Senyum Indah Ibu

Oleh Nick Teluma, CSsR

0 71

SENJA sudah berlalu pergi, entah ke mana perginya. Yang kutahu, ia perlahan menghilang di balik tembok biaraku, meninggalkan jejak samar dilangit yang beranjak gelap.

Aku masih saja duduk membisu di teras depan biara, ditemani sebatang rokok Tani Madjoe dan segelas kopi yang kuseduh sore tadi. Asap rokok membubung pelan, menyatu dengan udara dingin yang mulai turun. Jam di ponselku menunjukkan pukul 18.30 WIB, pertanda waktu makan malam di biaraku.

Namun, aku tetap memilih diam di sini, mengabaikan dentang lonceng yang memanggil untuk makan malam. Sebab ada sesuatu yang lebih kuat menarik pikiranku, bayangan sosok yang selalu kurindukan.

Iya, dialah ibuku. Perempuan sederhana dengan senyum indah, yang nasihat-nasihatnya masih hidup di dalam ingatanku seperti litani yang terus berulang.

“Nak, kalau ragamu lelah dan jalanmu masih jauh, kemarilah nak, beristirahatlah sejenak di pangkuan ibu. Ibu akan memberikan pelukan terhangat untukmu, hingga engkau terlelap dalam pelukan ibu dan lupa akan lelahmu.”

Kalimat-kalimat itu kini hanya gema sunyi yang terus bergaung di sudut pikiranku. Ibuku telah pergi, meninggalkan jejak luka yang tak pernah benar-benar sembuh, ruang kosong di hatiku yang tak mampu diisi oleh apa pun.

Ah, Tuhan… aku masih ingin pelukan hangat ibuku. Mengapa, Tuhan? Mengapa Engkau memanggilnya begitu cepat, seakan waktu belum memberiku cukup kesempatan untuk mencintainya lebih lama?

***

DULU, aku tak pernah tahu betapa berharganya momen-momen sederhana bersamanya. Di pagi buta, saat ia membangunkanku dengan lembut, “Ayo bangun, nak hari sudah terang.” Atau saat ia dengan sabar mengajarkanku berdoa sebelum tidur, “Berdoalah, nak. Tuhan selalu mendengar.”

Aku sering merasa itu semua hanyalah rutinitas. Namun kini, setiap kata yang pernah ia ucapkan seolah berubah menjadi doa yang menggema dalam jiwaku.

Ketika aku memutuskan untuk masuk ke biara, ibuku sempat terdiam lama. Aku masih ingat wajahnya saat itu. Matanya berbinar bangga, tapi bibirnya bergetar menahan sesuatu.

“Kalau itu panggilan hatimu, ibu mendukungmu, nak,” katanya dengan suara yang nyaris berbisik.

Suaranya bergetar, tetapi aku tahu kata ibu penuh keikhlasan. Aku melihat air matanya jatuh perlahan, bukan karena ibuku tidak rela, tapi karena ia tahu hidupku akan berada di jalan yang telah kupilih.

Malam itu, sebelum keesokan pagi keberangkatanku, ibu menyiapkan makan malam istimewa. Pucuk daun labu dalam kuah santan kelapa yang gurih, ayam goreng hasil tangkapanku sore tadi, dan sebakul nasi hangat tersaji di atas meja makan sederhana kami.

Mungkin itu cara ibu menunjukkan cinta tanpa harus berkata-kata.

Kami makan bersama dalam diam, hanya sesekali aku menangkap tatapan sendunya yang mencoba tersenyum ketika kakak pertamaku menceritakan sesuatu hal yang konyol.

Aku tahu, jauh di lubuk hatinya ada perasaan haru dan sedih yang bercampur menjadi satu.

***

KEHILANGAN ibu mengubah banyak hal dalam hidupku. Setiap nasihatnya kini menjadi kompas bagi langkahku. Ketika aku merasa ragu pada panggilan hidup ini, suara lembut ibu kembali terngiang, “Berdoalah, nak. Tuhan selalu mendengar.”

***

KOPI di gelas mulai dingin. Angin malam yang dingin menerpa wajahku, membawa serta suara-suara malam yang hening. Aku kembali mengingat hari-hari terakhirku bersama ibu. Saat itu, tubuhnya mulai lemah, tapi senyumnya tetap hangat. Aku duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangannya erat.

“Jaga dirimu baik-baik, nak. Jangan nakal, dan Jadilah tabah,” ucapnya.

Nasihatnya sederhana, tapi terasa penuh berat. Mungkin, ia tahu waktu kami tak lama lagi.

“Ibu, jangan tinggalkan aku,” pintaku waktu itu, seperti anak kecil yang takut kehilangan.

Ia hanya tersenyum. “Ibu tidak akan pernah benar-benar pergi, nak. Ibu selalu ada didoamu, di setiap langkahmu.”

