#TanyaRomo: Masuk Islam Karena Pacar Hamil di Luar Nikah, Bagaimana Jika Ingin Kembali ke Katolik?

Dia masih ke gereja seperti biasa, aktif dalam kegiatan gereja dan istrinya tidak mempermasalahkan. Tetapi dari dia sendiri ketika berada di keluarga istrinya dia pura-pura jadi Islam.

0 71

Katolikana.comSaya punya teman dekat seorang Katolik. Dia berpacaran dengan seorang wanita muslim. Dalam perjalanan mereka pacaran selama dua tahun akhirnya pacarnya hamil dan ketahuan sama keluarga pacarnya. Akhirnya dia dengan berani menemui pihak keluarga pacarnya dan saya mendampingi dia.

Ketika tiba di rumah pacarnya, dia diintimidasi untuk pindah agama. Kalau tidak mau, dia dipenjarakan. Posisi dia sebagai mahasiswa semester akhir. Dia juga merasa takut pada keluarganya sendiri. Pada saat bersamaan, bapaknya sedang sakit keras. Akhirnya dia memutuskan untuk berpindah agama tanpa sepengetahuan kelurganya.

Tetapi teman saya pernah bilang ke istrinya bahwa biar pun saya masuk Islam tapi saya tidak mengakuinya karena dipaksa dan penyelesaian sepihak. Namun dia merasa tidak nyaman dengan agama barunya. Sampai sekarang keluarga teman saya juga belum tahu dia ingin menjadi kembali Katolik seutuhnya.

Singkat cerita sampai saat ini masih membina rumah tangga normal. Dia masih ke gereja seperti biasa, aktif dalam kegiatan gereja dan istrinya tidak mempermasalahkan. Tetapi dari dia sendiri ketika berada di keluarga istrinya dia pura-pura jadi Islam.

Pertanyaan saya :

  1. Bagaimana menurut Kanonik apakah dia harus melalui 6 sakramen ketika dia ingin menjadi Katolik Kembali?
  2. Bagaimana hukumnya menurut Kanonik, walaupun dia bukan lagi Katolik tetapi masih mengimani Katolik.

Mohon pencerahan dan solusi dari romo dan dia sangat menyesal sudah salah ambil keputusan.

Erickson

 

Romo Postinus Gulö, OSC:

Saudara Erickson terima kasih atas pertanyaan Anda. Teman Anda itu, pria beragama Katolik. Dia seharusnya berlaku sebagai orang Katolik, yang tidak jatuh pada persetubuhan pra-nikah. Orang muda Katolik mesti berjuang berpacaran secara sehat, tidak justru mengikuti dorongan nafsunya. Masa pacaran mestinya dipahami sebagai bagian dari usaha mencari calon pasangan yang “cocok dan sepadan” (bdk. Kej. 2: 18). Selain itu, masa pacaran pula merupakan bagian dari persiapan perkawinan. Jangan sampai masa pacaran dimanfaatkan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan iman dan moral, yakni: persetubuhan pra-nikah.

Dalam banyak kisah nyata, dosa seksual yang satu akan mengakibatkan dosa-dosa lain. Dan itu sudah terbukti dalam kisah ini. Teman Anda ini melakukan persetubuhan di luar nikah hingga pacarnya hamil. Akibatnya? Dia meninggalkan iman kekatolikannya. Akibat lain, dia menyalahkan keluarga istrinya yang memaksanya untuk pindah agama sama seperti istrinya. Padahal akar “perpindahan agamanya” itu adalah perbuatan dosanya melakukan persetubuhan di luar nikah hingga hamil dan juga menjalin relasi dengan wanita non-Katolik.

Bahkan dalam kisah ini, dia akhirnya hidup dalam kebingungan dan kepura-puraan. Kendati dia sudah menjadi Islam, tapi dia merasa tidak nyaman. Dia tetap pergi ke gereja, tapi tentu dia terhalang menerima Komuni Kudus. Ketika dia berada dalam keluarga istrinya, dia pura-pura Islam. Sekali lagi, inilah akibat dari perbuatannya sendiri!

