Mengembangkan Keterampilan Hidup Melalui ‘In Service Training’

0 72

Oleh: Hadrianus Wardjito SCJ

Katolikana.com—Selagi kita sedang menggoreskan sejarah pergerakan kaum muda, baik diri sendiri maupun kelompok, kita yang berada dalam ‘campuran’ perasaan: minder sekaligus pédé, antusias sekaligus pesimistik, merasa tidak berarti sekaligus sombong menuntut perhatian, dst—perlu menyadari bahwa kita sedang dalam situasi In Service Training (IST) atau latihan melalui praktek pelayanan langsung.

Setelah periode IST kita lewati, secara faktual kita menemukan diri telah diperkaya oleh pengalaman-pengalaman hidup, yang sering disebut juga mempunyai ‘nilai plus’.

Kaum muda yang pernah aktif melalu ormas, seperti PMKRI, Pemuda Katolik, kelompok-kelompok seperti Mudika, KSM, atau gerakan rohani seperti Legio Mariae, dll, ketika memasuki ‘bursa kerja’ diam-diam diminati dan dipromosikan secara cepat.

Pokoknya berbeda dengan mereka-mereka yang lulus murni secara akademis, tetapi nol dalam soal pengalaman berorganisasi. Karena itu marilah kita hidupi periode pertumbuhan-perkembangan kita sebagai suatu kesempatan IST, yang tidak pernah terulang.

Setiap kaum muda sejak dini perlu menyadari atau disadarkan akan pentingnya memiliki kompetensi, yang bukan saja bersifat intelektualistis-teoritis, tetapi komplit-plit termasuk keterampilan (skills) dengan sikap dan perilaku hidup yang positif.

Ketiganya, kita padukan dalam singkatan KSA, yaitu: pengetahuan (knowledge), keterampilan atau kecakapan (skills) dan sikap atau perilaku hidup yang positif (attitude).

Ketika Panitia Porseni & Humaniora menawarkan beragam kegiatan fisik, ada yang memberi komentar, ‘Yah, kagiatan Gerejani koq diisi dengan memasak nasi gorèng. Itu mah, terlalu materialistis. Tidak cocok dengan hakekat mengGereja yang bercorak rohani!’

Kritiknya boleh diterima, tetapi pencapaian sasaran bina yang multi nilai, mestilah kita simpan dalam hati, direnungkan, dan lebih-lebih dipraktekkan, sebagaimana mengGereja sendiri dapat dijabarkan melalui kriprah kerugmatis (segi-segi ajaran iman), liturgis (segi-segi liturgis), koinonis (segi-segi persaudaraan dan kebersamaan) dan diakonis (segi-segi pelayanan).

Siapa tahu bukan titel sarjana yang menyelamatkan hidup kita ini, tetapi kean memasak, seperti 20 menit mempergunakan kean dan siap menyajikan nasi gorèng, dan mungkin menjualnya melalui ‘warteg’.

Salah satu unsur kompetensi, yaitu keterampilan, atau kita sebut sebagai keterampilan hidup, terwujud dalam berbagai dimensi berikut:

1. Keterampilan integratif yang disebut analytical and integral thinking skills atau kecakapan berpikir secara analitis dan integral. Kecakapan intelektual yang dimaksud ialah keterpaduan khas antara kemampuan berkhayal, merasa, melihat keseluruhan bagian sebagai suatu sistem yang berhubungan satu sama lain. Seorang perencana, atau kelompok yang sedang merencanakan suatu kegiatan, keterampilan integratif amatlah diperlukan.

Keterampilan integratif disebut juga keterampilan sistem, karena kita dituntut untuk menyatukan atau mengintegrasikan berbagai macam keterampilan ke dalam suatu sistem (an assemblage or combination of things or parts forming a complex or unitary whole).

Contoh keterampilan sistem yang terkait satu sama lain:

