“Pada akhir zaman, malaikat-malaikat akan datang memisahkan orang jahat dari antara orang benar….” (Mat. 13:49)
Katolikana.com—Setiap kali membaca ayat ini, saya selalu teringat peristiwa 17 Januari 2013. Saat itu Jakarta dalam kondisi darurat banjir. Saya tetap berangkat kerja. Meski saya tahu perjalanan menuju kantor pasti terkendala oleh banjir, tetapi saya tidak menyangka akan separah itu. Saya tidak dapat melanjutkan perjalanan, sekali pun sudah ganti kendaraan umum dengan ojek.
Dalam perjalanan pulang, air di jalan raya makin tinggi dan pengemudi ojek pun menyerah. Apa boleh buat, saya terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dari perempatan lampu merah Cempaka Mas menuju terminal Pulo Gadung.
Banjir membuat saya melangkah perlahan dan hati-hati sepanjang jalan. Namun, “takdir” berkata lain. Tiba-tiba saya tercebur ke saluran air yang ternyata cukup dalam karena kedua kaki saya tidak dapat menapak. Saya hanya bisa melakukan water trappen agar tidak tenggelam sambil berharap ada orang yang segera menolong saya.
Di sekitar saya banyak orang, tetapi mereka hanya menonton sambil kedua tangan bersedekap di depan dada karena menahan dingin dari angin dan gerimis.
Saya merasakan kedua kaki pegal karena terus bergerak dan rasanya sudah tak kuat lagi. Pada saat itulah Tuhan mengirimkan seorang pemuda bertubuh kurus yang dengan susah payah berusaha menarik saya keluar dari dalam air.

Kebaikan Allah
Saya melanjutkan berjalan kaki dengan tubuh basah kuyup. Sepanjang perjalanan saya terus bertanya-tanya dan berpikir. Mengapa pertolongan itu datangnya lama sekali? Mengapa orang banyak itu hanya menonton? Mengapa dan mengapa?
Saya berusaha menemukan jawabannya. Mungkin selama ini saya belum banyak melakukan kebaikan, sehingga Allah hanya mengutus satu orang pemuda bertubuh kurus untuk menolong saya dan dalam waktu yang tidak segera pula.
Mungkin juga saya telah melakukan banyak kebaikan, tetapi kebaikan tersebut tidak berkenan bagi Allah karena tidak sesuai dengan kehendak-Nya.
Tetiba saya tersadar bahwa selama ini saya melakukan kebaikan hanya sebagai kewajiban semata atau karena ingin mendapatkan balasan kebaikan pula dari Tuhan. Ini sungguh tidak terpuji!
Saya seharusnya melakukan kebaikan seperti yang dilakukan Allah. Kebaikan Allah berbeda dari kebaikan manusia.
Kebaikan Allah adalah kebenaran, sedangkan kebaikan manusia bisa palsu. Ini karena kebaikan Allah dilakukan dengan kasih, sedangkan kebaikan manusia tak jarang dilakukan dengan maksud tersembunyi alias pamrih.
Selain itu, kebaikan manusia juga bisa menyesatkan. Orangtua yang selalu menuruti atau memenuhi apa pun keinginan anaknya, misal.
Ini adalah kebaikan yang menyesatkan. Anak bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi penuntut, apa pun kehendaknya harus terpenuhi semua.
Anak tidak pernah belajar bahwa untuk mendapatkan sesuatu diperlukan perjuangan. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan si anak kelak kalau dia tidak pernah diajarkan untuk berjuang.
Melakukan Kebaikan Dengan Cara Benar
Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan: dalam kebenaran ada kebaikan, sedangkan dalam kebaikan belum tentu ada kebenaran.
Mungkin karena itulah pada akhir zaman yang dipisahkan dari antara orang jahat adalah orang benar (Mat. 13:49).
Lantas, bagaimana dengan orang baik? Apakah orang baik tidak diperhitungkan pada akhir zaman? Padahal, Kitab Suci jelas-jelas mengajarkan untuk berbuat baik.
Misalnya saja, “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menyerah.” (Gal. 6:9). Tentu masih banyak lagi ayat tentang ajaran berbuat baik yang dapat kita temukan di Kitab Suci.
Jadi?
“Saudara-saudara, janganlah meniru yang jahat, melainkan yang baik. Siapa yang berbuat baik, ia berasal dari Allah, tetapi siapa yang berbuat jahat, ia tidak pernah melihat Allah.” (3Yoh. 1:11)
Allah adalah Kasih, Allah adalah Sang Kebenaran. Jika orang melakukan perbuatan baik dengan kasih, dengan cara yang benar, berarti Allah berumah di dalam dirinya: ia berasal dari Allah. Dengan demikian, kebaikannya tidak palsu, apalagi menyesatkan.
Kebaikan yang dilakukan dengan kasih akan mendatangkan sukacita bagi si pemberi kebaikan. Jadi, kalau pada saat berbuat baik tidak merasakan sukacita, tetapi malah kesal atau tidak rela, bisa dipastikan kebaikan itu dilakukan tanpa kasih.
Tentang “kasih” ini dapat dibaca dalam Surat Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus bab 13.
Kebaikan manusia yang dilakukan dengan kasih adalah kebaikan Allah sendiri dan kebaikan Allah adalah kebenaran. Dengan melakukan kebaikan seperti yang dilakukan Allah berarti kita sudah melakukan kehendak Allah. Semua orang yang melakukan kehendak Allah adalah orang benar (Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, Kanisius, 2003: 304)
Nah, pilih mana: jadi orang benar atau orang baik? (*)
Penulis: Julie Erikania, Suka menulis sejak remaja, ibu dua anak, saat ini menetap di Bogor.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.