.

Namun, bukan jurus karate yang paling diingat darinya, melainkan jurus “menyentuh hati”.

Rama Albertus Magnus Tan Thian Sing, MSF memandu Frater Seminari Tinggi Fermentum, tingkat I – V, Sabtu-Minggu, 12-13/03/2016

Pelajaran dari Seekor Burung yang Mati

Priyo Yuwano, salah satu muridnya, tak akan pernah lupa pelajaran tentang kesadaran (awareness) yang diajarkan Rama Sing dengan cara tak terduga. Suatu hari, burung peliharaan di biara mati karena lupa diberi minum.

Alih-alih marah, Rama Sing meletakkan bangkai burung itu di bawah papan pengumuman dengan tulisan sederhana: “How do you care with your pet?” (Bagaimana caramu peduli pada peliharaanmu?).

“Tulisan dan bangkai burung itu seolah menampar ketidaksadaran saya akan betapa berharganya nilai kehidupan. Malamnya, saya tidak bisa tidur merefleksikan kelalaian saya,” kenang Priyo.

Cara mendidik Rama Sing memang unik. Bagi Siswantoro, novis angkatan 1985, teguran Rama Sing, “Jangan mengencingi WC,” awalnya terdengar konyol dan memancing pemberontakan batin. Namun, perlahan ia sadar, itu adalah latihan kesadaran (awareness) yang mendalam.

“Setahun bersama beliau mengubah sekian belas tahun hidup saya yang lain. Beliau melatih kami untuk sadar penuh, membedakan perasaan yang nyata dengan pikiran yang bisa dikarang-karang,” tutur Paulus Subiyanto, rekan seangkatan Siswantoro.

Kesadaran itulah yang kini menjadi bekal berharga bagi mereka di tengah hiruk-pikuk dunia.

Sapaan yang Menyembuhkan

Alfred Jogo Ena, seorang anak desa dari Flores, punya kenangan jenaka namun hangat. Tahun 1994, saat masih frater muda yang canggung bersepeda, ia tercebur ke kolam.

“Hahaha! Ini bukan akhir dunia, ini awal keberanianmu!” tawa Rama Sing pecah saat melihat Alfred basah kuyup. Tawa itu bukan ejekan, melainkan pelukan hangat yang mengusir rasa malu.

Kehangatan itu juga dirasakan Wiliam. Saat berjumpa kembali pada 2018, Rama Sing masih mengingat detail kecil tentang hobi renang Wiliam yang pernah diceritakan bertahun-tahun silam.

“Saya terhenyak. Beliau masih mengingat cerita sepele yang entah kapan saya ceritakan,” ungkapnya haru.

Bagi Adi Hendro, Rama Sing adalah “pelabuhan” saat badai krisis panggilan menerjang.

Ketika Adi bimbang antara lanjut imamat atau berhenti, Rama Sing memberinya nasihat bijak: “Frater, dalam situasi krisis, sebaiknya jangan membuat keputusan apa pun. Ibarat biduk di tengah badai, jangan menaikkan layar, sebaliknya turunkan layar! Tunggu badai reda, baru kita lihat langit cerah dan arah tujuan.”

Kata-kata itu terpatri dalam sanubarinya. Ia kemudian memutuskan menjalankan Retret Pribadi selama 30 hari di Roncalli, Salatiga, sebelum membuat keputusan mau ditahbiskan atau tidak.

Kerendahan Hati sang Karateka

Kenangan akan ketangguhan fisik dan kelembutan hati Romo Sing terekam jelas oleh Purwa Sumarta.

Ia mengenang masa-masa berlatih karate bersama sang imam, sebuah keahlian yang kelak menyelamatkan Romo Sing dari serangan begal bersenjata tajam di Jakarta. Tangkisan itu membuat jari-jari tangan kanannya cedera permanen, namun menyelamatkan nyawanya.

Purwa juga mengingat gestur khas Romo Sing yang selalu menutup mulut dengan tangan kiri saat tertawa, seolah menyeimbangkan ketangguhan tangan kanannya dengan kelembutan sikapnya.

Susy Haryawan masih ingat saat Rama Sing, yang baru pulang dari Roma sebagai Asisten Jenderal, tanpa gengsi ikut mengangkat jemuran saat hujan turun. “Merawat itu tidak mudah, ayo diangkat bareng,” ucapnya halus.

Broto Santosa mengenangnya dengan jenaka sebagai imam suci yang “lemah administrasi”. “Meja kerjanya kurang rapi. Itu saya lihat sejak frater di Banteng,” kelakarnya penuh kasih.

Warisan Abadi

Bagi St. Kartono, Rama Sing adalah pendidik karakter sejati. Ia mengamalkan prinsip nemo dat quod non habet (tak seorang pun bisa memberi jika ia tidak memiliki). Agar muridnya peduli dan penuh respek, Rama Sing selalu terlebih dahulu melakukannya.

Terbukti: pertama kali berjumpa Rama Sing di pelataran Biara Nazareth – 25 tahun setelah pamitan beliau di pintu biara, katanya “Kartono, saya baca tulisan-tulisanmu di KOMPAS. Kamu rupanya mendalami pendidikan, ya. Teruskan itu,” pesan Rama Sing.

Kini, sang pendekar rohani itu telah pergi. Namun, seperti kata Yordanus Ingkong yang mengutip nasihatnya, “Untuk bisa berhasil, banyak-banyaklah bekerja sama dengan orang lain,” warisan Rama Sing akan terus hidup. Sebuah pesan persaudaraan yang terus hidup melampaui kepergiannya.

Sugeng tindak, Rama Sing. Beristirahatlah dalam damai abadi. Jurus kasihmu telah memenangkan hati kami selamanya. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.