  • Mempergunakan uang sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan;
  • Melangkah maju dengan enak melalui suatu proses (step by step);
  • Memilah-milah perkara ke dalam kelompok-kelompok seperti perkara pribadi, prekara masing- masing anggota kelompok dan prekara kelompok sendiri;
  • Menjelaskan kompleksitas permasalahan kelompok satu persatu dan bersama (pars pro totto totum pro parte atau bagian untuk keseluruhan, dan keseluruhan untuk bagian);
  • Merumuskan atau menyebutkan data-data secara ringkas dan jelas;
  • Memilah-milah ungkapan-ungkapan ataupun masukan-masukan yang diwarnai oleh emosi;
  • Memilah-milah dan menyusun secara rinci berbagai tekanan yang datang dari dalam (intern) lembaga atau organisasi, dan yang datang dari luar (ekstern), yakni dari masyarakat;
  • Berbicara dengan jelas dan dapat dipahami oleh massa, yang mempunyai beragam latar-belang pendidikan, budaya, pandangan hidup, dlsb.
  • Melibatkan diri dalam suatu sistem rencana kerja yang dari sudut pandang waktu akan panjang untuk menjabarannya (implementasinya) dan dari sudut pandang jenis kegiatan akan beraneka ragam, namun dengan hasil pencapaian yang telah ditentukan (lihat bagan rencana kerja dari sebuah organisasi atau perusahaan);
  • Mempu menangkap data-data yang serupa dan tidak serupa, dan mampu menganalisnya sebagai data-data yang berharga;
  • Mampu menentukan tolok ukur atau kriteria yang terbatas dan jelas;
Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD) Siswa SMAK Seminari Mario John Boen. Foto: seminarijohnboen.sch.id

2. Keterampilan relasional atau interpersonal skills.

Keterampilan relasional merupakan kemampuan untuk bertindak dengan hati dan dengan penuh pengertian terhadap orang-orang di sekitar kita, yang keluar dari suatu pengenalan akan diri sendiri dan sesama.

Termasuk di dalam kemampuan ini ialah bisa mengungkapkan perasaan-perasaan pribadi secara obyektif dan ditumbuh-kembangkan demi kerjasama yang kokoh kuat. Sikap menyingkirkan diri atau mengisolir diri tidak sesuai dengan pengembangan keterampilan interpersonal ini.

Contoh medan/bidang keterampilan interpersonal:

  • Mampu memperlihatkan emosi. Kita sering dibelenggu oleh emosi, yang lazim dipasung oleh kita maupun oleh masyarakat, seperti ‘Tidak boleh marah’, ‘Janganlah jadi manusia itu emosional!’, dlsb.;
  • Mengenal atau bahkan memanggil perasaan-perasaan-ku dengan tepat, misalnya: ‘Saya sedang merasa senang’, ‘Saya merasa jengkel’, ‘Saya sungguh-sungguh merasa lega’; dlsb.;
  • Mengenal perasaan-perasaan orang lain atau berusaha dengan tepat mengenal apa yang sedang ia atau mereka rasakan; Mampu membagikan atau mensharingkan emosi saya kepada orang lain;
  • Bisa mengatakan ‘Saya marah!’ secara obyektif, yakni tahu perkara apa yang menyebabkan saya (sedang) marah;
  • Mampu mengungkapkan perasaan diri sendiri dan orang lain, dan orang lain bisa menerimanya; Mampu mengungkapkan atau mengatakan cita-cita pribadi;
  • Menjadi tetap tenang, meskipun dalam keadaan stress berat atau mengalami kecemasan yang tinggi;
  • Mengatakan sejujurnya tentang nilai-nilai keberadaan orang lain, sehingga mereka sendiri mendengar secara langsung apa yang sedang saya katakan;
  • Selalu menjalankan komunikasi secara lengkap, misalnya ‘muka dengan muka’ (face to face), menyedengkan telinga pada dia yang sedang berbicara, dslb.;
  • Dapat membantu orang lain melihat dirinya sendiri dengan kehadiran saya yang empatis;
  • Mengarahkan cita-cita atau angan-angan ke dunia (orang) lain;
  • Hadir dalam ‘kematian’ orang lain dengan berbelarasa atau compassion (a feeling of deep sympathy and sorrow for someone struck by misfortune, accompanied by a desire to alleviate the suffering; mercy);
  • Menjadi agresif secara kreatif dan bukan destruktif;
  • Mampu mengatasi konflik;
  • Menentukan strategi di sekitar kutup kepribadian anda dan orang lain.

3. Keterampilan idealis (visioning skills).

Keterampilan idealis adalah kemampuan merumuskan visi dan tujuan serta cara pencapaiannya; merupakan keterpaduan antara kemampuan berkhayal (dreaming yang disengaja dan bukan sekedar dreams yang muncul spontan dikala kita tidur) yang terjadi pada diri sendiri, dengan kemampuan untuk beremosi atau berperasaan, sehingga terjadi pertemuan antara ide-ide dengan feeling secara efektif dan praktis.

Keterampilan idealis di sini termasuk kemampuan melihat data-data yang semakin bertambah dan menggabungkannya dengan pengalaman yang telah dimiliki, lalu secara kreatif memunculkan ide-ide lain yang lebih kompleks.

Proses bongkar-pasang, sebagaimana dilakukan di Jepang, Taiwan, Korea, Cina—yang gesit dalam copying barang-barang industri) dengan menambahkan kreativitas baru—adalah contoh konkret untuk jenis keterampilan idealis ini.

