Iswantiningsih: Intoleransi Terjadi Karena Adanya Ketakutan Umat Pindah Agama

Pdt. Novembri Choeldahono, S.Th., M.A.: Intoleran adalah sesuatu yang dipelajari, sehingga bisa dicegah.

2 881

Katolikana.com—Dosen purnatugas Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Iswantiningsih, S.H., M.S., menggambarkan bahwa isu intoleransi bisa disebabkan adanya ketakutan apabila umat dari satu agama berpindah ke agama lain.

“Alasannya karena ketakutan umatnya ditarik ke agama lain,” ujar Iswantiningsih.

Iswantiningsih mengaku pernah berdebat mengenai ketika umat mengakui syahadat agama yang lain, harus diumumkan atau tidak.

“Dari sisi hukum, asas publisitas itu untuk semua orang, sama. Saya pernah tanya, secara administrasi masih ditulis atau tidak. Jawabannya, masih. Dari sisi hukum, itu tidak konsisten. Itu kan kebebasan orang lain yang sudah menyatakan memeluk syahadat lain. Ya sudah, diterima,” kata Iswantingsih kepada Katolikana, Minggu (2/4/2023).

Iswantiningsih, SH, MS. Foto: Istimewa

“Perpindahan agama itu merupakan hak asasi. Kita boleh pindah, kita juga boleh menerima. Hukum itu mudah, antara ya atau tidak, tidak ada lainnya. Yang susah itu orangnya, abu-abu,” tegas Iswantiningsih.

Menurut Pdt. Novembri Choeldahono, S.Th., M.A. dari GKJ Dagen-Palur, toleransi adalah sebuah sikap penghargaan atas keberagaman budaya dunia yang membuat seseorang mengekspresikan dirinya menjadi manusia.

“Ketika budayanya sendiri menghancurkan dirinya, sama saja menghancurkan kehidupan sebagai manusia. Orang dilahirkan tidak untuk membenci,” tutur Pdt. Novembri kepada Katolikana.

Intoleran bagi Pdt. Novembri adalah sesuatu yang dipelajari, sehingga bisa dicegah.

“Seseorang menjadi intoleran karena ajaran sistem kehidupan,” tegasnya.

“Keberagaman agama dan kepercayaan menjadikan Indonesia sebagai negara yang majemuk. Jika dikelola untuk tujuan yang mulia sebagai kekuatan bangsa dan negara, maka NKRI akan tetap utuh,” lanjut Pdt. Novembri.

KUHP tentang Kehidupan Beragama

Pada tanggal 6 Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang (UU).

Salah satu bagian yang dibahas dalam UU ini ialah tindak pidana terhadap agama, kepercayaan, dan kehidupan beragama, persisnya pada Bab VII.

Meski belum secara efektif diaplikasikan hingga tiga tahun ke depan, namun Bab VII UU KUHP menjadi wujud usaha penegakan rasa toleransi terhadap sesama umat beragama.

Adanya kasus gangguan ibadah yang sering terjadi kini dapat ditindak secara hukum. Tindak pidana tersebut dapat ditemukan pada UU KUHP Bagian Kedua: Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah Pasal 303, 304, dan 305.

Sebagai contoh, Pasal 305 Ayat (2) berbunyi, “Setiap orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan mengganggu, merintangi, atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Penjelasan kategori denda tertera pada Pasal 79 yang memaknai kategori III sejumlah dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pdt. Novembri Choeldahono. Foto: Istimewa

Tidak Menjamin

Kehadiran KUHP siap menindak berbagai isu intoleransi beragama. Namun nyatanya, semenjak undang-undang disahkan, Indonesia masih belum terbebas dari kaum pemecah-belah kedamaian hidup beragama.

Pdt. Novembri berpendapat, KUHP tidak bisa berjalan ketika penegakan hukum lemah, atas tekanan massa mayoritas.

“Tanpa penegakan hukum yang tegas dan benar, tidak memberi efek jera dan kesadaran. Namun, ketika aparat penegak hukum berani dan tegas, kelompok intoleran juga tidak berani melanjutkan agendanya. Tanpa sikap tegas, membangun persepsi di masyarakat, terjadi pembiaran sikap intoleran, dan diduplikasi di daerah lainnya,” imbuhnya.

