In Memoriam Romo Frans de Sales SCJ: Dari Daging Tikus Hingga Katekese Digital

Saya salut kepada Romo Frans de Sales SCJ, karena dia punya predikat dobel: Romo sekaligus jurnalis.

2 131

Katolikana.com—Mungkin terinspirasi dari nama Fransiskus de Sales sebagai pelindung jurnalis dan penulis, RP Frans de Sales SCJ menekuni dan menghidupi karya di bidang jurnalisme, publikasi, dan komunikasi sosial, hingga akhir hayatnya.

Ketua Komisi Komunikasi Sosial RP Frans de Sales SCJ (1962-2024) pergi ke rumah Bapa di surga pada usia 61 tahun, pada hari Minggu (7/4/2024) pukul 20.21 WIB di Rumah Sakit Charitas Palembang.

Pak Guru Agama

Frans de Sales lahir di Meumere NTT 16 Juni 1962. Setelah tamat dari Institut Pastoral Indonesia (IPI) Malang, Frans de Sales bertugas sebagai guru agama di SD Xaverius Tugumulyo, 1985-1986.

Saya kebetulan pernah menjadi salah satu muridnya. Sebagai guru agama Katolik, Pak Frans—demikian sapaan kami—sangat dekat dengan siswa dan umat di Paroki Santa Maria Tugumulyo.

Saat mengajar, dia menulis dengan tangan kiri. Dia pernah bercerita, ketika di Flores dia jatuh ketika naik kuda sehingga tangannya patah sehingga belum pulih. Gegara ini, dia bisa menulis menggunakan kedua tangan: kiri dan kanan.

Selain mengajar di agama di kelas, Pak Frans juga mendampingi misdinar dan mudika. Pak Frans memperkenalkan kepada kami—anak-anak Paroki ndeso itu— tentang dunia sastra dan tulis menulis, antara lain lewat majalah Paroki bernama ‘Pukat’.

Salah satu pengelolanya, Vincentius Setiawan Triatmojo, waktu itu kelas 2 SMP Xaverius Tugumulyo menjabat sebagai ilustrator. Avin, kini Uskup Tanjungkarang, pernah tinggal di Asrama Pastoran bersama Pak Frans.

Ketika itu, sebagai siswa kelas 6 SD, saya diminta untuk membacakan puisi karya WS Rendra berjudul Balada Penyaliban. Saya ingat sekali pada bagian ini: “Perempuan! Mengapa kautangisi diriku dan tiada kautangisi dirimu?’

Sambil berteriak saya menunjuk ke arah pintu. Tiba-tiba tanpa sengaja muncul Ibu Kristiani, seorang guru perempuan, dan tawa kami pecah gegara itu.

Daging Tikus

Salah satu kenangan kami sebagai murid Pak Frans Ketika sekolah mengadakan acara berburu tikus di sawah, sebuah kegiatan tahunan untuk membantu petani di Tugumulyo untuk membinasakan tikus, sebagai musuh bebuyutan petani.

Biasanya kami mengubur tikus-tikus yang kami dapatkan di sawah. Namun, Ketika itu, Pak Frans meminta kami untuk memilih beberapa tikus gemuk untuk dibawa pulang dan diolah sebagai santapan, seperti dilakukan oleh masyarakat Flores.

Sampai di rumah, Pak Frans langsung membersihkan daging tikus dan mengolahnya. Ternyata enak. Itulah pengalaman kami menyantap daging tikus!

Tahun 1986, Pak Frans masuk ke novisiat  Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) di Gisting, Lampung Selatan. Ia mengucapkan kaul pertamanya pada tanggal 20 Juli 1987 dan ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 14 Oktober 1998.

Totalitas di Jurnalisme

Romo Frans de Sales SCJ adalah sosok Romo yang dari awal mencintai dan menekuni dunia jurnalistik dan komunikasi sosial.

Di Palembang, kami sebelumnya mengenal Romo Reinier van Leeuwen, SCJ, misionaris asal Belanda, pendiri Sanggar Prathivi Palembang dan Radio Suara Gema Atma Jaya. Romo van Leeeuwen meninggal dunia di Montreal, Kanada, Rabu (25/7/2018) dalam usia 89 tahun.

Semasa menjadi Frater di Kentungan, Frans de Sales terlibat aktif mengelola majalah Utusan yang dikelola oleh Kanisius.

Totalitasnya untuk menekuni jurnalisme dia tempuh dengan menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) dengan magang sebagai wartawan di Harian Sriwijaya Post, Palembang.

“Kalau kamu ingin mengasah kemampuan untuk menulis berita, maganglah di koran harian, jangan di majalah mingguan. Di koran harian kamu dipaksa untuk menulis berita setiap hari dengan deadline ketat,” ujarnya suatu ketika.

Semangat untuk mendalami jurnalisme tak surut. Setelah lulus studi Filsafat dan Teologi, tahun 1995, Romo Frans mendapt tugas untuk studi lanjut di bidang jurnalisme di Marquette University, Milwaukee, Amerika Serikat.

Setelah pulang dan ditahbiskan tahun 1998, dia menerbitkan Tabloid Komunio, media Keuskupan Palembang yang terbit bulanan dan Majalah FIAT milik kongregasi SCJ.

Kantornya berada di salah satu ruangan di Komsos Sanggar Prathivi, di sebelah Gereja Hati Kudus Palembang. Dia merekrut orang-orang muda yang diajari jurnalisme mulai dari nol sekaligus.

Sebanyak dua-tiga orang muda yang direkrut kemudian didukung untuk studi, misalnya di Unika Musi Charitas, Palembang. Setelah lulus, mereka mencari pekerjaan sesuai studi. Lalu, Romo Frans merekrut orang baru. Begitu seterusnya.

