Katolikana.com, Tangerang — Paguyuban Alumni Seminari Santo Paulus Palembang (PASSpapa) Korwil Jabodetabek merancang arah juang PASSpapa yang dikemas seperti Sidang Akademi. Beberapa alumni yakni Paulus Widiyanto, RD. Stefanus Supardi, R.T.S Masli, dan Her Suharyanto hadir sebagai pemantik diskusi yang berlangsung di Rumah Makan Telaga, Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten (7/3/2019).

Rektor Seminari Santo Paulus Palembang Romo Petrus Sugiarto SCJ mendorong alumni agar menguatkan misi utama pembentukan PASSpapa. Dengan analogi tanggapan Petrus atas peristiwa penampakan Tuhan di Gunung Tabor, Romo Sugiarto mengatakan, “Baiklah kami mendirikan tiga kemah, satu untuk PASSpapa, satu untuk Seminari, dan satu lagi untuk Gereja dan masyarakat.”
Tiga kemah itulah yang menjadi penghiburan besar bagi seminari, karena banyak alumni survive dan berkontribusi bagi Gereja dan bangsa Indonesia.
Penebar dan Penabur Sabda
Paulus Widiyanto menggugah alumni seminari dengan menekankan bahwa alumni adalah penebar dan penabur Sabda Allah.
“Kita adalah tempat menabur dan menebar Sabda Allah,” tegas Paulus, yang memulai studi seminari di kelas Gramatika 1961.
Di era kemajuan teknologi komunikasi, Paulus Widiyanto yang aktif dalam dunia komunikasi, mengatakan bahwa tantangan zaman sekarang adalah berani memasuki situasi hyper-teks.
”Cara kita menulis dan membaca teks harus semakin mendalam,” tegas mantan anggota DPR/MPR ini.
Bagi Paulus, alumni harus menggerakkan komunikasi yang komunikatif, agar pesan yang dikomunikasikan tidak saja sampai kepada orang Katolik, tetapi juga ke masyarakat luas.
Paulus memberikan contoh kemampuan Uskup Purwokerto dalam berbahasa Arab. Menurutnya, hal itu menarik perhatian masyarakat bahwa bahasa Arab pun digunakan dalam Gereja Katolik.

Terhadap pendidikan di Seminari Santo Paulus Palembang, Paulus mendorong agar infrastruktur pendidikan berbasis teknologi dikembangkan.
“Kita dapat mengupayakan perpustakaan digital untuk seminari agar sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman,” ucapnya.
Romo Stefanus Supardi Pr—angkatan Gramatika 1993—menantang semangat misi alamuni dengan menggali pemikiran para paus tentang misi Gereja Katolik. “Bagaimana misi Gereja sampai ke dunia?” tanyanya kepada alumni.
Melalui penelusurannya terhadap ensiklik-ensiklik para paus, Romo Pardi menekankan bahwa tantangan yang dihadapi Gereja Katolik saat ini adalah kecenderungan dan fenomena gnosisisme dan pelagianisme.
“Yang tampak saat ini adalah pembenaran dengan menggunakan akal semata-mata terhadap keberadaan masing-masing oleh banyak pihak. Dalam keadaan inilah alumni mengemban tugas perutusan Gereja,” tegas Romo yang sedang melanjutkan Studi Pascasarjana bidang pendidikan di UPI Bandung ini.

Social Enterpreneurship
Her Suharyanto—angkatan Gramatica 1980—mengarahkan alumni pada kenyataan kesenjangan yang kian tajam antara pihak yang kaya dan miskin secara ekonomi.
Seraya mencontohkan mengenai seorang anak Canada yang membangun keprihatinan sosial terhadap pekerja anak di Pakistan, mantan wartawan ekonomi ini mengatakan, “Ada segelintir orang semakin kaya dan ada banyak orang yang semakin miskin. Ada gap yang lebar.”
Terhadap gap ekonomi yang lebar itu, Her Suharyanto menyodorkan gagasan mengenai pengembangan model bisnis yang berimpak/berdampak bagi banyak orang, agar gap ekonomi tersebut dapat di atas.
“Alumni bisa mengembangkan model bisnis, yang di satu sisi keuntungan ekonomi tetap didapatkan, di sisi yang bersamaan tindakan sosial karitatif pun terwujud. Untuk itu, kita bisa mengembangkan gerakan social-entrepeneurship. Tak ada yang salah dengan mendapatkan uang dari tindakan-tindakan sosial karitatif yang kita jalankan,” paparnya.
Gerakan social-enterpreneurship yang didorongnya, juga merupakan upaya menjembatani dua pendekatan yang sering kali dipertentangkan satu sama lain, yakni pelayanan sosial karitatif murni, yang menekankan pelayanan sosial seutuhnya dan bisnis murni yang mengutamakan keuntungan ekonomi seutuhnya.
“Gerakan social-entrepreneurship memerlukan kerja sama, agar berkembang semakin besar dan tahan lama. Tidak bisa bekerja secara individual. Seperti kata pepatah Afrika ‘Jika ingin berjalan cepat, jalanlah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, jalanlah bersama-sama,” tutup pengajar pada Bank Indonesia Institute ini.

