Jay Akhmad: Tahun Politik, Kita Harus Waspada Agar Demokrasi Berjalan Baik

Belajar dari Kasus Temanggung (2013): Daerah itu dianggap toleran, tiba-tiba muncul isu pelecehan Kitab Suci Alquran.

0 233

Katolikana.com—Temu Kebangsaan Jejaring Keberagamaan yang dikemas dengan acara buka puasa serta Forum Group Discussion (FGD) berlangsung di Balai Pamitran Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojokerto, Sabtu (15/4/2023) pukul 16.00 WIB.

Temu Kebangsaan Jejaring Keberagamaan menghadirkan nara sumber utama Jay Akhmad dari Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian.  Acara dihadiri 60 peserta dari Jaringan GUS DURian.

“Kita sebagai peserta sepatutnya bersyukur bahwa dalam agenda Temu Kebangsaan ini kita mendapatkan kesempatan yang pertama untuk bisa berdialog langsung dengan Seknas Jaringan GUSDURian,” ujar Koordinator Jaringan GUS Durian Mojokerto Ilul.

Hadirin sangat antusias mengikuti kegiatan yang dipandu oleh  Kukun Triyoga hingga jelang buka puasa bersama.

Kontributor Katolikana John Lobo (kiri) berpose dengan Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian Jay Akhmad. Foto: Istimewa

Sering Berembuk

Berikut petikan sambutan Jay Akhmad dari Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian:

Kita sebagai bagian dari anak bangsa harus sering berembuk tentang apa yang kerap terjadi dengan kondisi bangsa mulai dari lingkup paling kecil, yakni lingkungan kita.

Model komunikasi yang dibangun saat ini namanya Temu Kebangsaan.

Peserta adalah bagian dari jejaring yang memberi perhatian pada isu-isu keberagaman juga mungkin bergelut dengan persoalan lain.

Kita berkumpul untuk membangun kesadaran bersama tentang berbagai kondisi dan pentingnya tindakan konkret yang bisa kita lakukan untuk Mojokerto dan Indonesia pada umumnya.

Semua orang ingin menjadikan Indonesia ini baik-baik saja. Namun, mungkin banyak dari kita juga lupa bahwa semua itu harus dimulai dari mana.

Kita harus mengawalinya dari titik terkecil yang ada di berbagai daerah.

Tidak semua persoalan itu harus diselesaikan di Jakarta. Tidak selalu persoalan dimulai dari Jakarta.

Permasalahan justru timbul dari banyak titik yang tersebar di berbagai daerah.

Malam ini bersama Jaringan Gus DURian kita membangun koordinasi dan konsolidasi bersama di Mojokerto.

Harapannya, kita menjadi lebih siap untuk menghadapi berbagai hal yang mungkin akan mengemuka di kala kita sedang terlelap dan tidak siap.

Saya ingin mencontohkan situasi di Temanggung pada 2013. Ketika itu, daerah tersebut menjadi barometer toleransi di Indonesia.

Ada satu desa tempat ibadat semua agama ada di daerah tersebut. Relasi pertemanan di antara warga dari berbagai agama sangat baik bahkan akrab.

Pada satu titik di mana daerah itu dianggap toleran, tiba-tiba muncul isu pelecehan Kitab Suci Alquran yang dilakukan oleh seorang pendeta. Isu tersebut terdengar sampai ke area pegunungan.

Berhubung kala itu belum ada komunikasi yang intens, maka teman-teman yang dari gunung  turun dan membakar gereja di Temanggung. Menghadapi situasi yang demikian, warga kota yang toleran kelabakan.

Situasi yang kacau balau membuat aparat hukum bingung, mengingat selama ini Temanggung baik-baik saja.

Bisa jadi karena kita menganggap kota kita toleran maka daerah kita tidak ada apa-apa. Seiring perjalanan waktu, teman-teman di sana melakukan refleksi.

Mereka mengungkapkan bahwa pertemanan antaragama di sana itu memang biasa,  tetapi jarang sekali terbangun dialog antaragama.

Salah satu kawan Gus DURian yang beragama Katolik mengungkapkan, setelah kejadian dirinya dipanggil polisi dan kepadanya diperlihatkan wajah para pelaku pembakaran.

Dirinya sangat kaget dan terpukul karena sebagian dari residivis adalah temannya sendiri.

Dalam hati ia sakit hati dan sangat marah. Namun pada titik itu juga ia melakukan refleksi.

Selama ini dirinya jarang bahkan tidak pernah melakukan dialog dan sharing terkait keyakinan yang dimiliki dengan para sahabatnya.

Jika itu saya lakukan, besar kemungkinan jika ada kejadian seperti demikian pasti mereka akan kontak dengan saya.

Kisah ini memiliki irisan dengan beberapa kejadian lain di Mojokerto.

Dialog dan komunikasi seperti ini seyogyanya terus dibangun sehingga setiap persoalan mudah dipantau dan terklarifikasi. Apalagi tahun depan kita akan memasuki tahun politik.

Kita tidak tahu strategi dari partai politik dan politisi itu apa. Namun, kita harus tetap waspada agar demokrasi bisa berjalan dengan baik sehingga iklim demokrasi menjadi dinamis dan menyenangkan.

Jika tidak terjadi apa-apa terkait pesta demokrasi, kita tetap berkumpul untuk membangun tali silaturahmi sebagai anak bangsa yang ada dalam jejaring yang sama.

Spirit Gus Dur

Pada akhir sambutan, Jay menyampaikan salam dari Koordinator Jaringan Gus DURian Nasional Alissa Wahid yang ingin mengunjungi teman-teman jejaring di Mojokerto.

“Sembari mohon doa agar hasrat itu direstui oleh Tuhan. Bertemu dengan anak bangsa yang berbeda keyakinan dan budaya itu penting dan terus dilakukan,” ujar Jay Akhmad.

“Ketika Gus Dur masih hidup ia melakukan hal itu. Ketika Gus Dur sudah meninggal pun kita terus menggaungkan spiritnya dan mencari ruang untuk melakukan hal yang sama,” pungkasnya.

Leave A Reply

Your email address will not be published.