‘Kawanan Domba’ Papua Terlantar, Gereja Katolik Belum Keras Suarakan Kenabian

Umat Katolik Papua terlantar dan menderita, Pimpinan Gereja Katolik masih banyak diam.

2 3,499

Katolikana.com — Umat Katolik di Tanah Papua turut menanggung penderitaan akibat situasi sosial politik Papua yang tidak menentu. Dalam ketidakberdayaan tersebut, kawanan domba merindukan suara kenabian pimpinan Gereja Katolik Papua. Selain orang Papua telah dibaptis menjadi anak-anak Allah dan menjadi warga Gereja Katolik, tetapi juga misi Kerajaan Allah menuntut keberpihakan para Gembala bagi kawanan domba yang sakit, miskin dan tertindas.

Tanah Papua merupakan tanah terberkati. Sejak tanggal 5 Februari 1855, misionaris Gereja Protestan, Carl Willem Ottow dan Johan Gottlod Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam, Manokwari. Sejak hari itu, pekabaran Injil menyebar ke seluruh tanah Papua.

Gereja Katolik memulai karyanya di tanah Papua berawal dari Merauke. Pada tanggal 14 Agustus 1905, empat orang Misionaris Katolik dari tarekat Hati Kudus Yesus mendarat di Merauke. Mereka adalah Pastor Henri Nolen MSC dan Pastor Philipus Braun MSC, Bruder Adrian van Roesel MSC dan Bruder Melchior Oomen MSC. Sejak saat itu, tabuhan tifa pewartaan Kerajaan Allah bergema di Papua Selatan. Misi Katolik menyebar ke wilayah pedalaman Selatan Papua, seperti di Tanah Merah, Mindiptana, Mappi, Bade, Asmat, Mimika.

Di Papua bagian Utara dan daerah Pegunungan datang para misionaris Ordo Fratrum Minorum (OFM). Para misionaris Fransiskan tiba di tanah Papua pada 18 Maret 1937 tepatnya di Kaimana. Dari sana, mereka melakukan pewartaan Injil di Manokwari, Fakfak, Babo. Kemudian, ke Arso, Waris, Jayapura, Lembah Balim, Oksibil dan Paniai.

Wilayah yang luas dengan tantangan medan geografis tidak menyurutkan para pelayan Allah mencari dan menemukan orang Papua. Para misionaris tidak hanya   membaptis orang Papua. Mereka juga membuka sekolah, bengkel pertukangan, klinik kesehatan, pertanian dan peternakan.

Bermula dari empat Misionaris MSC di Merauke dan Misionaris Fransiskan di Kaimana, datang pula para Misionaris OSC di Agats, Asmat dan Misionaris Ordo Santo Agustinus di Manokwari dan Sorong. Gereja Katolik Papua bertumbuh subur. Seiring bertambahnya jumlah umat Katolik Papua, berdatangan pula tarekat Pastor, Bruder dan Suster untuk melaksanakan misi pewartaan Kerajaan Allah di tengah kehidupan orang Papua.

Saat ini, Gereja Katolik Papua menjadi satu provinsi Gerejawi dalam kesatuannya dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang berkedudukan di Jakarta. Provinsi Gerejawi Papua terdiri atas Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Agats, Keuskupan Manokwari-Sorong dan Keuskupan Timika. Setiap Uskup memiliki otoritas atas wilayah penggembalaannya dan bertanggung jawab kepada pimpinan Gereja Katolik tertinggi, Paus di Vatikan, Roma. Karena itu, setiap lima tahun, para Uskup melakukan kunjungan ke Vatikan. Di sana, mereka berjumpa dengan Paus dan menyampaikan reksa pastoralnya.

 

Perayaan 50 tahun Keuskupan Agats, 24 November 2019/Foto: Petrus Supardi

 

Tantangan Berpastoral di Papua

Pada masa silam, para misionaris Katolik mengalami tantangan medan pastoral yang sulit. Selain itu, transportasi dan alat komunikasi serba terbatas. Saat ini, akses transportasi dan komunikasi semakin mudah. Setiap saat para pastor dapat pergi ke stasi tanpa ada hambatan.

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada tantangan pastoral Gereja Katolik Papua. Pada masa ini, Gereja Katolik mengalami tantangan berat dalam mewartakan Kerajaan Allah. Situasi politik Papua sedang tidak menentu. Pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi bagi orang Papua tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hak Asasi Manusia (HAM) orang Papua, termasuk kawanan domba yang menganut agama Katolik terabaikan.

Pada Rabu, (07/10/202), pukul 07.40 WIT, Katekis Gereja Katolik Stasi Emondi, Paroki Bilogai, Keuskupan Timika, Kabupaten Intan Jaya, Agustinus Duwitau ditembak, pelakunya diduga aparat keamanan. Peluru menembus pada bahu kirinya. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Sabtu, (19/9/2020), diduga aparat keamanan juga menembak mati Pdt. Yeremias Sanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya. Hingga tulisan ini diturunkan, proses investigasi dilakukan oleh Komnas HAM RI dan tim investigasi lainnya.