Yang menarik, Tabloid Komunio ini salah satu media keuskupan yang sehat secara finansial, karena media ini bisa menghidupi dirinya dari iklan yang masuk. Jangan heran, jika di halaman cover di setiap terbitan selalu dipenuhi oleh iklan.

Untuk mendapatkan pemasukan, Tabloid Komunio sesekali juga menerbitkan sisipan empat halaman bekerja sama dengan sekolah atau institusi Katolik. Mereka dilatih untuk membuat dan mengisi konten berita atau tulisan yang terbit di halaman sisipan itu.

Produktivitas Romo Frans untuk menulis, salah satunya renungan harian juga luar biasa. Di Komsos, dia membuat renungan harian yang disiarkan di sejumlah radio, salah satunya di Radio Sonora Palembang.

“Tantangannya adalah bagaimana membuat renungan pendek, berdurasi tiga-lima menit. Dan renungan ini bisa dinikmati oleh siapa saja, tidak hanya orang Katolik. Karena itu saya berusaha tidak menampilkan nama Yesus atau kutipan Kitab Suci di renungan saya, tetapi dari pengalaman sehari-hari,” ujar Romo Frans suatu ketika.

Setelah eksis di dunia media cetak, Komsos KAPal di bawah Romo Frans masuk ke dunia digital dengan meluncurkan portal berita komunio.id. Konten-konten katekese yang dibuat Komsos KAPal via Youtube dan Tiktok juga diminati.

Inspirasi

Bagi saya, pengalaman dan perjumpaan bersama Pak Frans ketika di SD memberi inspirasi kepada saya untuk menekuni dunia jurnalisme.

Di saat teman-teman lain menyebut cita-citanya, ingin jadi dokter, guru, perawat, dan lain-lain; saya menyebut dengan lantang cita-cita saya: wartawan!

Di SMP saya mulai aktif mengelola majalah dinding. Ketika sekolah di Seminari Santo Paulus Palembang (1989-1993) saya aktif mengelola majalah dinding Vox Nostra dan Majalah Campana.

Pada periode ini, saya mulai belajar mengirimkan artikel opini ke harian Sriwijaya Post, menulis berita di Mingguan Hidup, atau puisi, misalnya ke Majalah Busos.

Dunia menulis dan jurnalisme ini yang akhirnya mengantarkan saya untuk studi Ilmu Komunikasi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, setelah tidak ‘lolos’ karena tidak direkomendasi ketika melamar sebagai calom Romo Projo Keuskupan Palembang.

“Kenapa jurnalis penting? Karena kalau kamu jadi imam, Ketika berkotbah, kamu hanya didengarkan oleh mungkin ratusan orang umat yang hadir di gereja. Tapi kalau kamu menulis, tulisanmu bisa dibaca ribuan orang,” ujar Mgr. Josep Hubertus Soudant SCJ, ketika mewawancarai saya dan mendukung saya untuk sekolah jurnalistik ke Jogja.

Terkait hal ini, saya salut kepada Romo Frans, karena dia punya predikat dobel: Romo sekaligus jurnalis.

Kotbahnya, bisa menjangkau umat yang hadir di gereja, tapi juga umat di pelosok-pelosok yang hanya bisa ikut bisa sebulan sekali, lewat Tabloid Komunio dan Majalah Fiat.

Katekese Digital

Setelah eksis di dunia media cetak, Komsos KAPal di bawah Romo Frans masuk ke dunia digital dengan meluncurkan portal berita komunio.id. Konten-konten katekese yang dibuat Komsos KAPal via Youtube dan Tiktok juga diminati.

Komunikasi personal saya dan Romo Frans terakhir pada 30 September 2023. Ketika itu Romo Frans membagikan tautan akun Tiktok Komsoskapal yang baru: tiktok.com/komsoskapalnew karena akun lama kena banned.

“Tolong follow. Akun yang lama kena banned permanen dari Tiktok. Tks,” tulis Romo Frans di WA chat.

“Kenapa dibanned Romo? Terakhir follower berapa?” tanya saya via WA chat.

“Katanya sexual content. Terakhir 76 ribu follower. Tks”

Itu chat terakhir ke Romo Frans. Setelah itu, seperti biasa, Romo Frans rutin membagikan tautan tulisan di Majalah Hidup dan juga konten-konten Komsos Kapal di Youtube dan Tiktok.

Terakhir, Romo Frans membagikan tautan tentang Misa Krisma pemberkatan minyak suci dan pembaruan janji imamat para imam Keuskupan Agung Palembang pada Kamis, 7 Maret 2024.

Sejak itu hingga hari ini dan hari-hari selanjutnya, pesan-pesan seperti itu tidak pernah lagi masuk ke akun WA saya.

Selamat jalan Pak Frans, guruku. Sampai berjumpa di keabadian Romo Frans! (*)

Yohanes Widodo alias masboi. Guru jurnalisme di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ayah dua puteri: Anjelie dan Anjani. Bisa dihubungi melalui fb.com/masboi, Twitter @masboi, atau IG @idmasboi.

2 Comments
  1. Aloysius Suryadi says

    Selamat Jalan Pastor Frans de Sales, SCJ. Pengabdianmu selama hidup di dunia, sungguh menginspirasi. Damai bersama Bapa Di Surga.

  2. Sr. Dominica FCh says

    Pengalaman perjumpaan dengan seseorang ternyata sering menjadi inspirasi yang bisa mengembangkan talenta yang ada pada diri kita.

Leave A Reply

Your email address will not be published.