Dr. B.Sugoro D.S, SpOG: Pernikahan Usia Dini Sebaiknya Dihindari

Anak perempuan usia di bawah 20 tahun belum siap hamil dan melahirkan.

2 611

Katolikana.com—Pernikahan usia dini di Indonesia kian menjamur. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, sebanyak 19,24% pemuda menikah pada usia 16 sampai 18 tahun.

Sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyarankan, usia ideal menikah bagi laki-laki yaitu berumur 25 tahun. Sementara, perempuan adalah 21 tahun.

Bahkan aturan terkait batas usia ideal pasangan untuk menikah sudah tercantum pada Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019.

Hanya saja, masyarakat masih belum memahami secara keseluruhan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut.

Siswa SD Menikah Dini

Dilansir dari detik.com, gadis yang masih berstatus pelajar di Sekolah Dasar telah dinikahkan oleh orang tua mereka karena mereka tidak ingin terkena masalah lebih lanjut pasca tertangkapnya pasangan ini di sebuah kebun.

Pasangan DK (12) dan SL (16) dinikahkan secara tertutup oleh pihak keluarga, sehingga pemerintah desa di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, tidak mengetahui kegiatan ini.

Kasus ini menarik perhatian dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (DP3A PPKB) Sulsel.

Mereka menyayangkan bahwa pernikahan dini menjadi satu-satunya solusi menurut kedua orang tua dari pasangan.

dr.B.Sugoro D.S, SpOG

Belum Siap Hamil

Dr. Bernadus Sugoro Dwi Saputro SpOG, dokter Obstetri Ginekologi di rumah sakit di Kabupaten Timika di wilayah Papua menyatakan pernikahan dini sebaiknya tidak dilakukan demi menjaga kesehatan dari organ reproduksi si ibu.

“Anak perempuan usia di bawah 20 tahun secara anatomis organ panggulnya belum siap untuk hamil dan melahirkan,” ujar Dokter Sugoro.

Menurut dia, sang ibu memang sudah siap untuk dibuahi karena telah mengalami haid pertama. Tetapi, tulang-tulang pelvisnya, tulang kemaluan, dan tulang pinggulnya belum siap untuk menopang dan melahirkan bayi.

Hal ini dikatakan karena kekhawatiran bahwa apabila si bayi berukuran jauh lebih besar dari panggil sang Ibu, maka akan memungkinkan terjadinya pergeseran atau bahkan patah tulang simfisis sang ibu.

Selain itu, kesiapan mental dan psikologis perempuan tersebut dalam menjalani perannya sebagai seorang ibu juga masih perlu diperhatikan.

Dr. B.Sugoro D.S, SpOG menambahkan ada kemungkinan faktor risiko terjadinya komplikasi kehamilan saat pernikahan itu berlangsung.

“Sebagai contoh seperti kasus hipertensi dalam kehamilan atau preeklamsia atau disebut sebagai keracunan dalam kehamilan,” ujar dia.

Lalu kasus di mana si bayi mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat ketidaksiapan sang ibu dalam menerima kondisi kehamilan itu. Serta kasus terkait ibu yang mengalami psikologis yang hebat, contohnya postpartum blues.

“Adanya kemungkinan-kemungkinan juga terkait penyakit-penyakit kelamin dikarenakan melakukan aktivitas seksual secara dini. Ini termasuk risiko untuk terjadinya kanker mulut rahim,” ujar Dokter Sugoro terkait dampak terjadinya pernikahan dini.

Untuk pihak laki-laki, dampak yang ditimbulkan lebih kepada bagian dari kedewasaan mental dan psikologis.

Menurutnya, pada usia-usia ini masih belum bisa untuk berpikir bertanggung jawab sebagai pria layaknya seorang suami dan sebagai seorang ayah.

“Dalam hal ini bagaimana menghidupi keluarga dan menjadi teladan untuk menjadi bapak serta sebagai kepala keluarga dan sebagai seorang ayah ketika nantinya memiliki keturunan,” pungkas Dokter Sugoro.

Sisilia Hartono, SKM, CH, CCHt, CIMI. Foto: Istimewa

Krisis Identitas

Sisilia Hartono, SKM, CH, CCHt, CIMI yang menekuni bidang parenting dan hipnoterapi untuk mendampingi keluarga-keluarga dan anak-anak menyayangkan kasus ini. Dia melihat alasan kedua orang tua menikahkan pasangan.

“Menurut saya, yang melakukan pernikahan ini bukan anaknya, melainkan kedua orang tuanya,” ujar Sisilia.

Pasangan di usia seperti ini dianggap masih memiliki krisis identitas, emosi yang belum terkontrol dan kurangnya pendampingan orang tua.

Apalagi dibarengi dengan rasa keingintahuan yang besar dan tanpa mengetahui konsekuensi akibat perbuatan mereka.

“Pernikahan di usia 12 dan 16 tahun ini, seharusnya menjadi PR tersendiri untuk pemerintah. Perlu ada warning bagi para orang tua agar tidak semaunya melakukan pernikahan pada anaknya di luar usia yang wajar,” tambah Sisil.

Kehadiran media sosial juga menjadi salah satu alasan, karena anak usia ini belum bisa menyaring secara moral atau etika terkait dampak bagi diri mereka.

Menurut Sisil, pasangan tersebut belum dewasa dan masih pada tingkat kekanak-kanakan. Makanya, terkadang mereka memerlukan teman dekat, teman curhat, dan teman bermain.

Tetapi untuk menjadi pasangan suami-istri, mereka masih jauh dari kesiapan. Terutama menjadi orang tua, karena tujuan pernikahan membentuk sebuah keluarga. (*)

Kontributor: Gabriella Nusaca Faladinda Smarttiara, mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

2 Comments
  1. Justinus Catur Budihantoro says

    Suatu ulasan yg mencerahkan..perlu ditindak lanjuti untuk mencegah pernikahan dini ini. Pihak pemerintah..pihak pemerhati anak ..artikel ny bGus

  2. Nurul Fransisca Damayanti says

    Dukungan penuh buat Dinda…..tulisan yang bermanfaat…..love you Dinda….

Leave A Reply

Your email address will not be published.