Aku tidak sepenuhnya mengerti saat itu. Tapi kini, aku mulai memahami. Kehadiran ibu memang tak lagi dalam wujud fisik, tapi cintanya abadi. Ia hidup dalam ingatanku, dalam doa-doaku, dalam setiap detak jantungku yang ia ajarkan untuk tetap tabah.

***

Bahkan dalam sunyi malam ini, aku bisa merasakan kehadirannya. Ia seolah-olah duduk di sampingku, mengusap kepalaku dengan lembut dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir rasa rindu yang kian menyesakkan dada. Asap rokok terakhir perlahan lenyap bersama hembusanku.

***

 “NAK, kamu tahu?” kata ibu di suatu senja. “Hidup ini tidak selalu mudah. Tapi kalau kamu terus berdoa, kamu akan menemukan kekuatan. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.”

Aku tersenyum kecil. Mungkin benar, aku harus mulai menerima kenyataan bahwa ibu memang telah pergi. Tapi cinta dan nasihatnya tetap hidup dalam hatiku, menjadi lentera yang menerangi jalan dalam setiap gelapku.

***

SUARA riuh teman-teman fraterku yang telah selesai makan dan doa malam memecah lamunanku, membawa aku kembali dari pusaran kenangan bersama ibu.

Langit malam perlahan menaburkan kilauan bintang-bintangnya, seolah mengirimkan pesan-pesan kecil dari surga. Aku meneguk sisa kopi lalu beranjak dengan langkah perlahan, membawa gelas itu kembali ke kamarku.

Namun, sebelum aku melangkah masuk, aku berhenti sejenak di depan pintu kamarku, menengadah ke langit luas yang pekat. Dalam hening, aku berbisik lirih, “Terima kasih, Ibu. Tetaplah hadir di dalam doaku,”.

Langkahku kini terasa lebih mantap, seakan beban rindu sedikit terangkat. Malam ini, aku akan menulis surat untuk ibu, sebuah surat yang tak membutuhkan amplop ataupun perangko.

Mungkin ia tak akan membacanya dengan mata, tapi aku yakin, ibu mendengarnya dengan hati.

Ibu, cinta dan kasihmu adalah anugerah terbesar yang pernah Tuhan titipkan dalam hidupku. Setiap senyum, setiap nasihat, dan setiap pelukanmu adalah doa yang hidup, menuntun langkahku hingga hari ini.

Meski raga kita terpisah oleh jarak yang tak kasatmata, aku tahu engkau tidak benar-benar pergi. Kehadiranmu tetap nyata, mengalir dalam setiap napasku, menyala dalam setiap doa yang kuhaturkan untukmu.

Aku ingin mengatakan, aku merindukanmu. Rindu yang tak bisa diukur oleh jarak atau dihitung oleh waktu.

Ada saat-saat di mana aku berharap bisa kembali ke masa lalu, hanya untuk memelukmu sekali lagi dan berkata, “Aku mencintaimu, Ma.” Tapi waktu terus melaju, dan aku hanya bisa memeluk bayangmu dalam doa.

Tuhan terima kasih telah mempercayaiku untuk lahir dari rahim seorang ibu yang begitu luar biasa. Seorang ibu yang tidak hanya mengajariku tentang kehidupan, tetapi juga tentang cinta, ketulusan, dan pengorbanan.

Tuhan, jika ibu bisa mendengarku dari surga, sampaikan padanya bahwa aku mencintainya, sekarang dan selamanya.

***

SETELAH menuliskan surat, aku terdiam sejenak membiarkan setiap kata yang kutuliskan meresap ke dalam hatiku sendiri. Mataku menatap kosong ke lembaran kertas yang kini penuh dengan curahan rindu dan cinta.

Aku menarik napas panjang, lalu melipat surat itu dengan hati-hati, seolah sedang menyimpan sebagian dari jiwaku di dalamnya. Aku meletakkan surat itu di atas meja, di samping lilin kecil yang masih menyala redup.

Angin malam menyelinap masuk lewat celah jendela, membelai wajahku dengan lembut, seolah membawa kehangatan yang pernah kutemukan dalam pelukan ibu.

Pelan-pelan, aku merebahkan diri di tempat tidur. Kelopak mataku terasa berat, tetapi hatiku jauh lebih ringan. Dalam hening, aku kembali mendengar suara lembut ibu, seperti bisikan yang hadir di antara gelap malam: “Tidurlah, Nak. Tuhan selalu menjagamu.”

Senyum tipis terukir di bibirku. Aku menarik selimut hingga ke dada, menghembuskan napas panjang, lalu memejamkan mata. Malam ini, aku tertidur dalam damai, bersandar pada kenangan tentang senyum indah ibu yang akan selalu hidup dalam hatiku. (*)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.