Natal Muram di Yerusalem

Perang di Gaza masih terus menghantui suasana Natal di Yerusalem. Sukacita Natal lenyap di sana.

0 123

Katolikana.com—Biasanya hari ini merupakan momen penuh kebahagiaan bagi Pendeta Khader Khalilia: kegembiraan, cekikikan, ciuman, saat putri kecilnya–dengan piyama Natal–membuka hadiah mereka. Namun tahun ini, hanya memikirkannya saja sudah membuat Khalilia merasa bersalah.

“Saya sedang berjuang,” kata pendeta Gereja Lutheran Redeemer-St. John keturunan Palestina-Amerika ini di New York.

“Bagaimana saya bisa melakukannya (merayakan Natal, red.) ketika anak-anak Palestina menderita, tidak punya tempat berlindung atau tempat untuk meletakkan kepala mereka?”

Ribuan mil jauhnya, dekat tempat kelahiran Yesus di Betlehem, Suzan Sahori telah bekerja dengan para pengrajin untuk menghadirkan hiasan Natal dari kayu zaitun ke rumah-rumah di Australia, Eropa, dan Amerika Utara. Tapi Sahori tidak berminat untuk merayakannya: “Kami hancur melihat semua anak-anak ini, semua pembunuhan ini.”

Di saat-saat yang penuh kegembiraan, banyak warga Kristen Palestina–di Betlehem dan sekitarnya–diliputi ketidakberdayaan, kesakitan dan kekhawatiran di tengah perang Israel-Hamas. Ada yang berkabung, melobi agar perang diakhiri, berupaya menyelamatkan sanak saudara, atau mencari kenyamanan dalam pesan harapan Natal.

Di wilayah Tepi Barat yang berada dalam okupasi, Sahori, Direktur Eksekutif Bethlehem Fair Trade Artisans, sebuah organisasi yang menjual kerajinan tangan, akan berdoa untuk perdamaian dan keadilan. Dia bersyukur saat ini dia masih selamat–tapi bertanya-tanya apakah hal itu bisa saja berubah. Dia juga merasa marah atas situasi ini.

“Kegembiraan di hati saya telah dicuri,” katanya. “Saya berkata, ‘Tuhan, bagaimana mungkin Engkau membiarkan semua anak-anak ini mati?’ … Saya marah pada Tuhan. Saya berharap Dia mengampuni saya.”

Di saat-saat yang lebih baik, ia mendapati semangat Natal di kawasan Betlehem tak tertandingi: Terwujud dalam lagu-lagu yang mengalir ke jalan-jalan yang dihiasi lampu, pasar-pasar yang memajang dekorasi, dan antusiasme anak-anak, keluarga, dan wisatawan yang berfoto dengan pohon natal yang menjulang tinggi.

Kini segalanya menjadi lebih sunyi dan muram. Upacara penyalaan pohon natal yang dia hadiri tahun lalu telah dibatalkan.

 

Natal Tanpa Perayaan

Para pemimpin gereja di Yerusalem telah mendesak jemaatnya untuk tidak melakukan “kegiatan perayaan yang tidak perlu.” Mereka mendorong para imam dan umat untuk fokus pada makna spiritual Natal dan menyerukan “doa yang sungguh-sungguh untuk perdamaian yang adil dan abadi bagi Tanah Suci kita tercinta.”

Ribuan warga Palestina telah terbunuh dalam serangan Israel yang sedang berlangsung di Gaza, yang dilancarkan setelah pembunuhan dan penyanderaan Hamas pada 7 Oktober di Israel.

Beberapa hari sebelum Natal, Patriarkat Latin Yerusalem mengatakan dua wanita Kristen di kompleks gereja di Gaza terbunuh oleh tembakan penembak jitu Israel. Militer Israel mengatakan pasukannya menargetkan militan Hamas di wilayah tersebut; pihaknya mengatakan sedang menyelidiki insiden tersebut dan menanggapi laporan tersebut dengan sangat serius.

