Siapkah Sekolah Katolik Menerima Murid Berkebutuhan Khusus?

Jumlah kaum disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau 8,5% dari jumlah penduduk

0 47

Katolikana.com—Dalam sebuah pertemuan development program bagi pimpinan lembaga pendidikan Katolik di Jakarta baru-baru ini, muncul satu hal menarik yang belum banyak diperbincangkan.

Hal itu adalah apakah sekolah Katolik sudah siap menerima murid berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas?

Kemunculan hal ini berawal dari kebijakan pemerintah di salah satu daerah wilayah Jawa yang meminta atau pun mewajibkan agar sekolah-sekolah baik itu negeri maupun swasta untuk menerima penyandang disabilitas.

Atas hal ini, ada berbagai tanggapan mencuat. Salah satu tanggapannya adalah kegalauan berkaitan dengan elemen pendukung yang terdapat di sekolah penerima. Elemen pendukung ini berkaitan dengan  ketersediaan sumberdaya manusia, seperti guru maupun pegawai.

Hal urgen lainnya adalah fasilitas atau pun model infrastruktur di sekolah seperti alat-alat bantu baik di jalanan maupun di tempat-tempat lainnya yang ramah bagi orang-orang dengan kebutuhan khusus ini.

Selain bahwa kondisi ini menuntut perekrutan baru, kondisi ini tentu menuntut pihak sekolah untuk menyediakan berbagai fasilitas baru.

Konsekuensi dari semua itu akan berdampak pada ekonomi. Sekolah mesti mengeluarkan anggaran untuk mengadakan semua hal pendukung di atas.

Konsekuensi lebih jauh adalah kondisi ini dapat memicu naiknya biaya operasional sekolah dan penambahan biaya pendidikan.

Situasi ini lalu menjadi semakin berat karena munculnya stereotip tentang mahalnya biaya pendidikan pada sekolah-sekolah Katolik.

Pada titik ini, pertanyaan kemudian muncul, apakah sekolah-sekolah Katolik bersedia menjalankan kebijakan pemerintahan tadi?

Penerimaan murid difabel di sekolah Katolik bisa dilihat sebagai peluang bagi pengembangan sekolah maupun orang-orang yang berada di dalamnya.

Sekolah Disabilitas

Lampiran UU RI Nomor 19 tahun 2011 mendefinisikan disabilitas sebagai mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik, dalam jangka waktu yang lama. Ketika berhadapan dengan hambatan hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.

Jumlah kaum disabilitas di Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa atau 8,5% dari jumlah penduduk (kemenkopmk.go.id). Mereka itu terkategori dalam jenjang umur mulai dari anak-anak sampai orang lanjut usia.

Orang-orang dengan kategori ini biasanya mempunyai ragam kehidupan. Beberapa di antaranya hanya berada di rumah. Namun beberapa yang lain sudah dapat berbaur dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Pemerintah Indonesia sejak 1986 mengeluarkan SK Mendikbud Nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat.

Pemerintah telah membuka sekolah-sekolah khusus untuk mendidik orang-orang mulai sejak 1952 yang terus berkembang sampai tahun 2004, dengan dibukanya jenjang S2 di UPI Bandung untuk Program Studi Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus (Rahardja, 2010).

Meski demikian, jumlah dan penyebaran sekolah atau pun lembaga yang menerima kaum disabilitas belum mencukupi. Hal ini diakibatkan oleh elemen pendukung keberadaan sekolah ini yang belum terlalu kokoh dan tersedia.

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2021, jumlah sekolah negeri yang bisa menampung kaum disabilitas hanya ada 595 sekolah, sementara sekolah swastanya ada 1.655 sekolah. Itu artinya, daya pemerintah sangat terbatas untuk mengurus orang berkebutuhan khusus.

Sekolah-sekolah ini pun tidak semua bisa menampung semua orang dengan kebutuhan khusus. Entah karena kondisi mereka tidak memungkinkan karena kondisi fisik, atau keinginan keluarga yang tidak ingin memasukan anak-anak mereka ke sekolah umum.

Menariknya, beberapa orang dengan kebutuhan khusus atau pun keluarga mereka punya keinginan untuk memasukkan anak-anak mereka bersekolah dengan anak-anak yang bukan penyandang disabilitas.

Kondisi-kondisi ini mungkin mendorong pemerintah di beberapa daerah mengeluarkan kebijakan bagi semua sekolah untuk bersedia menerima anak-anak dengan kondisi khusus.

