
Katolikana.com, Palembang — Keramaian itu pecah di antara para tamu di ruang refter Provinsial SCJ Indonesia di Sukarami, Kota Palembang, Sumatera Selatan. Para romo, bruder, dan frater tampak sibuk menyambut tamu yang datang dari beragam komunitas dari luar kota Palembang, di antaranya dari Jambi, Lampung, Jakarta, Samarinda. Beberapa pastor SCJ dari Kanada, Amerika, Kolombia, yang datang lebih dulu pun bergabung.
Komunitas Provinsial SCJ itu sedang punya gawe merayakan 100 tahun atau satu abad SCJ Indonesia hadir di Tanah Air. Romo Andreas Suparman SCJ, Superior Provinsial SCJ Indonesia, sumringah dan terheran-heran dengan adanya semangat dan sambutan antusias dari umat dan orang muda yang menjadi relawan pendukung acara perayaan 100 tahun SCJ Indonesia. “Aku yang punya gawe, kau yang sibuk, haa”, ia lontarkan dalam candaan saat jumpa dengan para relawan.
Perayaan 100 tahun SCJ di Indonesia menjadi momen penting dalam memaknai perjalanan tarekat Imam-imam Hati Kudus Yesus. Menurut Romo Suparman, momen bersejarah itu menegaskan kembali para konfrater untuk berjalan bersama-sama memperkuat spiritualitas Pater Leo Dehon – pendiri tarekat Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) di tengah-tengah komunitasnya dan gereja lokal.
Romo Andreas Suparman SCJ dilantik sebagai Superior Provinsial SCJ Indonesia pada 15 Desember 2021, dan kepemimpinannya akan berakhir pada Desember 2024. Kemudian, ia dipercaya kembali memimpin SCJ Indonesia hingga 2027.
Di tengah hiruk pikuk tamu yang hadir, Romo Andreas Suparman SCJ – selanjutnya disapa Romo Suparman, memberikan kesempatan wawancara kepada jurnalis Katolikana.com, Basilius Triharyanto pada 24 September 2024. Selama 49 menit, Romo Suparman menjawab pertanyaan dan menjelaskan ‘pendekatan sukacita’ dalam memimpin para konfrater dan tantangan-tantangan SCJ Indonesia ke depan.

SCJ Indonesia sudah 100 tahun pada September 2024. Bagaimana memaknai perjalanan kehadiran SCJ di Indonesia?
Kalau kita melihat perjalanan dari 100 tahun ya, dulu memang gereja itu menjadi, istilahnya, ‘semua itu SCJ’. Dari awal sampai boleh dikatakan pertengahan, 50 tahun yang lalu, tidak ada pembedaan antara SCJ, Projo (Diosesan), dan lain sebagainya. Semuanya SCJ.
Lalu mulai pertengahan, orang-orang misionaris mulai berkurang, dan bahkan tidak ada lagi. Kemudian kita mengembangkan imam-imam diosesan.
Dulu tidak terbedakan antara diosesan, SCJ, dan sebagainya. Tapi sekarang harus menegaskan kembali identitas. Bahwa kita memang, ya, biarawan. Begitu.
Memang ada beberapa konflik dengan kepentingan-kepentingan keuskupan. Konflik dengan imam diosesan itu ada. Ada hal-hal yang seringkali perpindahannya itu tidak terlalu indah, tidak terlalu mulus. Dan itu wajar, di mana saja itu ada.
Maka, kami harus sungguh-sungguh mulai menentukan identitas kami, sebagai biarawan-imam, atau sebagai biarawan. Lalu juga karya-karya, kami sudah mulai terbuka lagi. Bukan hanya karya parokial, banyak karya-karya kategorial yang kita layani. Sambil tetap menegaskan tentang spiritualitas kita.
Jadi itu terjadi perubahan yang cukup besar. Kami sudah mulai lagi memikirkan tentang spiritualitas SCJ. Sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Tapi, sekarang ada gerakan yang luar biasa, secara internasional, juga di Indonesia sendiri, bagaimana kita mencoba mendalami spiritualitas SCJ itu sendiri, Pater Dehon dan sebagainya.
Sekarang terbuka, ada begitu banyak kesempatan untuk mendalami itu. Dalam situasi semacam itu kita sekarang harus memikirkan, bahwa kita ini bukan pejuang sendiri, kita bukan bekerja sendiri. Yang harus kita tekankan adalah kita berjalan bersama.