Khalilia berusaha menghibur mereka yang putus asa di tengah kesusahannya.

“Sulit untuk menontonnya. Sulit untuk melakukan pekerjaan Anda,” katanya. “Orang-orang mencari kita untuk berjalan bersama mereka dalam penderitaan mereka.”

Dia mengkhawatirkan keluarga di Tepi Barat; seorang saudara kehilangan penghasilannya saat bekerja di sebuah hotel karena pembatalan perjalanan menghantam sektor pariwisata.

Khalilia, yang berasal dari kota dekat Bethlehem, mengatakan putrinya kemungkinan akan mendapat lebih sedikit hadiah, karena tabungannya akan digunakan untuk membantu anak-anak di Gaza.

Banyak orang di Amerika, katanya, tidak menyadari bahwa umat Kristen Palestina ada–beberapa bertanya apakah dia berpindah agama dari Islam atau Yahudi.

Dia memberi tahu mereka, “Saat Anda menyanyikan ‘Hai Kota Mungil Bethlehem’ pada malam Natal, ingatlah bahwa Yesus lahir di kampung halaman saya.”

Berdasarkan laporan kebebasan beragama internasional Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2022, diperkirakan terdapat 50.000 warga Kristen Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem. Sekitar 1.300 warga Kristen tinggal di Gaza, menurut laporan tersebut. Beberapa orang Kristen juga merupakan warga negara Israel. Banyak umat Kristen Palestina tinggal di komunitas diaspora.

Susan Muaddi Darraj, seorang novelis di Baltimore, mengatakan umat Kristen merupakan perwujudan keberagaman warga Palestina yang terhapuskan. “Keberadaan kami… menentang stereotip yang digunakan untuk tidak memanusiakan kami.”

“Natal kali ini, pertemuan keluarga menjadi lebih penting,” katanya.

“Khususnya di diaspora… di mana, bagi kami, kehidupan terasa seperti terhenti, namun semua orang di sekitar kami tetap menjalankan aktivitas sehari-hari mereka.”

Wadie Abunassar, seorang warga Israel Palestina di Haifa, mengatakan banyak komunitas Kristen yang mencoba menyeimbangkan suasana suram dengan pesan Natal.

“Yesus datang di tengah kegelapan” dan Natal “adalah tentang memberikan harapan ketika tidak ada harapan lagi,” kata Abunassar, mantan juru bicara Gereja Katolik.

“Saat ini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan semangat Natal.”

Ini tidak mudah.

“Sebagai warga negara Israel, kami merasakan penderitaan rekan-rekan Yahudi kami,” katanya. “Sebagai warga Palestina, kami merasakan penderitaan saudara-saudari Palestina kami.”

 

Perang Menghapus Sukacita Natal

Di Betlehem, Pendeta Munther Isaac, pendeta Gereja Natal Lutheran Injili, mengatakan air mata mengalir selama kebaktian Minggu. Banyak yang merasa cemas; beberapa sudah berkemas dan pergi.

Isaac adalah bagian dari kelompok yang melakukan perjalanan ke Washington untuk mengadvokasi gencatan senjata.

“Perdamaian yang komprehensif dan adil adalah satu-satunya harapan bagi Palestina dan Israel,” demikian isi surat yang ditandatangani oleh beberapa pemimpin pastoral Kristen di Bethlehem. Ditujukan kepada Presiden Joe Biden, pesan itu memintanya untuk membantu menghentikan perang.

Para penandatangan mengatakan mereka menyesali semua kematian, baik warga Palestina maupun Israel. “Kami menginginkan gencatan senjata yang konstan dan komprehensif. Sudah cukup kematian. Sudah cukup kehancuran. … Ini adalah seruan dan doa kami pada Natal ini.”

Pasukan Israel yang dituduh menggunakan kekuatan berlebihan, mengatakan pihaknya bertujuan untuk menghancurkan Hamas dan menuduhnya membahayakan warga sipil. Israel dan sekutunya, AS, juga semakin menghadapi kekhawatiran internasional mengenai besarnya jumlah kematian, kehancuran, dan pengungsian.