Misi Kerajaan Allah yang diemban Gereja Katolik berhadapan dengan penderitaan orang Papua. Gereja Katolik mewartakan Kerajaan Allah yang berpihak pada orang sakit, miskin dan tertindas. Situasi Papua menuntut Kerajaan Allah itu menjadi nyata di dalam suara kenabian yang berpihak pada orang Papua yang sedang menderita. Suara kenabian tidak sebatas di mimbar dan media massa. Suara kenabian yang tinggal bersama dengan kawanan domba orang Papua yang sedang teraniaya ini.

Selama ini, kita menyimak provinsi Gereja Katolik Papua, yang terdiri atas lima uskup tidak lantang menyuarakan penderitaan orang Papua sebagai satu kesatuan Gereja Katolik Papua. Misalnya, kasus penembakan di Fayit, Asmat, Senin, (27/05/2019) yang menewaskan empat umat Katolik dan satu orang cacat permanen, hanya Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloyisus Murwito OFM yang mengeluarkan surat pernyataan mengutuk kejadian tersebut. Atau misalnya, kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014, yang menewaskan empat pelajar, hanya pihak Keuskupan Timika yang bersuara lantang. Di manakah Uskup lainnya? Bukankah Gereja Katolik Papua adalah satu, di dalam kesatuannya dengan wakil Kritus, Paus di Vatikan, Roma?

Selain itu, provinsi Gereja Katolik Papua merupakan bagian dalam Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) di Jakarta. Mengapa selama ini, KWI seakan-akan buta dan tuli terhadap jerit penderitaan orang Papua? Di manakah letak empati dan solidaritas sebagai satu Tubuh Kristus?

Sikap diam pimpinan Gereja Katolik Papua dan Indonesia terhadap penderitaan orang Papua menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan umat. Apa arti orang Papua menjadi warga Gereja Katolik, tetapi para Gembala mengabaikan penderitaan mereka? Para uskup dan pastor melayani siapa di tanah Papua? Pertanyaan semacam ini muncul lantaran sikap diam uskup dan pastor terhadap penderitaan yang sedang dialami kawanan domba orang Papua.

Siapakah orang Papua? Mengapa kematian mereka dianggap biasa saja bahkan oleh para gembala umat Gereja Katolik? Bagaimana para gembala, baik uskup maupun pastor hadir di dalam realitas penderitaan kawanan domba ini?

Kita mengetahui bahwa di setiap keuskupan di tanah Papua, ada Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) yang bekerja mengadvokasi Hak Asasi Manusia (HAM) orang Papua, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya (EKOSOB) maupun sipil-politik (SIPOL). Apakah SKP se-Tanah Papua di lima Keuskupan sudah efektif bekerja? Apakah hasil kajian SKP se-Tanah Papua telah menjadi rujukan bagi para uskup menyuarakan penderitaan orang Papua?

 

Pastor Vesto Maing, Pr sedang diskusi dengan pemerintahan kampung dan kader kampung Buetkwar, Distrik Akat, Asmat, 15 Mei 2019/Foto: Petrus Supardi

 

Kawanan Domba Terkapar

Sejenak kita mengarahkan pandangan ke kampung-kampung di tanah Papua. Di sanalah, kawanan domba tinggal. Di sana, kita jarang menemukan proses belajar-mengajar di sekolah dasar berjalan efektif, Puskesmas Pembantu (Pustu) atau Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) beroperasi sebagaimana mestinya, guru dan tenaga medis tidak betah tinggal di kampung dengan rupa-rupa alasan. Kawanan domba orang Papua terlantar, tidak bisa mengakses pendidikan dasar dan layanan kesehatan berkualitas.

Kita juga bisa melihat ekonomi kawanan domba orang Papua. Kita menyaksikan kesejahteraan masih terlalu jauh dari orang Papua. Di kampung-kampung, kawanan domba tinggal di rumah sederhana, tanpa listrik, air bersih dan jamban. Mereka sangat dekat pada sakit penyakit karena sarana-prasarana yang terbatas dan lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih.

Di perkotaan, kawanan domba orang Papua hampir tidak tampak. Tanah-tanah telah beralih ke orang pendatang. Toko, kios, rumah makan dan pasar berada dalam kekuasaan kaum pendatang. Orang Papua dikondisikan sedemikian rupa sehingga hanya menjadi konsumen aktif yang menggantungkan seluruh hidup pada barang-barang instan.

Kita juga melihat hutan dan gunung di Tanah Papua berada dalam ancaman serius. Ekspansi perkebunan kelapa sawit sedang merambah ke Papua, penggundulan gunung dan bukit untuk mengambil emas, tembaga dan lain-lain. Sekali lagi, kawanan domba orang Papua terkapar tidak berdaya di atas kekayaan alam Papua yang melimpah.

Secara keseluruhan, kita melihat bahwa orang Papua berada dalam situasi tidak menguntungkan. Dalam situasi ini, kawanan domba orang Papua membutuhkan gembala yang berada di pihak mereka. Gembala yang mau menyuarakan penderitaan mereka. Gembala yang rela memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yohanes 10:11).