Di sinilah yang menjadi concern kita saat merayakan 100 tahun ini, dengan tema “Dengan hati terbuka, berjalan bersama gereja lokal”. Tema ini pertama-tama ingin menggali spiritualitas kami. “Dengan hati yang terbuka” dalam arti bahwa hati Yesus yang terbuka, itu merupakan sumber cinta kasih Allah, itu harus menjadi dasar dari seluruh hidup kami, spiritualitas kami.
Demikian juga “Hati yang terbuka” itu membuat kita mempunyai hati yang terbuka juga pada orang lain. Maka kita mengenal cordialitas. Cordialitas dalam arti kita menekankan keterbukaan kepada orang lain, kesiapsediaan untuk menerima orang lain. “Bersama gereja lokal” itu menekankan kebersamaan berjalan. Gereja lokal dalam arti kita lebih konkret menjawab kebutuhan gereja.

Secara historis, SCJ Indonesia berakar kuat di Sumatera bagian Selatan, apa yang akan dikembangkan ke depan?
Kita itu dari awal terikat, atau ada ikatan sejarah secara kehadiran para SCJ. Maka yang menjadi fokus kepada gereja di Sumatera bagian Selatan, yaitu Keuskupan Palembang, Keuskupan Tanjungkarang. Kita tidak akan pernah meninggalkan tempat ini, karena kita memiliki ikatan sejarah.
Keuskupan juga memberikan keleluasaan yang luar biasa. Keuskupan itu sangat menerima dan bahkan selalu memberi peluang-peluang yang lain, karya-karya yang lain di sini.
Tentu saja kita memperhatikan juga wilayah-wilayah, daerah-daerah yang terpencil. Maka kita juga mencoba menjawab kebutuhan gereja-gereja, yang boleh dikatakan sangat membutuhkan. Ketika gereja membutuhkan, misalnya, lalu kita dengan cepat menanggapinya.
Kehadiran utama kita jelas, selain di Palembang, Tanjungkarang, lalu Timika. Mengapa Timika? Ya karena sekarang kita sudah punya banyak umat di sana. Sekarang kita coba menumbuhkan panggilan-panggilan dari umat lokal. Di Timika, kita coba merekrut beberapa anak SMA. Kita sekolahkan. Kita dampingi secara khusus. Dan nanti kita coba untuk masukkan ke seminari, entah seminari di sini atau mungkin seminari di sana. Lalu itu menjadi bibit-bibit yang dikatakan awal dari para SCJ lokal di sana. Sehingga, kami juga akan lebih memantapkan di sana.

Bagaimana ceritanya bisa membuka karya misi di Papua?
Dulu yang meminta itu Keuskupan Jayapura pada 25 tahun lalu. Jadi waktu itu kita ke Jayapura, kita komunikasinya dengan Keuskupan Jayapura ditemani oleh Pastor John Saklil, waktu itu belum menjadi Uskup Keuskupan Timika.
Ternyata waktu kita mau hadir di sana, sudah terjadi pemisahan keuskupan. Ada keuskupan baru Timika. Pastor John Saklil itu menjadi Uskup Timika. SCJ memang hadirnya di wilayah Timika waktu itu. SCJ masuk wilayah Timika pada 25 tahun yang lalu, hampir bersamaan dengan pendirian Keuskupan Timika.
Mengapa ke Papua, apa yang kemudian menjadi misi khusus SCJ Indonesia?
Pada waktu itu ya karena undangan. Undangan dari Bapa Uskup. Sekali lagi, karena kebutuhan yang sangat besar di gereja sana. Dan sampai sekarang, kebutuhan pelayanan di sana sangat besar. Maka kami sungguh-sungguh melihat ini sebagai suatu kesempatan yang sesuai dengan spiritualitas kami sendiri untuk ke Papua.
Sekarang sudah ada berapa romo dan komunitas di Papua?
Di Papua, ada satu paroki di Biak, di Timika ada satu paroki. Lalu ada biara kami di Timika, yang mendampingi asrama punya keuskupan. Dan ada rumah retret di biara itu. Pelayanan rumah retret. Lalu di Kokonau, itu di wilayah pantai, wilayah yang paling berat.
