Jalan Sempit Menuju Moderasi Beragama

Hidup ini tidak mudah. Apalagi berhadapan dengan individu yang masih mempersoalkan identitas terutama menyangkut agama dan keyakinan yang dianut.

0 113

Oleh Yohanes Don Bosco Lobo, Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto.

SETELAH lulus seleksi rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) bulan Februari 2005, bersama 250 teman seangkatan kami mendapatkan perintah untuk mulai melaksanakan tugas di satuan kerja masing-masing.

Sebelumnya memang ada tawaran dari Dinas Pendidikan Kota Kediri kepada CPNS formasi guru yang sudah mengajar untuk mengajukan permohonan agar kembali mengabdi ke sekolah asal.

Peluang tersebut tidak saya manfaatkan karena harus memberikan kesempatan kepada Pak Handoko yang sebelumnya menganggur untuk mengajar di SMA Katolik Santo Augustinus.

SMA Katolik Santo Augustinus adalah Sekolah Menengah Atas yang didirikan pada tahun 1954 di Kota Kediri, Jawa Timur. Sekolah ini milik Yayasan Yohanes Gabriel. Letaknya bersebelahan dengan SMA Negeri 1 Kediri dan Gereja Katolik St. Vincentius A Paulo.

Selama 6 tahun (2000 – 2006) saya mengabdikan diri sebagai Guru Agama Katolik di lembaga pendidikan yang memiliki motto “Bekerja tanpa perintah disiplin tanpa diawasi”.

Motivasi  untuk tetap mengajar di SMA Negeri 3 dan tidak mengajukan permohonan untuk kembali ke SMAK St Augustinus lebih pada alasan kemanusiaan.

Kedua, sebagai calon abdi negara saya harus patuh pada regulasi untuk mengabdi di sekolah negeri dengan segala konsekuensi, terutama sebagai kelompok kecil di antara ribuan siswa dan tenaga pendidik serta karyawan yang beragama Islam dan keyakinan lain.

Pada tanggal 31 Oktober 2006 saya bersama Pak Misbahul Ibad (Matematika), Pak Arif (Fisika), Bu Yuli Fitriatul (Fisika) dan Bu Denis Agustin (Biologi) menerima surat penghadapan CPNS yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah Kota Kediri, Bapak H.M Zaini.

Dua puluh satu hari kemudian di bulan November kami berempat mulai melaksanakan tugas sebagai guru di sekolah yang berada di Jalan Mauni Kecamatan Pesantren.

Bergaul dengan Siswa

Jalan Sempit Moderasi Agama

Jalan sempit menuju moderasi beragama merupakan hasil permenungan inspiratif dari Injil Matius 7:14 yang berbunyi: “Karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya”.

Ayat ini memberikan pesan kuat setelah melewati rangkaian pengalaman tentang berbagai cara hidup intoleransi yang saya terima.

Konsep Moderasi Beragama yang saya hadirkan pada ruang publik baik tulisan maupun perilaku hidup bermasyarakat adalah bentuk budaya tanding (counter culture) terhadap kondisi di mana pernah ada oknum tertentu dari kelompok agama mayoritas yang secara spesifik melarang kami sekeluarga untuk menjalankan kewajiban agama dan mempertanyakan kehadiran saya sebagai guru Agama Katolik.

Masih tersimpan rapi di benak saya setelah seminggu lebih menjalankan tugas sebagai Guru Agama Katolik di SMA Negeri 3.

Kala itu ada dua oknum pendidik (namanya dirahasiakan) sempat nyeletuk di ruang guru: “Adakah agenda tersembunyi dari pemerintah dengan kehadiran guru Agama Katolik di sekolah ini?”

Sebagai guru baru, saya hanya membalas dengan senyuman, tidak berani menjawabnya. Bagi yang belum siap mungkin nyalinya bisa ciut ketika harus berhadapan dengan kejadian seperti itu.

Andaikan paska mendengar ujaran spontan itu saya menjaga jarak dan relasi pergaulan tentu akan berdampak tidak baik, terutama kesan dan penilaian mereka terhadap saya sebagai sosok yang harus menghadirkan wajah Gereja di hadapan sesama.

Sikap respek tetap saya tunjukkan ketika berjumpa dalam situasi formal maupun saat santai baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.

Berkat respon baik yang diberikan beliau berdua tetap  membangun hubungan yang harmonis hingga salah satunya pensiun dan saya mutasi ke Mojokerto.

John Lobo bersama rekan guru.

Koran Orang Kafir

Kejadian berikutnya yang saya beri makna sebagai jalan sempit menuju sikap hidup berimbang dalam relasi dengan sesama yang berbeda keyakinan adalah reaksi yang muncul ketika koran Kompas langganan dikirim lewat alamat sekolah.

Sejak akhir tahun 2000 dengan segala keterbatasan finansial sebagai guru honor di sekolah swasta saya memutuskan untuk langganan koran Kompas.