Transformasi dan Kolaborasi
R.T.S Masli—angkatan Gramatica 1968—yang tampil sebagai pemantik terakhir diskusi, menggelitik alumni dengan mengungkapkan tiga risiko masuk seminari, yakni menjadi romo, menjadi profesional bidang pendidikan, dan sebagai pamong dalam bidang-bidang strategis, seperti pollitik dan bisnis.
“Banyak alumni seminari yang menjadi profesional bidang pendidikan dan menjadi pamong dalam bidang-bidang strategis. “Tetapi tiga bidang itu memerlukan uang. Tidak ada kegiatan untuk survive (bertahan dan berkembang) tanpa uang,” ucapnya realistis.
Agar tetap survive dan memiliki uang, lanjut Masli, harus bertransformasi dan kolaborasi,” tegasnya. Masli menekankan bahwa kolaborasi sangat penting dalam era industri 4.0 sekarang ini. Era ini mengubah banyak hal. Karena itu, menurut praktisi bidang media dan periklanan ini, para alumni seminari harus membuat sebuah format bisnis, untuk berpartisipasi dalam pasar besar Asia.
“Kita perlu memikirkan dan mengusahakan sebuah mall serba ada. Mall menjual kebutuhan (need) dan keinginan (want),” tegasnya.
Masli mengajak para alumni agar merancang dan membangun unit bisnis berbasis teknologi saat ini. “PASSpapa bisa membuat sebuah aplikasi untuk memasarkan dan mendistribusikan produk home-industry. Dari situ uang dikumpulkan untuk membantu seminari dan gereja secara berkesinambungan,” ajak Masli.

Beragam Respon
Pokok-pokok pikiran yang disodorkan para pemantik merangsang alumni yang hadir untuk merespon. Willy Pramudya—mantan wartawan grup Kompas dan pegiat jurnalistik—menyoroti model pengembangan bisnis yang diajukan oleh Her Suharyanto.
“Model bisnis social-entrepreneurship masih bisa kita lakukan. Bersamaan dengan itu, kita harus menyumbang kepada seminari sebuah kurikulum yang progresif. Kita perlu membantu sekolah-sekolah. Kita membantu para guru seminari dan guru-guru lain agar lebih kompeten sebagai pendidik. Kita perbaiki pendidikan SD, SMP, dan SMA kita dengan membantu para guru agar memiliki kompetensi,” tegas salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.
Thomas Fatma mendorong alumni mendampingi para pendidik dan seminaris. Melalui pendampingan, alumni berkontribusi meningkatkan kualitas seminaris.
“Pendampingan yang kita berikan membantu para lususan seminari nanti tetap survive dan berkembang secara maksimal,” ucap wirausahawan makanan tahu ini, sambil mendorong agar struktur organisasi PASSpapa dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan organisasi profesional, supaya bisa membantu juga Gereja.
Tanggapan lain disampaikan oleh Koko Miko. Menurutnya, alumni membantu seminari dengan cara bahu-membahu untuk merawat seminari sebagai tempat pendidikan agar tetap berdiri.
“Seminari jangan dibubarkan atau ditutup. Seminari tetap berdiri sebagai tempat persemaian para imam dan tokoh-tokoh Gereja,” tegasnya.
Kepala sekolah SMP Presiden Cikarang, Jawa Barat ini, juga mendorong agar alumni menjadi teman para pastor dalam berkarya bagi Gereja.
Bersamaan dengan itu, alumni juga mendisain pemberdayaan finansial dan kurikulum seminari.
Beberapa alumni lain juga mendorong agar struktur organisasi PASSpapa dibentuk secara profesional agar melalui organisasi itu alumni bisa saling meneguhkan, membantu seminari, Gereja dan bangsa.
Laporan: Alexander Aur

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.