Perlu Mendesain Ulang Bentuk Koordinasi dan Kolaborasi untuk Penyelesaian Persoalan Perdagangan Orang (PPO) di Indonesia

0 262

Katolikana.com — Keseriusan pemerintah terhadap pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih minim. Sebanyak 64 persen Kabupaten/Kota belum punya Rencana Aksi Pemberantasan TPPO.

Kondisi tersebut disampaikan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Destri Handayani dalam webinar Kerja Kolaborasi untuk Penyelesaian Persoalan Perdagangan Orang di Indonesia, Selasa (20/10/ 2020).

Webinar ini diselenggarakan oleh Institut DIAN/Interfidei bersama Jaringan Antar-Iman Indonesia (JAII) sebagai dukungan atas rencana Zero Human Trafficking Network yang dideklarasikan pada 2018 di Labuan Bajo oleh 34 lembaga sipil dari Papua sampai Aceh.

Selain dari pemerintah, ada empat perwakilan lembaga dan tokoh agama dari beberapa daerah yang menjadi narasumber. Mereka memaparkan kasus-kasus di Jawa Barat, Cirebon, NTT dan Batam.

 

Faktor Penyebab TPPO

Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi latar belakang yang utama. Keadaan yang membuka peluang untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan kemungkinan sebagai korban TPPO.

Banyaknya korban TPPO pada PMI mengindikasikan adanya penyimpangan dalam proses migrasi masyarakat untuk mencari pekerjaan, terlepas dari oknum agen dan kekejaman majikan.

Pendeta Ira Imelda memaparkan tentang pendampingan dan advokasi pada korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan TPPO di wilayah Jawa Barat—provinsi dengan posisi ketiga tertinggi sebagai pengirim pekerja migran (PMI).

Pendampingannya dilakukan melalui Pasundan Durebang Women’s Crisis Center (WCC Pasdur) yang merupakan lembaga pelayanan Gereja Kristen Pasundan, Jawa Barat.

Menurut Ira, sudah banyak lembaga yang menangani kasus KBG dan TTPO, namun hasilnya tidak maksimal karena tidak ada kerja sama.

“Di samping itu, pengalihan anggaran ke penanganan Covid-19, terbatasnya APD petugas, penutupan shelter di masa pandemi, menambah hambatan di lapangan,” tambah Ira.

Pendiri Yayasan Banati Euis Suhartati. Foto: twitter.com/unwomenasia

 

Euis Suhartati dari Yayasan Banati memaparkan kegiatan untuk mencegah TPPO di daerah Cirebon. Yayasan ini melakukan sosialisasi berbarengan dengan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Sebagai  pekerja di akar rumput, Suster  Maria Yosephina Pahlawati, SSpS menyatakan bahwa human trafficking di Nusa Tenggara Timur sudah berada dalam kondisi darurat.

“SK moratorium Gubernur NTT tentang penghentian pemberangkatan calon PMI/PMI asal provinsi NTT, tidak terealisasi,” ujar Maria.

“Banyaknya lembaga yang bergerak melakukan kegiatan  untuk memutus rantai perdagangan orang, adanya rumah perlindungan, mudahnya bekerja sama dengan pihak kepolisian dan pemerintah mengukuhkan keberpihakan pada masyarakat marginal. Tetapi, belum membawa hasil maksimal,” papar Maria.

Suster Maria Yosephina Pahlawati, SSpS. Foto: Pos Kupang

 

Pendampingan Tidak Tuntas

Menurut Maria, beberapa pendampingan tidak tuntas karena kesulitan informasi mengenai keberadaan korban di daerah asalnya.

“Hilangnya kontak dengan korban, memungkinkan terulangnya kejadian. Korban menjadi sasaran untuk yang kedua kalinya bahkan ketiga dan seterusnya. Untuk itu, sosialisasi, advokasi dan pendampingan pada korban TPPO tetap berjalan di masa pandemi ini,” ujar Maria.

Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus. Foto: Pos Kupang

 

Situasi yang berbeda terjadi di Batam-Kepulauan Riau. Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus mengisahkan keberadaan orang-orang Flores di Kepulauan Riau sebelum kemerdekaan RI, sebagai akibat migrasi untuk mencari pekerjaan. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk memperdagangkan mereka sampai sekarang.