Pelayanan SCJ Indonesia semakin luas menjangkau berbagai daerah saat ini?
Di Jogja ada, kami hanya hadir saja, karena kami punya rumah pendidikan. Lalu, Jakarta, Papua (Timika dan Biak), kemudian Pekanbaru di Riau, Samarinda, dan Medan. Sebagian besar pelayanan parokial, tapi juga ada pelayanan di rumah retret dan dosen di seminari.
Apa tantangan SCJ Indonesia ke depan?
Tantangan yang paling utama adalah membangun identitas diri. Dalam arti menegaskan tentang spiritualitas. Itu menjadi dasar yang utama. Identitas ini menjadi tantangan yang terus menerus.
Tantangan identitas itu mengenai pengenalan atau pemahaman tentang spiritualitas itu sendiri. Ini kan juga sesuatu yang asing, terutama mengenai bahan-bahan dan sebagainya.
Spiritualitas Pater Dehon itu kan banyak dari antara kami masih belum tahu persis tulisan-tulisan Pater Dehon atau apapun juga. Karena memang dalam bahasa asing yang asing kan. Membangun identitas sebagai Dehonian itu tantangannya mengenai sumber-sumber pengetahuan itu sendiri.
Belum lagi nanti pada implementasi atau internalisasinya. Itu kan juga menjadi tantangan tersendiri. Tantangan praktis kalau di era zaman saat ini tentu saja bagaimana pada akhirnya membentuk gaya hidup. Gaya hidup seorang Dehonian yang selibat, gaya hidup seorang Dehonian yang miskin. Ini jelas tidak mudah kan.

Pater Leo Yohanes Dehon – selanjutnya dikenal Leo Dehon, mendirikan kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (Sacro corde Iesu atau SCJ) pada 1878. Lahir di La Capelle, Aisne, Prancis Utara pada 14 Maret 1843. Prancis menjadi bahasa ibunya, sehingga banyak karya intelektual dan pemikiran pribadinya dituangkan dalam bahasa Prancis.
Kata ‘kemiskinan’, sepertinya sudah lama tidak terdengar, sebagai suatu pergumulan hidup?
Nah itulah. Direduksi menjadi sederhana, dan sebagainya. Harus diakui kalau kaul kemiskinan, bukan kaul kesederhanaan.
Lalu, tentu kaul ketaatan. Ternyata itu juga tidak mudah, membangun gaya hidup ketaatan. Karena apa? Sekarang ini, tantangan zaman, boleh dikatakan begitu, semuanya hampir bertentangan. Orang yang taat itu orang yang seolah-olah nggak punya apa-apa. Orang yang taat itu orang yang lemah. Orang yang malah tidak bisa mandiri, tidak ada apa-apa. Itu kan tantangannya begitu.
Gaya hidup juga begitu. Orang yang miskin itu dianggap orang yang gagal dalam hidupnya. Lalu tidak ada kebanggaan di situ. Orang yang taat itu seolah-olah orang yang nggak punya apa-apa. Itu menjadi tantangan gaya hidup Dehonian yang selibat, Dehonian yang miskin, Dehonian yang taat.
SCJ Indonesia sudah melahirkan banyak generasi. Bagaimana Anda melihat generasi Imam Dehonian saat ini?
Tantangannya tentu saja ada gap generasi. Generasi muda ini di satu sisi kita melihat generasi yang kreatif, inovatif, sangat maju, dan sebagainya. Tetapi ada satu hal yang hilang, menurut saya menjadi keprihatinan, yakni endurance, daya tahan. Tidak bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama. Duduk pun juga nggak bisa tahan, ini hanya masalah kecil saja. Lalu semuanya itu serba ingin cepat. Semuanya berubah. Sehingga tidak ada semacam kepastian juga. Maka orang mengambil keputusan itu pun menjadi keputusan yang tidak terlalu mantap.
Apakah keputusan ini termasuk keputusan panggilan?
Ya, keputusan panggilan. Mengambil keputusan, misalnya ketika sudah kaul, ada beberapa yang sudah kaul kekal hanya sebentar. Tidak lama, keluar. Misalnya begitu. Ini berkaitan dengan komitmen, bagaimana saya bertahan dalam suatu keputusan.
