‘Sumarah’ Tidak Memakai Sesajen dalam Menyembah

Mbah Sumarno: Sumarah itu pasrah dengan menyembah kepada Allah.

0 835

Katolikana.com—Kamis malam itu seperti pekan-pekan sebelumnya. Sembilan orang duduk melingkar mengelilingi meja berisi beberapa kue basah dan teh panas yang masih mengeluarkan uap.

Lima orang pria dan empat wanita itu, salah satunya sudah paruh baya, adalah penganut kepercayaan Sumarah yang sedang beribadah di Pendopo Paguyuban Sumarah, Wirobrajan, Kota Yogyakarta.

“Biasanya kami berkumpul di pendopo ini setiap Kamis malam atau mengikuti kesepakatan bersama yang ditentukan melalui WhatsApp grup,” ujar Nugroho, sekretaris paguyuban Sumarah.

Kamis malam dipilih bukan karena hari itu sakral dalam kepercayaan Sumarah. Melainkan mengikuti kesepakatan bersama para pengikutnya, menyesuaikan jadwal keseharian.

Sembilan orang yang ditemui malam itu tidak selalu menentu, karena tak ada paksaan bagi pengikutnya untuk melakukan sujud Sumarah bersama.

“Kami tidak selalu dalam jumlah yang sama ketika sujud Sumarah, tetapi melalui kesadaran saja karena mengikuti kegiatan masing-masing,” ucap Nugroho.

Latihan Sumarah

Pukul 21.15, terdengar sahut jangkrik menemani suasana hening di Pendopo Paguyuban Sumarah. Nugroho memberikan aba-aba menggunakan bahasa Jawa krama untuk memulai sujud Sumarah.

Beberapa orang yang bergabung malam itu mengambil posisi duduk dan memejamkan mata. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka dan suasana menjadi benar-benar sunyi.

Sekira sepuluh menit, terucap kata “Allah… Allah… Allah,” sahut Nugroho.

Beberapa saat kemudian, ucapan tersebut kembali terdengar dari Kuswijoyo dan seorang ibu di samping saya.

Tak ada gerakan secara khusus yang dilakukan. Mereka hanya duduk diam dengan mata terpejam. Tak terlihat ada ritual khusus malam itu.

Menjelang 20 menit berlalu, Nugroho menyilakan seorang ibu untuk membacakan sesanggeman (niat warga Sumarah).

Selesai pembacaan sesanggeman,  seorang bapak mengucapkan rangkaian kata “Bagi pembangunan Indonesia,” ujarnya dan dilanjutkan dengan bahasa Jawa Krama. Sekilas yang terdengar adalah doa bagi pembangunan bangsa Indonesia.

Beberapa waktu kemudian, Kuswijoyo, Nugroho, Heri, Mbah Sumarno, dan lainnya bergantian memanjatkan doa menggunakan bahasa Jawa krama.

Tak lama kemudian ritual sujud Sumarah pada malam itu selesai ditandai mata yang terbuka. Pembicaraan setelahnya menandakan ritual usai.

Ritual Sumarah. Foto: Heinrich Terra

Ritual Sumarah

“Dalam sujud Sumarah tidak ada waktu yang ditentukan berapa menit, tapi kami merasakan sesuatu dalam hati seperti kode dari rasa hening,” jelas Nugroho.

Kurang lebih 40 menit hening dan berdiam diri ternyata tidak ada ketentuan khusus dalam waktu, melainkan berdasarkan rasa dari dalam hati penganut aliran kepercayaan Sumarah.

Teringat pada waktu sujud Sumarah sedang berlangsung terdapat bacaan yang dilantunkan berisi kesanggupan warga Sumarah.

Menurut Nugroho, sesanggeman terkait kesanggupan Sumarah yang terdiri dari sembilan poin.

Sesanggeman adalah gambaran sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh pengikut Sumarah dalam keseharian,” ucap Nugroho.

Nugroho juga menjelaskan makna kalimat yang terucap yakni ‘pembangunan untuk Indonesia’.

“Kalau di Sumarah ada bagian-bagian sujud. Di awal ada sujud pambuko untuk menentramkan suasana, sujud pamuji yakni sujud kepada Tuhan, ada sujud pembangunan sesuai dahulu kala ketika turunnya wahyu untuk kemerdekaan makanya kami juga mendoakan itu. Ada juga sujud tersengusih untuk mendoakan anggota yang sedang sakit, serta ada sujud panutup yang dibawa sampai ke rumah, ” jelas Nugroho.

Kepercayaan Sumarah mengenal beberapa sujud dalam latihan. Salah satunya, sujud pembangunan yang bertujuan mengingat kembali turunnya wahyu dari Tuhan serta mendoakan bangsa Indonesia.

Nugroho juga menjelaskan kata “Allah… Allah… Allah” ketika sujud. “Sama seperti halnya dzikir, di dalam hati kami juga mengucapkan ‘Allah… Allah… Allah…’ untuk memfokuskan pikiran serta hati menyembah Tuhan Yang Maha Esa,” sahut Nugroho ketika dimintai keterangan.

Cerita Pengikut

Di sela-sela perbincangan malam itu, sebelum peribadatan dimulai, pandangan saya tertuju kepada sepasang suami istri yang tergolong baru dan satu sesepuh penganut kaum kepercayaan Sumarah.

“Saya waktu itu masih SMP tahun 1992. Dulu ada tetangga saya perwakilan ranting Sumarah di kecamatan. Dahulu saya pikir Sumarah itu belajar tenaga dalam atau Kejawen, tetapi itu salah melainkan ini kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Heri, salah satu pengikut Sumarah.

Sebagai pengikut aliran Sumarah, sempat terlintas di benaknya bahwa terdapat stigma yang kurang baik. Namun, setelah bergabung stigma tersebut hilang karena Sumarah mempercayai Tuhan Yang Maha Esa.

“Seiring berjalannya waktu Sumarah berdampak bagi kehidupan saya. Dahulunya sifat saya keras tapi bisa lembut dan mengurangi hal-hal negatif. Jadi saya berusaha hidup dengan apa yang diajarkan Sumarah,” kata Heri.

Bagi Heri, sejak ia bergabung dengan Sumarah membawa dampak baik dalam hidupnya.

“Cara menyembah kepada Tuhan yang berkesan bagi saya. Latar belakang saya Kristen, dulu tidak pernah ada cara menyembah seperti Sumarah. Saya bisa mendapatkan ketenteraman dan kedamaian. Hal ini membuat iman semakin kuat dalam menjalani hidup,” ujarnya lagi.

Pengikut Sumarah tidak semata-mata dari lahir sudah mempercayai Sumarah. Sumarah terbuka pada siapa saja yang mau meyakini kepercayaan tersebut, seperti halnya Heri dan istrinya.

Pengalaman Heri berbeda dengan Mbah Sumarno, sesepuh yang paling lama mengikuti aliran kepercayaan Sumarah pada malam itu di

“Dulu suami saya juga penganut Sumarah jadi saya tahu, atau kalau pas latihan seperti ini saya memperhatikan dari belakang. Sumarah itu menenangkan pikiran, neram, tentrem di dalam hati sanubari,” jelas Mbah Sumarno.

Selama menganut kepercayaan Sumarah, banyak pembelajaran yang membuatnya merasa nyaman dan menenangkan hati sanubari.

“Sumarah itu pasrah dengan menyembah kepada Allah,” tutup Mbah Sumarno malam itu.

Kontributor: Heinrich Terra, Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.