Wawancara Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid Setiadi (1): Pandemi Covid-19 Membawa Jenis Keintiman Baru

0 324

Pandemi Covid-19 telah membuat perubahan sosial budaya kita dan mengubah perilaku dan interaksi kita, misalnya mulai dari: tidak bersalaman. Akibatnya, keintiman budaya kita yang sangat physical, pelan-pelan menghilang.  Lalu, bagaimana dampak perubahan ini dengan kehidupan lain, misalnya ekonomi ?

Penyiar Radio Katolikana Abraham Rahmat Adhie Pribadi atau Kang Mamat berhasil mewawancarai Direktur Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid Setiadi (52).

Bang Fay, demikian panggilan alumnus National University of Singapore (PhD) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, juga mengulas tentang jalur rempah dan kaitannya dengan jalur sutra.

Berikut petikannya.

BACA JUGA: Wawancara Hilmar Farid (2): Jalur Rempah adalah Jalur Kebudayaan

Dalam situasi pandemi ini Anda pernah bicara terkait pentingnya dokumentasi perubahan sosial budaya di tengah Covid. Bagaimana penjelasannya?

Ada salah satu program dari kita, namanya rekam pandemik. Kita bekerja sama dengan Asosiasi Dokumenteris Nusantara untuk merekam perubahan-perubahan yang terjadi semasa Covid, meliputi aspek sosial, budaya, dan ekonomi.

Kita coba menangkap perubahan-perubahan yang terjadi dalam keseharian: bagaimana perilaku orang dalam keseharian karena tidak bisa berinteraksi secara fisik, harus ada physical distancing, dll.

Termasuk sekolah: saya kira perubahan sangat besar dirasakan oleh anak-anak, misalnya tidak bertemu teman, hubungan dengan guru mengalami perubahan.

Kami bekerja sama dengan teman-teman film dokumenter mencoba memotret untuk merekam hal itu. Ini juga merupakan bagian dari usaha yang lebih besar untuk memahami apa dampak pandemik dalam kehidupan sosial budaya secara umum.

Buat saya, ini baru puncak gunung es, di bawahnya masih banyak perubahan lain yang belum kita lihat. Ini baru permulaan sekali sebetulnya. Kita ingin sejak awal kita bisa merespon perubahan-perubahan yang terjadi dan membayangkan perkembangannya di masa mendatang agar kebijakan-kebijakannya juga nanti sesuai dengan kenyataannya.

Jujur saja sebenarnya tidak ada yang tahu, kita tidak punya preseden dalam sejarah menghadapi pandemik yang demikian global. Sikap paling bagus adalah mencoba memahami serinci mungkin, sedetail mungkin, menangkap melalui keseharian untuk mendapatkan gambaran besar. Kurang lebih itu yang kita lakukan saat ini.

Hasil dokumentasi itu boleh diakses oleh masyarakat awam?

Bisa. Itu akan diputar secara berskala di TVRI karena TVRI sekarang bekerjasama dengan kementerian. Setiap hari sebetulnya ada program belajar dari rumah.

Dalam program itu, kita ambil salah satunya hasil rekaman itu. Sebetulnya sudah berupa film dokumenter. Kita mengisi program belajar dari rumah dan sambutannya bagus.

Kita mencoba merekam yang selama ini tidak banyak dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari di kampung, guru, kemudian juga pemain teater tradisi. Mereka selama ini tidak mendapat sorotan dari media. Kita justru mencoba untuk melihat peri kehidupannya mereka. Itu bisa diakses.

Kami sedang dalam proses membangun platform digital untuk mempermudah akses terhadap macam-macam hal yang kita kerjakan sehingga bisa dinikmati oleh kalangan luas.

Kalau di TV ada kecenderungan kalau tidak sempat nonton ya ketinggalan. Lewat platform kita masukkan semua. Jadi kapan pun, dimana pun, orang bisa mengakses.

Yang Anda tangkap, perubahan sosial seperti apa yang paling mencolok dalam masa pandemik ini?

Ini sebenarnya sangat mendalam walaupun mungkin belum kita rasakan. Orang sekarang merasa ‘Oke, semua ini hanya sementara. Nanti akan ada masanya kita akan kembali.’ Seperti biasa saja begitu. Sementara saya menangkap dalam banyak hal akan terjadi transformasi yang agak besar.

Hal sederhana dalam keseharian kita: orang tidak lagi salaman sekarang! Itu satu kultur yang saya rasa berabad-abad orang bertemu, tidak kenal pun salaman. Dulu untuk memulai satu interaksi sosial, sekarang tidak ada, hilang!

Dampaknya sekarang mungkin tidak begitu dirasakan tapi dalam berjalannya waktu selama tahun-tahun itu akan menciptakan perubahan sikap.

Keintiman dari budaya kita, kita sebetulnya sangat intim, sangat physical, itu semua akan hilang. Saya tidak tahu, mungkin sebagian orang sekarang masih bersikap ‘duh, sorry ya, tidak bisa salaman!’

Tapi mungkin lama-lama jadi biasa. Tidak bersalaman—low touch istilahnya—akan menjadi satu normal baru. Ini tentu dampaknya saya kira secara sosial sangat besar.

Tentu ini akan berdampak pada kehidupan lain, termasuk ekonomi.  Bagaimana jika kita menjadi sangat dingin atau impersonal, tentu dampaknya juga terhadap banyak praktek di dalam bidang ekonomi saya kira akan mengalami pergeseran.