Zaman sekarang memang begitu ya. Artinya semuanya serba cepat, semuanya serba, kebenaran pun kebenaran yang relatif, sekarang. Ya, kan? Oh, ada berita benar. Ternyata, oh, ada berita susulan lagi, ternyata tadi salah. Disusul lagi, oh, ternyata yang ini lebih benar lagi. Artinya orang akhirnya tidak lagi bisa memegang suatu kebenaran. Ini arus umum. Demikian juga dengan kehidupan membiara.

Hampir tiga tahun Anda memimpin Provinsial SCJ Indonesia. Apakah bisa menceritakan pengalaman Anda memimpin tarekat ini?
Saya memulai pelayanan sebagai Provinsial karena memang jelas itu namanya usulan dari para konfrater, dibawa ke Generalat, dan memang yang menentukan itu Generalat. Pada 15 Desember 2021 untuk tiga tahun, saya bersama dewan dilantik untuk memulai pelayanan.
Hal yang menjadi motto atau yang ingin kami perjuangkan, kalau saya sendiri, sangat tertarik dengan yang disampaikan Bapa Paus Fransiskus. Dia selalu menekankan sukacita. Dan ini yang ingin saya bawa dalam pelayanan kami, supaya para konfrater itu mengalami sukacita dalam hidup.
Dengan sukacita itu akan membangkitkan sukacita yang sejati, sukacita Injili, kepada semua orang yang dilayani dan yang dijumpai. Tetapi yang paling utama adalah sukacita pribadi. Karena, Bapa Suci menekankan hal itu dengan berkata, “Tidak ada kekudusan dalam kesedihan.” Bukan berarti tidak boleh sedih, nggak. Tapi sedih dalam arti kemuraman, kemurungan, dan sebagainya. Kita harus menjadi orang yang bersukacita, dalam segala situasi hidup.
Maka, kami mengusahakan visitasi, kunjungan ke seluruh konfrater. Tahun pertama targetnya mengunjungi semua konfrater, berbicara secara pribadi. Ini untuk melihat bagaiamana mereka bisa mengalami sukacita.
Semua konfrater, secara pribadi saya hubungi. Saya ajak berbicara. Lalu dari perjumpaan itu, saya bisa mengenal secara pribadi. Bagaimana para konfrater itu mengalami perjuangan hidupnya.
Kami juga memahami kira-kira apa yang menghalangi orang untuk sungguh-sungguh mengalami sukacita. Jadi mereka terbuka kan akhirnya. Ini loh, misalnya, saya mengalami ini, ini, ini. Kalau ada sesuatu yang bisa kita bantu bersama secara pribadi, ya sudah kita bantu, untuk bisa mengalami sukacita.
Sekarang jumlah konfrater sekitar 250-an. Tapi itu sudah mencakup konfrater Indonesia yang ada di luar negeri. Kalau di dalam negeri sendiri jumlahnya sekitar 225 konfrater.
Lalu tahun kedua, masih berkaitan dengan itu. Dalam program itu juga mengunjungi keluarga-keluarga konfrater. Tahun kedua dan ketiga, sama. Karena bagaimana pun juga keluarga konfrater itu menjadi pendukung utama dari panggilan kan. Mau tidak mau kita dipengaruhi oleh keluarga.
Dengan mengunjungi keluarganya, konfrater itu merasa bangga, bahagia, bahwa keluarganya diperhatikan. Bagi kami juga sekaligus bisa menjadi cara untuk mengenal kehidupan keluarga. Bagaimana bisa mengenal konfrater, membantu konfrater untuk mengalami sukacita itu dalam pelayanan dan hidupnya.

Mengapa Anda melakukan “pendekatan sukacita”, visitasi ke semua konfrater?
Pendekatan personal itu paling utama. Pengenalan pribadi itu menjadi kunci semuanya. Kalau kita sudah punya kedekatan pribadi, punya relasi pribadi, lalu banyak hal menjadi lebih mudah karena kita saling mengerti, saling memahami.
Misalnya, ketika melakukan mutasi konfrater dan sebagainya, itu kita merasa lebih tepat. Karena kita betul-betul mengenal. Kita mengedepankan suatu dialog. Tidak pernah kita mengadakan suatu perpindahan begitu berdasarkan, “Kamu pindah ya!” Ada dialog, sehingga orang mengerti mengapa, mengapa, dan sebagainya.