 

Guru, aparat kampung bersama siswa SD Inpres Sogoni, 9 April 2019/Foto: Petrus Supardi

 

Menanti Suara Pimpinan Gereja Katolik untuk Papua

Sampai saat ini, kawanan domba orang Papua masih menunggu suara kenabian dari pimpinan Gereja Katolik Papua dan Indonesia. Harapan tersebut beralasan sebab mereka telah dibaptis, “Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.” Orang Papua menjadi anak-anak Allah dan warga Gereja Katolik. Karena itu, mereka berharap para gembala, uskup-uskup di Papua dan Indonesia bisa menyuarakan penderitaan mereka, baik di tingkat lokal, nasional maupun di dunia internasional.

Kita mengetahui bahwa selama ini, ada pastor dan uskup serta lembaga gereja seperti SKP telah menyuarakan penderitaan orang Papua. Kita tahu ada lembaga milik Ordo, seperti Fransiskan Internasional, yang membawa permasalahan Papua ke sidang Dewan HAM PBB. Meskipun demikian, kita masih menunggu suara pimpinan Gereja Katolik provinsi Gerejawi Papua dan KWI. Para Uskup di Papua dan Indonesia perlu menyampaikan permasalahan kawanan domba orang Papua kepada Presiden Indonesia di Jakarta dan Paus di Vatikan, Roma.

Suara pimpinan Gereja Katolik Papua dan Indonesia terhadap situasi chaos di Papua adalah hal mendesak, darurat. Saat ini, kawanan domba orang Papua terlalu dekat pada kematian. Bahkan, kawanan domba sedang hidup dalam ‘budaya kematian’. Orang Papua juga mati karena HIV-AIDS, minuman keras, TBC, malaria dan berbagai penyakit lainnya.

Sebagai pihak yang telah membaptis orang Papua, Gereja Katolik memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi kawanan domba orang Papua dari serangan apa pun. Para Uskup di Papua dan Indonesia harus berada di pihak orang Papua yang sedang mengalami penindasan, ketidakadilan dan marginalisasi. Para uskup berkewajiban memastikan bahwa orang Papua hidup sehat, bisa bersekolah, tidak mengalami diskriminasi dan marginalisasi.

Selama ini, pimpinan Gereja Katolik Papua dan Indonesia seperti tidak hadir di dalam penderitaan orang Papua. Kawanan domba orang Papua dibiarkan berjalan sendiri bagaikan domba tanpa gembala. Orang Papua dibaptis menjadi anak-anak Allah dan warga Gereja Katolik, kemudian dibiarkan menanggung sendiri penderitaannya. Ke depan, pimpinan Gereja Katolik Papua dan Indonesia harus sungguh-sungguh memperhatikan jerit tangis kawanan domba orang Papua.

Pimpinan Gereja Katolik Papua dan Indonesia perlu hadir di tengah penderitaan orang Papua. Segala duka dan penderitaan orang Papua harus menjadi duka dan penderitaan para Uskup di Papua dan wilayah lain di Indonesia. Di dalam perasaan senasib tersebut, kita berharap pimpinan Gereja Katolik Papua dan wilayah Indonesia lainnya membawa orang Papua ke masa depan yang lebih baik. Suatu masa depan tanpa kekerasan dan pertumpahan darah.

Orang Papua sedang sekarat di rumah mereka, tanah Papua, tetapi juga di dalam rumah Tuhan, Gereja Katolik. Dalam situasi ini, kawanan domba orang Papua yang meletakkan harapan mereka pada para Gembala, Uskup, Pastor yang mau peduli pada penderitaan mereka. Kawanan domba, orang Papua merindukan sosok Gembala yang mau mengalami penderitaan mereka dan membawa mereka keluar dari penindasan ini, ke suatu masa depan tanpa kekerasan, penindasan dan kematian sia-sia.

Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura. Tahun 2003-2012 menjadi anggota persaudaraan Fransiskan Papua. Sejak Agustus 2012 sampai sekarang menjadi aktifis pemberdayaan dan perdamaian Papua. Saat ini bekerja pada Yayasan BaKTI Makassar, sebagai koordinator Kabupaten Asmat Program KOMPAK LANDASAN PAPUA.

2 Comments
  1. Rufino says

    Mantap abang,

  2. Johan Marsel says

    Selain melihat keluar, perlu introspeksi kedalam. Dimanapun di Indonesia ini diluar Papua orang bisa berjalan kemanapun dengan aman dan rasa takut dijalan raya. Salah satu syarat utk maju adalah kerjasama. org setempat sj tidak betah dan takut utk ditugaskan bgm berharap orang luar betah bekerja. Coba buat catatan harian dlm 1 thn : org Papua tinggal dipedalaman diluar Papua dan org luar papua tinggal pedalaman papua. Msg-msg mencatat setiap mereka dpt gangguan & terancam …. stlh itu catatan disandingkan, dari sana bisa dibaca kira2 mengapa sulit maju …

Leave A Reply

Your email address will not be published.