Melepas Stres Imigran dengan Yoga

0 334

Oktober adalah bulan Kesehatan Mental. Ini berkaitan dengan penetapan 10 Oktober sebagai Hari Kesehatan Jiwa.

Tahun ini temanya adalah “Kesehatan Jiwa untuk Semua”. Saya akan berbagi pengalaman mengajar yoga untuk pengungsi yang diselenggarakan oleh Jesuit Refugee Service (JRS).

Para pengungsi yang ikut dalam pelatihan ini berasal dari berbagai belahan dunia dengan asumsi bahwa yoga –bukan hanya olah fisiknya–dapat berkontribusi bagi kesehatan jiwa. Apalagi saat bersamaan dengan adanya pandemi Covid-19.

Dari seberang lautan mereka datang. Meninggalkan negerinya yang dilanda perang. Terombang-ambing berhari-hari di kapal laut. Pikiran sering ngelangut.

Sebelum mendapatkan negeri baru pemberi suaka, hidup mereka seperti layangan putus. Terkadang harapan pupus oleh praktik lancung human trafficing, perdagangan manusia, di negeri mereka tinggal di dalam rumah sementara dan hidup dari derma.

Perempuan dewasa, anak-anak, juga lelaki, sangat mungkin dilanda stres berkepanjangan.  Terpisah dari keluarga dan berpencar, memberi peluang untuk berlaku liar. Tidak bebas bergerak. Tidak leluasa berpergian di negara yang sedang menggenjot pendapatan dari pariwisata.

Beruntung jika ada lembaga yang memberi perhatian serta pendampingan di rumah singgah untuk pengungsi dari Afghanistan, Irak, Eritrea, Somalia, dan beberapa negara Afrika.

Jesuit Refugee Service (JRS) adalah suatu lembaga di lingkungan Katolik dari konggregasi Jesuit. Di Indonesia, JRS mempunyai beberapa rumah singgah yang tersebar di Jakarta, Bogor, Sukabumi, Surabaya, Denpasar, dan Manado.

Mudita dan Karuna

Yudhi Widdyantoro/Foto: Pixabay_Rene

Ketika diminta mengajar yoga bagi para pengungsi, saya belum tahu bagaimana kelas online ini. Bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka? Apakah mereka sudah mengenal yoga?

Hanya dua anjuran Maharshi Patanjali, “Bapak Yoga” yang diingat: Mudita dan Karuna, friendliness and compassion, rasa persahabatan dan bela rasa dalam kamanusiaan.

Ada 38 peserta dengan antusias mengikuti kelas daring ini. Mereka bertahan sampai selesai sesi sepanjang 90 menit. Peserta masing-masing mengikuti dari kamar yang ditempati dengan menggunakan gawai. Sesekali terlihat, beberapa peserta mengutak-utik gawainya.

Peserta lelaki terlihat lebih semangat dan aktif, seperti Muzwari Ahmad dari Irak. Dia meminta dijelaskan yoga secara filosofis: arti, asal, dan manfaatnya secara keseluruhan.

Bilal Ezram dari Afghanistan meminta menyampaikan keluhan di lehernya agar saya, sebagai pengajar berhati-hati supaya keluhannya tidak parah.

Tercatat jumlah peserta 40 orang, terdiri dari 38 pengungsi ditambah dua orang dari JRS, Bonita dan Aryadi. Dari semua partisipan hanya pendamping dan peserta laki-laki yang menggunakan video sehingga bisa terlihat wajahnya.

Peserta perempuan tidak mengaktifkan video. Ada keyakinan dari mereka untuk menyembunyikan wajah jika bertemu orang asing, apalagi berbeda jender.

Karena ini pertemuan pertama dari rencana tiga kali sesi, tentu saja tingkat kesulitan yang diberikan adalah untuk pemula. Porsi latihan pernapasan dan meditasi diperbanyak, sementara latihan asana, olah fisik sederhana dengan intensi membantu mengurangi stres, seperti banyak dialami orang ketika masuk ke laboratorium eksperimen kesehatan jiwa manusia terbesar bernama kuncitara: kecemasan, amarah, kelelehan emosi, dan aneka gejala stres pascatrauma.

Kesulitan Mengajar Online

Selain tidak bisa leluasa berinteraksi dengan peserta, saya tidak bisa memperbaiki postur yoga yang dilakukan peserta seandainya ada yang kurang tepat sesuai kaidah yoga. Ini perlu diberi perhatian untuk menghindari cedera. Apalagi dalam olah napas yoga.

Ekspresi dan respons peserta ketika mereka sedang dalam pose yoga tidak bisa saya lihat dengan jelas dari perangkat online yang terbatas. Ekspresi dan respons adalah ujud ungkapan rasa yang merupakan bagian dari mind, batin–unsur lain dari diri setiap manusia, selain fisik. Ini juga perlu diperhatikan, dilatih dalam yoga.

Beragam Keyakinan, Berlatih Bersama

Saya tidak menanyakan agama atau kepercayaan pada peserta. Dari asal negara peserta yang beragam, dari negara-negara Arab yang mayoritas Muslim dan beberapa negara Afrika ada yang beragama Kristen. Sementara, imigran ini berlatih olah fisik, olah mental dan jiwa dari suatu tradisi yang berhubungan dengan Hindu dan Buddha.

Perasaan saya bercampur antara senang, puas, dan terharu. Senang menyaksikan bercampurnya orang-orang dengan agama dan keyakinan beragam berlatih yoga bersama. Puas karena respons dari peserta di akhir sesi yang mengungkapkan rasa senang.

Beberapa menyatakan keluhan fisik, seperti otot di leher yang sebelumnya tegang, sakit, selesai latihan keluhan itu mereda. Ada juga yang bilang menjadi lebih rileks.

Terharu karena yoga ternyata bisa berkontribusi bagi kesehatan mental dan jiwa tanpa melihat agama atau asal negara dan bangsanya. Seperti tema Hari Kesehatan Jiwa tahun ini, “Kesehatan Jiwa untuk Semua”, saya merasakan, yoga bisa juga bermanfaat untuk semua.

Yudhi Widdyantoro, Pendiri Yoga Gembira, Praktisi Yoga

Leave A Reply

Your email address will not be published.