Kami sebagai tim, saya bersama dengan dewan penasehat itu memang rutin sebulan sekali rapat. Dan di situ kami juga bukan hanya rapat saja. Kami juga men-sharing-kan pengalaman-pengalaman, yang diawali selalu dengan men-sharing-kan pengalaman-pengalaman pribadi. Supaya apa? Supaya kita sebagai suatu tim yang melayani kongregasi itu saling mengerti, kompak, dan sebagainya. Justru di sini ini menjadi kunci juga. Jadi kerjasama tim itu sangat penting di dalam dewan sendiri.
Mengapa konsolidasi ke dalam banyak mendapatkan perhatian Anda dan Dewan Provinsial SCJ Indonesia?
Kita menyoroti pentingnya konsolidasi ke dalam, membangun kehidupan komunitas. Ini bagian sidang kapitel kami yang menekankan tema saat itu, “bersatu, berjalan bersama, dan bertransformasi.”
Kehidupan komunitas ini menjadi dasar. Karena memang kami melihat ada kecenderungan sekarang orang itu meninggalkan dan mengabaikan kehidupan komunitas. Sehingga kami menekankan itu. Bahwa kehidupan komunitas itu menjadi bagian hati kita, bagian dari kehidupan kita.
Kami ingin memperbaiki struktur yang ada dalam komunitas, di dalam kepemimpinan, dengan menekankan juga program komunitas bersama, hidup rohani, hidup doa. Kami juga menekankan bagaimana bekerjasama dengan masyarakat, dengan gereja lokal, dalam karya-karya dan misi kita.
Bertransformasi itu kami ingin lebih memberi perhatian, penghargaan kita kepada martabat manusia. Kami sudah punya protokol terkait kehidupan anak dan dewasa rentan.
Bagi kami, yang penting bukan pertama-tama sebagai suatu hukum, tapi kami ingin menciptakan, ingin bertransformasi untuk lebih menghargai martabat manusia. Bukan hanya ingin menghindari ini, itu, tetapi bagaimana kami bisa meningkatkan penghargaan martabat manusia.
Transformasi yang lain itu berkaitan penghayatan hidup kaul kami, yang kami rumuskan sebagai gaya hidup. Keprihatinan kami, yang kami lihat itu, ada begitu banyak anggota kami, dan saya kira juga secara umum, itu tidak memiliki, atau kurang memiliki gaya hidup. Kalau dia seorang selibat, gaya hidupnya bukan gaya hidup selibat. Baik itu penampilan, juga sikapnya.
Gaya hidup itu begini, kalau selibat itu kan menutup relasi. Sekarang itu ada banyak orang selibat tapi tetap terbuka pada relasi, seolah-olah saya itu masih terbuka untuk memikirkan masa depan yang lain.
Gaya hidup selibat itu harusnya betul-betul menjaga. Bukan kaku, nggak, tapi saya harus mengakui bahwa saya menutup kemungkinan-kemungkinan, entah itu untuk relasi seksual atau hidup berkeluarga. Nyatanya masih cukup banyak orang yang merasa diri lajang, bujangan. Bahwa kita tidak menikah, tapi kita bukan bujangan.
Sudah memiliki protokol perlindungan anak dan dewasa rentan, ini sebuah langkah maju bagi kongregasi SCJ?
Ya, karena itu perhatian lebih kami, terlibat dalam keprihatinan gereja secara umum, yang diserukan oleh Vatikan. Dan kami menanggapi itu sebagai hal yang positif. Supaya kami sungguh-sungguh menjadi terang dan garam dunia. ‘Vos estis lux mundi’, itu ya.
Kami segera membentuk itu, karena kami pasti akan menghadapi persoalan-persoalan itu. Dan memang kami sudah, bahkan sebelum ada protokol, kami sudah memproses dengan pedoman umum yang dari Vatikan itu. Beberapa langsung kami proses.
Kami punya concern itu. Ada pelecehan seksual terhadap anak, langsung kami proses, walaupun belum ada protokol yang kami buat, berdasarkan pendekatan hukum, dan sebagainya. Sampai sekarang juga masih ada yang kita proses. Ada yang sudah selesai, ada yang belum.
Nah, protokol ini justru sekarang ini bukan hanya untuk memproses, tapi juga menyadarkan terus menerus. Kita harus mempunyai kesadaran ke sana.

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.