Berani Keluar dari Zona Nyaman
Untuk mampu bersaing, satu-satunya cara adalah berani keluar dari zona nyaman dan melakukan perubahan serta inovasi hidup.
Kini kita hidup di era disrupsi. Era ini ditandai dengan adanya perubahan pada berbagai aspek kehidupan. Penyebabnya tak lain adanya berbagai inovasi baru yang menggantikan sistem lama dengan cara-cara baru.
Sadar atau tidak, kita semua telah mengalami perubahan ini. Misalnya, kini tersedia bermacam marketplace online yang mempermudah cara kita melakukan transaksi jual-beli. Mau beli sesuatu, kita bisa memperoleh barang yang kita inginkan tanpa perlu keluar rumah.
Saat butuh makanan, kita cukup menekan fitur aplikasi ojek online yang menyediakan layanan untuk membelikan makanan. Tinggal klik layar ponsel pintar kita, tunggu beberapa saat, dan datanglah makanan yang kita inginkan.
Lahirnya beragam perusahaan rintisan (start-up) banyak berdampak pada perusahaan-perusahaan dengan sistem konvensional. Beberapa perusahaan besar akhirnya harus kalah dalam persaingan karena tak mau melakukan pembaruan dan inovasi.
Salah satunya terjadi pada Nokia, salah satu raksasa besar di dunia telekomunikasi. “Kami tidak melakukan kesalahan apapun, tiba-tiba kami kalah dan punah,” ungkap mantan CEO Nokia, Stephen Elop.
Berhadapan dengan era disrupsi, mau tak mau, suka tidak suka, kita harus ber-inovasi. Kita harus melakukan beragam pembaruan, meski seringkali harus disertai dengan pengorbanan.
Transfigurasi dan Transformasi
Injil Luk 9:28b-36 yang kita dengar pada Minggu Prapaskah II Tahun C mengisahkan peristiwa transfigurasi Yesus. Yesus mengalami perubahan rupa. “Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilau-kilauan” (Luk 9:29).
Peristiwa transfigurasi ini dilihat oleh Petrus, Yohanes dan Yakobus – tiga murid yang diajak oleh Yesus. Mereka kagum akan peristiwa yang mereka lihat. Tak hanya itu, mereka pun melihat dua sosok istimewa yang berbicara dengan Yesus, yakni Musa dan Elia.
Melihat kemuliaan itu, hati para murid tentu sedemikian bersukacita. “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa, dan satu untuk Elia” (Luk 9:33).
Usai mengatakan hal itu, mereka justru mendengar pernyataan: “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!” (Luk 9:35).
Keinginan mereka untuk tinggal berlama-lama menikmati kemuliaan dan saat yang membahagiakan itu tidak terlaksana. Alih-alih menikmati saat kemuliaan, justru mereka diminta untuk “mendengarkan” Yesus.
“Mendengarkan” Yesus berarti mereka dipanggil untuk mengikuti jalan perutusan yang akan dilalui oleh Yesus. Jalan yang dilalui itu ditempuh dengan jalan salib dan pengorbanan. Untuk itulah mereka harus “turun gunung” bersama Yesus.
Ketiga murid diingatkan bahwa untuk mencapai kemuliaan, mereka harus melaluinya dengan berani meninggalkan kenyamanan yang telah mereka cicipi dalam peristiwa transfigurasi.
Mereka harus berani menghadapi realita sesungguhnya. Bahkan, harus mau memanggul salib bersama Yesus. Di situlah para murid diajak keluar dari zona nyaman yang sedang mereka rasakan untuk memperjuangkan kemuliaan sejati.
Keluar dari Zona Nyaman
Salah satu penghambat mengapa kita tidak bisa bersaing dan berkembang adalah keengganan kita keluar dari zona nyaman hidup. Kita terlalu asyik dengan apa yang telah kita dapatkan.
Hidup yang sudah enak, membuat kita lupa untuk terus melakukan pembaruan. Kita hanya berhenti pada kenikmatan dan kenyamanan yang sudah ada, dan lupa bahwa di luar sana ada begitu banyak perubahan besar sedang terjadi.
Untuk mampu bersaing, satu-satunya cara adalah berani keluar dari zona nyaman dan melakukan perubahan serta inovasi hidup.
Memang, seringkali kita akan mengalami banyak tantangan dan harus rela berkorban. Tetapi justru di situlah kita akan menjadi pribadi-pribadi yang siap dan kuat.
Belajar dari pengalaman ketiga murid dalam Luk 9:28b-36, kita diajak melakukan perubahan. Kita diajak melakukan transformasi.
Para murid tidak dibiarkan berlama-lama melihat peristiwa kemuliaan yang membuat mereka sedemikian bahagia. Mereka diajak untuk “turun gunung” dan berani menghadapi realita yang sesungguhnya.
Kebahagiaan sejati tidak kita raih secara instan. Kebahagiaan sejati justru akan dirasakan ketika kita mampu menghadapi bermacam tantangan, dan bahkan seringkali mengharuskan kita berkorban.

Imam SCJ kelahiran Marga Agung (Lampung). Ditahbiskan sebagai imam di Marga Agung 11 Agustus 2016 oleh Mgr Yohanes Harun Yuwono (Uskup Tanjungkarang). Tahun 2015-2017 berkarya di Komsos Keuskupan Agung Palembang. Dan sejak pertengahan 2017 diutus menjalankan studi lanjut di Yogyakarta.