Perlu disadari juga bahwa “pernikahan” yang diawali dengan tindakan yang tidak terpuji akan menimbulkan hal-hal negatif lainnya. Misalnya, timbulnya ketidak-harmonisan dalam keluarga, konflik antara anak dan orang tua, belum siap berjuang setia dalam mempertahankan ikatan perkawinan. Tidak sedikit di antara mereka yang berakhir tragis: bercerai, dan anak-anak ditelantarkan!

Sekali lagi, umat Katolik dipanggil untuk berpacaran secara sehat. Jika sudah menemukan calon pasangan, berkomunikasi secara baik-baik dengan orang tua. Jangan ambil jalan pintas, dengan melakukan persetubuhan pada masa pacaran.

Sekarang, saya mau menjawab dua pertanyaan Anda. Pertanyaan pertama, bagaimana menurut Kanonik apakah dia harus melalui 6 sakramen ketika dia ingin menjadi Katolik Kembali? Terus terang, saya bingung dengan pertanyaan Anda ini. Maksudnya apa? Apakah ini maksudnya: ketika dia mau kembali ke Katolik apakah dia mesti menerima 6 sakramen? Dalam Gereja Katolik ada 7 Sakramen: Sakramen Baptis, Sakramen Penguatan, Sakramen Ekaristi, Sakramen Tobat, Sakramen Penurapan Orang Sakit, Sakramen Tahbisan, dan Sakramen Perkawinan.

Saya menebak saja bahwa pertanyaan Anda itu, yakni: menurut Kitab Hukum Kanonik (Hukum Gereja), apa yang mesti ia lakukan ketika dia kembali ke Katolik? Jika seorang Katolik yang pernah “murtad” kembali ke Katolik, maka ada beberapa langkah yang ia perlu lakukan, sebagai berikut:

Pertama, dia datang ke pastor paroki di wilayah di mana dia tinggal. Dia perlu mengisahkan mengapa dia pernah meninggalkan agama Katolik. Dia juga perlu menyampaikan niatnya bahwa ia kembali menjadi Katolik. Di sini, pastor paroki bisa mendampingi yang bersangkutan terkait ajaran pokok Gereja Katolik. Bisa juga didampingi oleh semacam tim katekese paroki.

Kedua, dengan sukarela dan rendah hati datang kepada pastor untuk mengaku dosa dalam Sakramen Tobat. Perlu disadari bahwa yang dimaksud dengan “murtad” menurut Hukum Gereja adalah setelah menerima baptis dalam Gereja Katolik menyangkal iman Kristiani secara menyeluruh (bdk. Kanon 751).

Dalam kisah kasus ini, sebenarnya, teman Anda ini tidak menyangkal secara menyeluruh iman Kristiani atau Katolik. Dia merasa “terpaksa” pindah ke agama Islam. Namun, dia perlu menyadari bahwa ia ternyata tidak setia dan tidak taat pada iman akan Yesus Kristus dalam Gereja Katolik. Dia perlu memohon pengampunan dari Tuhan atas kesalahannya ini. Dia juga perlu menyadari bahwa ia telah melakukan dosa seksual. Dia juga perlu mengakui ini dalam Sakramen Tobat. Dalam Sakramen Tobat itu pula, dia perlu menyesali, memohon ampun kepada Tuhan, dan mau bertobat dari dosa-dosa lain yang telah ia lakukan.

Ketiga, dia harus melakukan konvalidasi perkawinan. Artinya, dia mengesahkan kembali perkawinannya secara Katolik. Sebab, setiap orang yang telah dibaptis dalam Gereja Katolik harus tunduk pada aturan Gereja Katolik, termasuk aturan perkawinan (bdk. Kanon 1108).

Caranya: dia datang ke pastor paroki dan menyampaikan bahwa ia mau mengesahkan kembali perkawinanya. Oleh karena istrinya beragama Islam, maka ia akan melangsungkan perkawinan beda agama. Maka, ia mesti meminta dispensasi atas nikah beda agama kepada Bapa Uskup atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial. Praktisnya, yang membantu memintakan dispensasi ini adalah pastor paroki.

