Mewujudkan Kota Toleran: Cerita Orang Muda

Cerita orang muda untuk mewujudkan kota toleran

0 126

Katolikana.com – Orang-orang muda kini punya andil nyata mewujudkan kota toleran. Cerita aksi toleran orang muda itu terungkap dalam riset pada Setara Institute mengenai Indeks Kota Toleran 2020 yang dirilis pada 2021 ini.

Kota Salatiga, Jawa Tengah, mendapatkan indeks kota toleran terbaik. Berada diurutan pergama dari 94 kota yang disurvei.

Niltu Alfa Alfi Barokah, anggota Srikandi Lintan Iman di Salatiga mengamini hasil tersebut. Ia  yang lahir dan besar di Salatiga mengakui tak pernah ada kerusuhan antaragama di kota kelahirannya.

Kepada Katolikana pada Juni 2021 lalu, Alfi bercerita mengungkapkan pengalamannya tentang komunitas agama yang berbeda yang hidup damai dan rukun dalam satu kelurga. Ada praktik-praktik unik toleransi yang ditemukan di kota Salatiga.

Alfi memberi contoh konkret, ketika ia  menemui salah satu tokoh agama di Salatiga yang memiliki anggota keluarga berbeda agama. “Dalam satu keluarga itu ada yang beragama Hindu, Buddha, Katolik, Islam juga ada. Dalam satu keluarga. Itu keadaannya ya aman-aman saja,” ujar Alfi mengisahkan pengalamannya.

Cerita tentang toleransi juga muncul di kota Bandung, Jawa Barat. Kota Bandung juga punya kisah kehidupan toleransi, meskipun tidak sekuat di kota Salatiga.

Tracy Widita, seorang aktivis Orang Muda Katolik dan juga aktif sebagai Admin Katolikvidgram di Bandung, mengungkapkan soal tolerasin di kotanya kepada Katolikana, di hari yang sama. Ia berjumpa secara virtual bersama dengan Alfi dalam acara talkshow disiarkan di Youtube Katolikana.

Menurut Tracya, Bandung punya sisi toleransi tetapi tak sekental Salatiga, seperti yang diungkapkan Alfi. Salah satu yang menjadi soal adalah masih sulitnya mengurus Ijin Mendirikan Bangungan (IMB) gereja baru. Ini dialami pada gereja di wilayahnya.

 

“Jadi awalnya ini gereja kecil yang disebut gereja stasi ya, cabang dari gereja saya, itu ditutup oleh satu ormas tertentu yang intoleran. Dan bener-bener ketika sedang ibadah, sedang misa itu didatengin. Sehingga untuk orang-orang yang tinggal di daerah sana, biasa ibadah di sana, tuh, nggak punya tempat untuk beribadah lagi,” kisah Tracya.

“Nah, sehingga gereja saya sampai saat ini juga masih berjuang untuk mengurus perizinan membangun gereja di sana untuk mempermudah warga juga untuk beribadah. Tapi ini sudah 10 tahun loh (mengurus IMB). Bukan waktu yang singkat untuk membangun sebuah gereja,” lanjutnya seraya menertawakan pengalaman getirnya.

Secara tidak langsung kesaksian Tracya mengafirmasi capaian Bandung dalam Indeks Kota Toleran 2020. Berkebalikan dengan Salatiga, SETARA Institute hanya menempatkan Bandung di peringkat 69 dari 94 kota.

 

Tracya Widita, Aktivis Orang Muda Katolik dan Admin Katolikvidgram di Bandung/Katolikana

Gagasan Toleransi pada Orang Muda

Direktur Riset SETARA Institute, Halili Hasan mengungkapkan kepada Katolikana, betapa krusialnya peran anak muda dalam penilaian Indeks Kota Toleran yang dirilis setiap tahun oleh SETARA Institute. Halili menyebut anak muda tidak bisa tinggal diam jika ingin mewujudkan kota yang toleran.

“Anak muda sangat berperan paling tidak di dua indikator ya. Yang pertama, indikator dinamika masyarakat sipil. Bagaimana masyarakat sipil merespon peristiwa intoleransi yang terjadi. Yang kedua, indikator inklusi sosial. Kontribusi anak muda besar di sini,” katanya.

Halili lantas mengambil contoh kasus perusakan makam kristiani di komplek pemakaman umum di Surakarta oleh belasan anak berusia SD. “Itu kan peristiwa intoleransi. Bagaimana kaum muda merespon? Kalau kaum mudanya apatis melihat peristiwa toleransi, ya praktek dan promosi toleransi di kota tersebut akan stagnan,” terang Halili.

Ia melanjutkan, “Sebaliknya kalau respon kaum muda positif, kaum muda akan berperan meningkatkan praktek dan promosi toleransi.”

Sementara itu, aktivitas Tracya di Katolikvidgram dan Alfi di SRILI juga menunjukkan anak muda memiliki peran penting untuk menyebarkan gagasan toleransi di kalangan anak muda dengan “bahasa” anak muda yang cair dan fleksibel.

Halili pun menyinggung anak muda memiliki ruang untuk memberi pengaruh baik bagi praktek toleransi di kota mereka masing-masing. Dalam kaitannya dengan Indeks Kota Toleran, Halili menyebut dengan gamblang anak muda mengambil peran sangat krusial setidaknya di 2 dari 8 indikator, yakni di indikator dinamika masyarakat sipil dan indikator inklusi sosial.

“Anak muda kalau tidak pernah bertemu lintas identitas, ketika ketemu yang berbeda mereka pasti kaget, cenderung cemas. Bahkan kalau sampai dia takut dan merasa terancam, dia bisa jadi bersikap agresif,” papar Halili.

Untuk itu, ia mendorong anak muda memperbanyak literasi atau pengetahuan tentang perbedaan dan memperbanyak perjumpaan/bertemu lintas identitas. Seperti berkunjung ke tempat ibadah yang berbeda, membuat forum bersama, mengadakan dialog lintas iman.

“Selain memberi nutrisi bagi literasi, bagi pengetahuan, itu memperbanyak ruang-ruang perjumpaan. Itu akan mengurangi prejudice, mengikis stigma terhadap liyan,” kata Halili.

“Itu yang paling sederhana kalau kita mau menanamkan toleransi ke anak muda,” lanjutnya lagi.

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama Katolikana dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha

Leave A Reply

Your email address will not be published.