Paschalis menambahkan, ada delapan rute PMI dari daerah asal, menjadikan Batam sebagai tempat transit. Kemudahan pengurusan dokumen—asal ada dana—di lokasi ini, menjadi alasannya.

“Sebagai tempat transit besar, Batam sangat potensial untuk mobilitas manusia dari berbagai ras, agama, dan strata,” ujar Paschalis.

“Kelemahan perundang-undangan yang dimanfaatkan mafia, berbedanya persepsi aparat penegak hukum mengenai UU TPPO, praktek curang dan korupsi di institusi negara menjadi potret situasi nyata di Batam,” tambah Paschalis.

 

Perlu Mendesain Ulang

Mewakili pemerintah, Destri Handayani menyayangkan materi presentasi keempat narasumber belum semuanya tercatat di kementerian karena tidak dilaporkan sehingga keaktifan lembaga dan tokoh agama tidak dapat dievaluasi.

“Keadaan-keadaan di akar rumput tidak dapat dimasukkan sebagai materi dalam penyusunan rencana aksi nasional,” ujar Destri.

Destri menambahkan, perlu mendesain ulang bentuk koordinasi dan kolaborasi supaya lebih efektif dan dapat masuk dalam kinerja pencegahan TPPO.

Informasi detail mengenai korban serta petugas yang menangani, juga akan mempermudah pencatatan.

“Saat ini, kebijakan untuk menangani TPPO sudah lengkap, hanya perlu pemahaman dari petugas di lapangan,” ujar Destri.

Menurutnya, kendalanya pada kapasitas SDM dan keterbatasan anggaran. Kendala ini diharapkan dapat diatasi dengan kolaborasi.

“Di samping itu, tiga akar permasalahan, yaitu minimnya akses informasi dan pendidikan, stigmatisasi dan norma sosial, serta ketimpangan peran gender,” tambahnya.

Menurut Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah Latifah Iskandar, perlu ada efek jera bagi pelaku TPPO mengingat nilai ekonominya lebih tinggi dari perdagangan narkoba dan senjata.

 

Ambassador of Human Trafficking

Sekretaris Eksekutif Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Pendeta Jimmy Sormin mengungkapkan campur tangan Menkopolhukam menjadi penting karena lembaga agama yang berada di akar rumput, tidak punya kekuatan di dalam menghadapi mafia TPPO.

“Pemerintah diharapkan dapat merangkul lembaga dan tokoh agama untuk berperan sebagai ambassador of human trafficking,” ujar Jimmy.

Kedekatan mereka dengan masyarakat dapat menjadi jujukan  korban dan informasi seputar TPPO. Keadaan tersebut disampaikan oleh Ketua Umum PP Fatayat NU, Anggia Erma Rini, M.K.M.

 

Kekuatan Lembaga Agama

Menurut Provinsial Serikat Jesuit Romo Benedictus Hari Juliawan, martabat manusia sebagai sudut pandang, memberi motivasi dan inspirasi.

“Kekuatan lembaga agama dengan jaringan yang luas berkesempatan mengimbangi mobilisasi human trafficking. Bahkan mengatasi geopolitik yang membatasi negara,” ujar Beni.

Beni menambahkan, kondisi ini menjadi modal untuk kolaborasi dengan pemerintah yang terkendala pada kapasitas SDM dan keterbatasan anggaran.

“Fungsi strategis lembaga agama adalah sebagai teman dan tempat menimba energi  dan inspirasi bagi LSM dan NGO untuk  melanjutkan perjuangan bersama,” kata Beni.

Materi webinar ini diharapkan menjadi masukan Rencana Aksi Nasional TPPO 2020-2024 dengan penjabaran pada rencana aksi daerah yang dapat dilaksanakan, terutama di daerah asal pekerja migran Indonesia (PMI).

Harapannya, pemerintah mampu untuk menginisiasi kerja kolaborasi untuk menjadi kerja nyata yang lebih baik.

Koordinator Jaringan Perempuan Indonesia Timur Martha Bire selaku moderator mencatat human trafficking harus menjadi agenda prioritas dalam lembaga-lembaga agama.

“Mandat konstitusi pemerintah adalah melindungi segenap rakyatnya. Lembaga agama, tokoh agama, LSM dan NGO serta masyarakat sipil siap mendukung,” pungkasnya. ***

 

Kontributor: Rosita Sukadana, tinggal di Surabaya

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.