Belum lagi jika kita bicara dalam bidang ekonomi pasar.  Pasar sangat terancam, bukan pasar dalam pengertian ekonomi saja, bukan pasar institusinya, tetapi pasar physic. Ketika orang datang untuk berinteraksi, pasar kan bukan hanya soal jual beli. Sebetulnya ada interaksi sosial juga.

Norma dibentuk di sana, pranata dibentuk di sana. Semuanya akan mengalami pergeseran yang terus terang belum ada yang tahu ke depannya seperti apa.

Menurut saya, yang akan sangat mengalami tantangan adalah prinsip solidaritas sosial, gotong royong. Semua konsep-konsep yang semuanya itu basisnya adalah ikatan-ikatan non-ekonomi, akan mengalami tantangan besar ke depan.

Prinsip-prinsip untung-rugi ini akan makin menonjol. ‘Kalau tidak ada untung ngapain gue ketemu?’ Kurang lebih seperti itu. ‘Sudah ada resiko tertular pandemik, ngapain saya harus investasi waktu dan mengambil resiko untuk sesuatu yang tidak membawa keuntungan langsung.’ Keuntungan di sini bukan hanya materi, tapi keuntungan untuk bertahan hidup.

Manusia saya kira secara umum sedang didorong ke level yang sangat instinktif—merespon sesuatu dengan memprioritaskan diri—agak merata kita lihat. Saya juga belum bisa membayangkan kehidupan sosial semacam itu.

Hal-hal yang dulu dianggap self first sekarang menjadi normal dan dianggap bagus. Kalau kita tidak salaman sama orang, pakai masker, kalau perlu jauhi kerumunan, dengan kata lain menjadi asocial.

Kalau semuanya itu dianggap normal, dianggap virtue, dianggap sesuatu yang harus dipegang, pastilah perubahannya itu akan sangat besar.

Tapi ini berkaitan langsung dengan survival kita?

Betul. Tapi di sisi lain kita juga melihat perkembangan media yang mungkin tidak ada presedennya juga. Percakapan yang seperti ini: bisa langsung suara, image, bahkan video, gambar bergerak muncul.

Waktu kita kecil, ini adalah impian, science fiction, seperti Startrek dll, di mana orang bisa berbicara dalam rupa hologram. Sekarang ini jadi realitas kita sehari-hari.

Saya pikir masa pandemi ini, semua seakan-akan mengalami percepatan. Komunikasi digital seakan-akan mengalami percepatan.

Semua langsung tiba-tiba masuk ke ranah percakapan digital, tidak hanya anak sekolah, tukang sayur, semua begitu. Benar-benar jadi terpusat. Semua komunikasi dimediasi oleh teknologi digital.

Ini membawa jenis keintiman baru. Keintiman fisik yang tadinya menjadi bagian keseharian kita, sekarang keintiman baru mengalami perubahan: kita tidak lagi bersentuhan. Tetapi, mungkin di level lain, kita menjadi lebih terbuka.

Contoh salaman tadi: kita bersalaman dengan orang, tetapi jelas di dalam tatanan yang ada kita menjaga kesopanan, bicara dan sebagainya. Di dalam komunikasi digital, keintiman fisiknya itu tidak ada. Di sisi lain kita menjadi flat, siapa pun itu. Ini kita lihat betul.

Kalau misalkan kita mengikuti media sosial, yang namanya norma, aturan, tata krama, sopan santun itu kan jungkir balik semua. Semua, tidak Presiden, tidak menteri semua jadi ‘Mas bro’ gitu, ya. Jadi, semua menjadi trivial, hirarki sosial tiba-tiba menjadi jungkir balik.

Keintiman yang berbeda, dan itu yang saya anggap satu tranformasi budaya yang sekarang sedang kita alami, dalam skala yang besar sekali. Yang pasti semua orang kena dan berlangsung dalam waktu yang sangat singkat.

Dalam proses seperti ini tentu ada yang kita sebut sebagai gegar budaya. Orang belum bisa menempatkan dirinya di dalam konfigurasi baru ini dengan enak.

Masih banyak kebimbangan, banyak marah-marah, dan kita lihat komunikasinya sangat riuh sekali. Seperti tidak ada pemersatu, rallying point-nya tidak ada, jadi semua begitu. Discourse, hoaks, wacana bersambut dengan fakta sejarah sehingga begitu riuh.

Saya kira menjadi suatu karakteristik yang khas dari suatu masa—sebutlah—panca roba, perubahan musim, perubahan transformasi kebudayaan yang saya rasa memang dalam skala yang sangat besar. Jujur saya tidak tahu ujungnya seperti apa, muaranya nanti apa, karena semua orang ikut berpartisipasi.

Itu bedanya mungkin dengan 100 tahun lalu, ketika surat kabar, percetakan meluas di Indonesia. Sekarang ini semua orang terlibat, sangat demokratik, semua orang asal punya pulsa dia bisa ikut di dalam percakapan walaupun dia bukan siapa-siapa.

Saat ini kita lihat gejalanya: orang di Tik-Tok dengan video mungkin cuma 40 detik tiba-tiba mendapat perhatian lebih besar dari pada pengumuman penting mengenai Covid. Itulah situasi kita sekarang.

Landscape media juga mengalami perubahan besar. Banyak orang kemudian, “duh, bagaimana ya?” Tetapi buat saya, ini memang masa-masa yang menantang, sangat exciting, karena begitu banyak hal yang terjadi, sangat dinamis.

BACA JUGA: Wawancara Hilmar Farid (2): Jalur Rempah adalah Jalur Kebudayaan

Simak wawancara melalui Katolikana Podcast:

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.