Kondisi Dilematis

Normalnya, kesediaan anak berkebutuhan khusus bergabung bersama di sekolah anak-anak lain, tentu pada awalnya akan menimbulkan berbagai tanggapan dan reaksi. Reaksi-reaksi ini berkaitan dengan ketidaksiapan sekolah terutama elemen-elemen pendukung.

Akibatnya, beberapa pihak, termasuk sekolah Katolik melihat kebijakan ini sebagai salah satu kondisi yang memaksa. Hal ini semakin menguat ketika kebijakan ini tidak diikuti dengan kebijakan pendukung lain dari pemerintah.

Kebijakan itu seperti memberikan bantuan sumberdaya tenaga pendukung atau pun bantuan finansial bagi pengkondisian infrastruktur agar ramah terhadap kaum disabilitas.

Bagi lembaga pendidikan Katolik, kondisi ini menjadi tantangan karena sebagai lembaga pendidikan yang berpijak pada semangat cinta kasih dan nilai-nilai etika Katolik, ketidaksiapan elemen pendukung itu akan membawa pada situasi dilematis.

Pada satu sisi nilai-nilai cinta kasih sebagai fondasi sekolah tidak mungin menolak orang-orang difabel. Di pihak lain, ketidaksiapan elemen pendukung akan berkonsekuensi pada hal-hal lain, seperti naiknya biaya sekolah.

Tantangan dan Peluang

Kondisi dilematis ini merupakan sebuah tantangan yang mesti dihadapi karena kebijakan untuk menerima orang-orang dengan kebutuhan khusus merupakan kebijakan yang cepat atau lambat akan muncul.

Entah aturan ini sudah diberlakukan atau belum, persiapan atau antisipasi kondisi sangat diperlukan. Hal ini bisa dilakukan dengan menyiapkan infrastruktur sekolah agar ramah bagi penyandang disabilitas secara perlahan.

Persiapan atau perubahan perlahan akan berdampak kecil bagi naiknya biaya pendidikan untuk mendukung kondisi persiapan itu.

Berikutnya menyangkut ketersediaan tenaga pendidik maupun kependidikan agar bisa lebih adaptif dengan situasi ini. Hal ini bisa dimungkinkan dengan melibatkan guru-guru atau tenaga pendukung lain pada kegiatan-kegiatan pelatihan maupun seminar-seminar tentang disabilitas.

Hal itu penting agar mereka tidak merasa asing tetapi memiliki pemahaman dan keterampilan ketika berhadapan dengan orang-orang ini.

Hal ini bisa dibuat dengan membangun mitra dengan sekolah-sekolah pemerintah yang khusus menerima murid-murid dengan keterbatasan atau kaum disabilitas, baik untuk pelatihan atau kegiatan magang bagi guru-guru sekolah.

Penerimaan murid difabel di sekolah Katolik bisa dilihat sebagai peluang bagi pengembangan sekolah maupun orang-orang yang berada di dalamnya.

Situasi ini akan membuat sekolah berkembang menjadi sekolah yang memberikan ruang yang nyaman bagi anak berkebutuhan khusus maupun tidak, serta tempat di mana semangat cinta kasih dipraktekkan secara nyata.

Kondisi ini akan melatih para murid agar lebih etis dan peduli dengan penanaman nilai saling membantu Ketika berhadapan dengan orang-orang difabel. Situasi ini akan mengeliminasi kecenderungan buruk di dunia pendidikan yang akhir-akhir ini marak dengan perundungan.

Penulis teringat ucapan seorang guru senior sebuah sekolah Katolik yang sudah menerima murid-murid berkebutuhan khusus.

Menurutnya, anak-anak berkebutuhan khusus tidak melihat sekolah akan menjadi tempat untuk mendapatkan nilai baik, presentasi yang luar biasa, atau mendapatkan hadiah dan penghargaan.

Mereka sekolah untuk mendapatkan teman, bersosialisasi dengan masyarakat meski dengan keterbatasan yang dimiliki. Mereka selalu punya keinginan untuk tidak dieliminasi atau menjadi kaum terpinggir dari pergaulan sosial masyarakat.

Kita diberkati Tuhan dengan kondisi fisik yang utuh dan berfungsi baik. Menjadi kewajiban kita untuk lebih terbuka dan menerima orang-orang dengan kebutuhan khusus karena tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia.

Lembaga pendidikan Katolik bisa menambah itu dengan membuat manusia dicintai dan mencintai sesamanya, apapun kondisinya. (*)

Pengajar STPM St Ursula, Ende

Leave A Reply

Your email address will not be published.