Ketika pindah alamat oleh loper, koran langganan itu dikirim ke Jalan Mauni Kecamatan Pesantren. Suatu pagi ketika koran tersebut diletakkan pada meja kerja saya di ruang guru, ada kalimat yang spontan diucapkan: “Koran orang kafir kok dikirim ke sekolah ini?”

Sembari melemparkan senyum, saya mencoba memberanikan diri untuk menjawab: “Itu koran Kompas milik saya Bapak. Maaf sejak beberapa tahun saya langganan karena isinya bagus untuk meningkatkan kapasitas saya sebagai guru.”

Mendengar jawaban tersebut beliau terdiam dan mengalihkan diri dengan aktivitas lain di meja kerjanya.

Ada kisah menarik tentang kehadiran Koran Kompas di SMA Negeri 3. Ketika mengetahui bahwa saya langganan koran Kompas, Kepala Sekolah saat ini, Pak A. Wahid Anshory pun menyampaikan dalam sebuah rapat koordinasi bahwa lembaga akan langganan koran Kompas dan Jawa Pos, mengingat dua media mainstream tersebut merupakan sarana informasi dan edukasi yang baik bagi dunia pendidikan dibandingkan dengan media lainnya.

John Lobo berdiskusi dengan siswa.

Kontrak Rumah Tidak Boleh Sembahyang

Setelah menikah pada bulan Mei 2004 bersama istri tercinta Ludgardis kami sepakat untuk kontrak rumah di Kelurahan Meri.

Kami memilih lokasi tersebut karena dekat terminal Kertajaya sehingga memudahkan aktivitas saya untuk berangkat kerja ke Kediri. Selama satu tahun kami menempati rumah kontrakan di sebelah Timur SMPN 5.

Sebagai pengantin baru kesempatan kami untuk kumpul bersama hanya pada akhir pekan. Hari Senin hingga Sabtu saya harus meninggalkan istri sendirian di rumah.

Mengingat istriku tidak bisa mengendarai sepeda motor dan harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk transportasi ketika berangkat maupun pulang kerja di RS Reksa Waluya, kami pun pindah ke kontrakan yang baru di Kranggan.

Ketika hari pertama memasuki rumah kontrakan baru, sang pemilik datang menghampiri dan menyampaikan bahwa ‘selama menjadi penghuni di rumah ini, tidak boleh sembahyang, doa bersama, atau menjalankan aktivitas agama lainnya yang melibatkan banyak orang’. Hanya satu yang diizinkan, yaitu menanam ari-ari kedua putra kami, Clay dan Diego.

Selama empat tahun kegiatan keagamaan yang kami lakukan adalah berdoa bersama istri, adik Octa dan anak-anak yang masih kecil juga setiap Sabtu sore atau Minggu pagi mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja Katolik di jalan Pemuda.

Pernah ada tetangga yang beragama Kristen sama-sama kontrak di belakang rumah melakukan ibadah bersama, setelah itu langsung ditegur oleh warga setempat.

Beberapa umat Katolik di Lingkungan Santo Antonius Padua terutama ketua lingkungan Pak Poly pernah datang mengunjungi kami sembari mengajak untuk ikut doa dan menghadiri kegiatan lainnya.

Ada perasaan tidak enak dan sungkan ketika kami harus menolak dan menyatakan tidak sanggup untuk bergabung dengan alasan tidak diizinkan rumah tersebut untuk doa bersama.

Tidak mungkin kami hanya pergi berdoa di rumah umat lain sementara di tempat kediaman kami sendiri tidak pernah mengadakan doa bersama dalam satu lingkungan.

‘Finish’ di Landasan yang Benar

Pengalaman perjalanan hidup sosial dan rohani keluarga kami saat ini memang diawali dengan petualangan dan perjuangan di jalan-jalan sempit.

Andaikan boleh memilih, tentu kami memilih jalan yang lurus dan lapang. Namun setelah mengarungi hidup perkawinan hampir 19 tahun, kami menyadari bahwa lebih baik melewati jalan yang sempit, terjal, dan sulit, bahkan menukik dan mendaki penuh tanjakan, asal mencapai finish di landasan yang benar.

Pengembaraan di jalan yang sempit tidak menawarkan banyak alternatif, namun ujungnya mengerucut pada keharmonisan.

Hidup ini tidak mudah. Apalagi berhadapan dengan individu yang masih mempersoalkan identitas terutama menyangkut agama dan keyakinan yang dianut.

Kristalisasi pengalaman yang dimaknai sebagai jalan sempit itu telah membawa kami sekeluarga untuk mengedepankan keseimbangan dalam hal keyakinan moral dan watak sebagai ekspresi sikap keagamaan secara individu atau penganut agama Katolik di tengah keberagaman dan kebinekaan. (*)

Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa’o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Guru Motivator Literasi (GML) tahun 2021.

Leave A Reply

Your email address will not be published.