  • Menyadari nilai-nilai pribadi seseorang secara dinamis dan realistis dan tidak berhenti dengan suatu prasangka yang bersifat stereotype atau klise;
  • Mampu menyintesekan fakta-fakta ataupun masukan-pasukan baru;
  • Dapat memulai ide-ide yang serba baru dari data-data yang sekilas tidak berhubungan satu sama lain, atau dengan kata lain dapat mengembangkan kemampuan berasosiasi;
  • Mampu menangkap makna yang tersembunyi dari data-data baru;
  • Dapat memimpikan dan membayangkan masa depan yang baru, yang bisa diwujud-nyatakan secara konkret;
  • Mampu melahirkan keterampilan-keterampilan yang baru, seperti: mengelompokkan masukan-masukan; memanfaatkan usulan-usulan para konsultant; melakukan ‘brainstorming’; memanfaatkan keberadaan ‘think-tank’ (a group or an institution organized for intensive research and solving of problems, especially in the areas of technology, social or political strategy, or armament);

4. Keterampilan instrumental (physical skills).

Keterampilan instrumental merupakan keterpaduan khas antara kemampuan intelektual dengan keterampilan fisik, yang darinya orang menjadi profesional dan sekaligus kompeten.

Keterampilan ini mencakup juga keterampilan idealis, yang langsung operasional, karena mampu menerapkan ide-idenya ke dalam kondisi lingkungan konkret (eksternal) dengan tepat. Perangkat tubuh seperti tangan, kaki, mata, mulut, keseluruhan tubuh, dipergunakan sedemikian rupa untuk mewujud-nyatakan kemampuan akademis atau konyitif.

Contoh keterampilan instrumental atau physical skills:

  • Membaca – menulis – menghitung;
  • Berbicara dengan benar dan jelas;
  • Berpikir logis dan realistis;
  • Memadukan keseluruhan diri fisik, seperti ‘orang yang sedang menyetir sepeda motor atau mobil, dia sekaligus mempergunakan keterampilan fisik yang terpadu: mata, tangan, kaki, telinga, dst.’;
  • Menguasai keterampilan-keterampilan baru yang terkait dengan profesinya;
  • Terus menerus mengolah secara progresif informasi primer, sekunder, dst.;
  • Dapat memadukan secara logis serta memprosesnya dengan peralatan teknis baru, seperti bisa mempergunakan komputer, yang dari dirinya senantiasa ditantang untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologis di bidang komputer;
  • Menguasai betul-betul pekerjaannya; Dapat membuat anggaran belanja (budgeting) selama satu tahun atau lebih;  Mampu melakukan diet, melatih dan menjaga kebugaran tubuh.

5. Tujuan Pendidikan Kristiani

Dalam Ensikliknya, On Christian Education (Divini Illius Magistri), Paus Pius XI menandaskan bahwa, ‘tujuan utama dan langsung Pendidikan Kristiani ialah bekerjasama dengan rahmat ilahi membina kaum muda sejati dan sempurna, mencakup keseluruhan hidup manusiasi: fisik, rohani, intelek, moral, individual dan sosial kekeluargaan, dan tidak menguranginya, sebaliknya mengangkat, menyeimbangkan dan menyempurnakan subyek bina seturut teladan dan ajaran Tuhan kitaYesus Kristus.’

Para Salesian, mengikuti ajaran dan praktek Santo Yohanes Bosco, dengan fasih menerapkan metode preventif (kebalikan dari metode represif), yakni dalam semangat Cinta Kasih, memberi kebebasan kepada semua subyek bina untuk bertumbuh-berkembang dalam semua aspek manusiawinya dan secara progresif-evolutif menempatkan subyek bina dalam tantangan yang direspon dengan tanggungjawab moral pribadi dan kelompok.

Keterampilan hidup dengan sendirinya mejadi sasaran yang tidak di-nomor-duakan, sementara pendewa-dewaan terhadap supremasi intelektual sadar maupun tidak sadar tetap dilakukan.

Dalam era globalisasi, liberalisme dan perdagangan bebas, bangsa Indonesia kita ini sudah dan masih akan tetap terjebak menjadi insan konsumeristis, apabila keterampilan hidup tidak segera dibenahi. Bangsa lain menjadi subyek produktif dan kita obyek konsumtif. Bukankah begitu? (*)

Sumber: Brian P.Hall, The Personal Discernment Inventory, (New York, Paulist Press), hal. 43- 45.

Berkarya pada Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus, SCJ, Provinsi Indonesia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.