Iswatiningsih juga menegaskan bahwa KUHP tidak bisa berjalan tanpa adanya konsistensi dari negara.

“Hukum itu mengatur kepentingan masyarakat. Hanya, konsistensi dari aturan itulah yang diperlukan, sehingga lama-lama orang akan sadar, bukan karena takut ancaman, tapi tahu bahwa perbuatan intoleran tidak baik,” ujar Iswatiningsih.

“Agama itu merupakan hak asasi yang mendapat perlindungan dan jaminan dari Undang-Undang Dasar. Tinggal dilaksanakan saja, sehingga orang bisa jera dan tidak semaunya. Apakah aparat dan masyarakat sudah mengerti, itu yang harus dibahas,” tandasnya.

KUHP dan Kehidupan Beragama

Intoleransi dan hukum

Menurut Iswatiningsih, hukum yang didasarkan pada hukuman tertinggi sekali pun, hanya dapat dikembalikan kepada kesadaran hukum setiap orang.

“Kadang-kadang, orang itu keinginan untuk membalas (dendam) lebih tinggi. Kalau saya, lebih kepada kesadaran hukum, karena (kesadaran) itu abstrak,” kata Iswatiningsih.

“Yang menjadi dasar bukan ancaman hukumannya, bukan karena undang-undangnya, tapi memang karena kesadaran secara hukum bahwa tindakan intoleran tidak boleh dilakukan,” tegasnya.

Bagi Pdt. Novembri, masyarakat bisa memahami agama yang autentik secara tepat dan benar melalui keberanian mendialogkan paradigma beragama dengan realitas di sekitar, termasuk bidang hukum.

Menurut Pdt. Novembri, toleransi fokus pada keadilan dan hak asasi manusia.

“Moderasi beragama berarti kita menegakkan hak hidup umat manusia yang melampaui batas-batas agama. Keadilan dan HAM adalah nilai kehidupan bangsa dan negara yang harus diwujudkan,” paparnya.

“Tapi ingat, negara, komunitas, pranata sosial bisa mempromosikan HAM terwujud, tetapi juga bisa menjadi faktor yang melakukan ketidakadilan,“ tegas Pdt. Novembri.

Kasus Intoleransi di Indonesia

Sejumlah kasus intoleransi menjadi catatan penting sekaligus pekerjaan rumah negeri ini.

  1. Aksi intoleransi dilakukan seorang guru terhadap muridnya pada Oktober 2022 di Jakarta. Guru berinisial E yang juga wakil kepala sekolah mengecam bahwa ketua OSIS terpilih tidak boleh beragama selain Islam, karena dianggap program yang nantinya dibuat akan cenderung tidak pro terhadap agama Islam.
  2. Seorang pemuka agama melakukan penghinaan terhadap simbol agama lain pada 2022 silam. Seorang pemuka agama (UAS) menyampaikan dalam ceramahnya bahwa simbol salib dalam agama Kristiani merupakan tempat persemayaman jin.
  3. Kasus penodaan agama menimpa wanita berinisial M di Tanjungbalai, Sumatera Utara, tahun 2016. M mengeluhkan suara adzan yang dinilai terlalu keras dengan menyebut telinganya terasa bising dan pekak. Laporan mengenai M diproses secara hukum dan dijatuhkan vonis pidana 1.5 tahun penjara berdasarkan dakwaan Pasal 156 a KUHP.
  4. Sejumlah warga membuka paksa portal tempat rekreasi di Taman Nasional Bali Barat, meski dijaga oleh para pecalang pada Hari Raya Nyepi (22/3/2023) di Bali. Meski telah dilakukan paruman (musyawarah), oknum berinisial AZ dan MR tetap diserahkan kepada Polsek Gerokgak dan diproses secara hukum.

Kontributor: Credentia Gisela, mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

2 Comments
  1. Sr.M. Helena OSF says

    Terimakasih untuk materi yang bagus

  2. Wiwi says

    Terimakasih.
    Memberi inspirasi

Leave A Reply

Your email address will not be published.