Gereja tempat Isaac berkarya menampilkan ornamen adegan kelahiran Yesus di mana sosok bayi Yesus, terbungkus dalam keffiyeh Palestina berwarna putih, tergeletak di reruntuhan.

“Membuat ornamen tersebut merupakan pengalaman emosional dan spiritual,” katanya.

“Kami melihat Yesus pada setiap anak yang terbunuh, dan kami melihat Tuhan mengidentifikasi diri kami dalam penderitaan kami.”

Pada musim liburan ini, Suhair Anastas, warga Gaza yang sudah lama tinggal di sana, didera rasa bersalah: Dia berhasil lolos dari perang di Gaza sementara yang lain tidak.

Anastas adalah seorang warga Palestina asal Yordania yang tinggal di Gaza, tempat asal mendiang suaminya.

Selama lebih dari sebulan, dia dan putrinya yang berusia 16 tahun berlindung di sekolah gereja Katolik di sana. Kematian terasa sangat dekat ketika serangan udara Israel yang mematikan menghantam kompleks Gereja Ortodoks Yunani Gaza yang menampung para pengungsi. Militer Israel mengatakan pihaknya menargetkan pusat komando Hamas di dekatnya.

“Kamu pergi tidur… sambil berpikir, ‘Apakah aku akan bangun keesokan paginya?’” kata Anastas.

Perjalanannya ke perbatasan–dengan mengemudi, berjalan kaki, naik kereta yang ditarik keledai dan taksi–sungguh menakutkan.

“Pemboman terjadi di sekitar sini,” katanya. “Putri seorang teman, yang masih kecil, terus bertanya: Apakah kami akan mati?”

Anastas berharap bisa kembali ke Gaza, tapi dia tidak yakin apa yang akan terjadi, atau apakah rumahnya akan tetap ada di sana.

Di antara banyak pertanyaan mengenai masa depan Gaza dan populasi lebih dari 2 juta penduduknya, adalah apakah komunitas Kristen yang kecil di sana akan tetap ada–dan untuk berapa lama?

Mereka yang masih berada di dalam termasuk kerabat Sami Awad. Awad, seorang Amerika-Palestina, mengatakan dia gagal mendapatkan bantuan AS agar anggota keluarganya, yang tidak memegang paspor AS, bisa pergi.

Mereka telah berpindah-pindah berulang kali, tempat berlindung terakhir mereka adalah bangunan semen tanpa jendela yang digunakan bersama dengan orang lain, kata Awad, yang tinggal di Tepi Barat.

Dalam komunikasi sporadis, sepupu Awad mengatakan kepadanya bahwa mereka kehabisan tuna kalengan dan kacang-kacangan yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup.

Sepupu Awad juga pernah berpesan kepada Awad, “Jika kami mati, jangan terlalu bersedih atas kami,” kata Awad. Di lain waktu, sepupunya berteriak, “Selamatkan kami. Keluarkan kami.”

“Saya benar-benar merasa tidak berdaya,” kata Awad, takut akan kemungkinan berita buruk setiap saat.

Harapan muncul dalam bentuk visa Australia untuk kerabatnya, termasuk bibi dan pamannya yang sudah lanjut usia, kata Awad, namun nama mereka tidak ada dalam daftar yang diperlukan untuk berangkat.

Pada hari Natal, dia berkata, “Kami akan bangun, seperti hari-hari lainnya, untuk menonton berita dan melihat berapa jumlah orang yang terbunuh.”

Awad tidak berpikir untuk memasang pohon Natal sampai putri bungsunya berdebat untuk memasang pohon natal.

Jadi sekarang, sebatang pohon natal sudah tegak. Di atasnya, di tengah pernak-pernik emas dan merah, ada bendera Palestina berwarna merah, hitam, putih dan hijau.

 

Sumber: Associated Press

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.