Namun, ada syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikabulkan permohonan dispensasi atas nikah beda agama. Syaratnya sesuai dengan Kanon 1125, yakni: a) pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman Katolik. Dia harus tetap Katolik dan aktif dalam kegiatan Gereja; b) pihak Katolik memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anak yang lahir dibaptis secara Katolik; c) pihak Katolik memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anak yang lahir dididik secara Katolik.

Setelah dia melakukan tiga langkah ini, maka ia kembali menjadi seorang Katolik yang menerima hak dan kewajibannya dalam Gereja Katolik. Dia tidak terhalang untuk menerima Komuni Kudus. Jika ia sakit, ia juga dapat menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Jika ia belum menerima Sakramen Penguatan, maka bisa ikut serta menerima Sakramen Penguatan pada waktu yang ditentukan oleh paroki. Tentu, mereka yang akan menerima Sakramen Penguatan mesti mengikuti masa persiapan yang memadai yang diadakan oleh paroki terkait.

Pertanyaan kedua Anda: bagaimana hukumnya menurut Hukum Kanonik, walaupun dia bukan lagi Katolik tetapi masih mengimani Katolik? Umat Katolik seharusnya tidak “menggampangkan diri” untuk pindah-pindah agama atau gonta-ganti agama. Teman Anda ini melakukan dua tindakan yang bertentangan dengan Hukum Gereja (Hukum Kanonik).

Pertama, jika dia telah mengucapkan “syahadat Islam”, maka ia secara “publik” telah pindah ke agama Islam. Jika dia sungguh menyangkal seluruh iman Kristen Katolik, maka ia benar-benar murtad. Akibatnya, antara lain: a) ia terkena hukuman ekskomunikasi latae sententiae atau langsung otomatis dijatuhkan hukuman (Kanon 1364 §1);  b) ia terhalang menerima Komuni Kudus (Kanon 915); c) Orang Katolik yang murtad jika ia meninggal dunia dan tidak pernah bertobat harus ditolak untuk diberi pemakaman gerejawi (bdk. Kanon 1184 §1, no.1).

Kedua, melangsungkan perkawinan di luar Gereja Katolik tanpa dispensasi dari otoritas Katolik. Akibatnya, perkawinan yang dilangsungkan secara Islam itu tidak diakui sah oleh Gereja Katolik. Orang yang sudah dibaptis dalam Gereja Katolik terikat dengan aturan perkawinan sesuai Kanon 1108. Di dalam kanon tersebut jelas disebutkan bahwa perkawinan Katolik yang sah mesti dilakukan di hadapan Ordinaris wilayah (uskup diosesan atau vikaris jenderal atau vikaris episkopal teritorial) atau pastor paroki, dan atau pastor lain atau diakon yang diberi delegasi. Selain itu, di hadapan dua orang saksi. Perkawinan juga mesti dilangsungkan di Gereja Paroki, atau di tempat lain yang diizinkan oleh ordinaris wilayah atau pastor paroki (bdk. Kanon 1115 dan Kanon 1118 §2).

Selain itu, teman Anda ini juga tidak meminta dispensasi atas nikah beda agama kepada uskup diosesan atau vikaris jenderal atau vikaris episkopal teritorial. Akibatnya, perkawinan yang ia langsungkan tidak sah menurut Hukum Gereja Katolik.

Oleh karena ia melangsungkan perkawinan tidak sah, maka ia juga terhalang menerima Komuni Kudus (Kanon 916; KGK 1457).

Demikian jawaban saya. Semoga teman Anda ini kembali ke Gereja Katolik. Tidaklah sulit untuk kembali ke Katolik. Ia perlu berani kembali menjadi pengikut Kristus yang merupakan jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Yesus Kristus (bdk. Yohanes 14: 6).

* Pastor Postinus Gulö, OSC adalah Pengajar Hukum Gereja di FF Unpar; Anggota Tribunal Keuskupan Bandung dan penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjuan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.