#TanyaRomo: Suami Terjerat Narkoba dan Judi Online, Bisakah Menjadi Alasan Anulasi Perkawinan?

Tidak semua masalah perkawinan atau masalah keluarga hanya satu solusinya, yakni pembatalan perkawinan (anulasi). Sebaiknya cara pandang semacam ini perlu dijauhkan dalam cara berpikir umat Katolik. Sebab, anulasi perkawinan tidak seperti perceraian.

0 324

Katolikana.com — Selamat malam Romo, mau bertanya. Apakah bisa melakukan pembatalan perkawinan jika suami terjerat narkoba dan judi online terus-menerus sehingga membuat istrinya terganggu mentalnya. Bahkan memiliki keinginan bunuh diri. Mohon petunjuk Romo. Terima kasih.

Tina

 

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Saudari Tina, terima kasih atas pertanyaan ini. Agar mudah dipahami paparan kami berikut ini, saya usul memberikan inisial pasutri yang bermasalah ini, yakni: JO (suami) dan N (istri). Kami mendoakan N kiranya Tuhan menguatkan dan mendampingi dalam situasi sulit menghadapi suami. Semoga JO juga mendapatkan curahan Roh Kudus sehingga mau memperbaiki kesalahannya dan membangun kembali ikatan perkawinan yang sehat dan bertanggung-jawab dengan sang istri.

 

1. Perlu dibantu Mediator/Rekonsiliator

Dalam menghadapi situasi sulit di mana suami terjerat narkoba dan judi online, sang istri dan anak-anak tentu memerlukan bantuan dari berbagai pihak, termasuk Gereja. Pihak Gereja bisa bertindak sebagai mediator (penengah) atau rekonsiliator (pendamai). Bantuan mediator atau rekonsiliator ini dapat juga menyadarkan (mencegah) Saudari N agar tidak mengikuti keinginan untuk bunuh diri.

Oleh karena itu, saya usul agar Saudari N berkonsultasi kepada Romo Paroki. Saudari N perlu mengisahkan kepada Romo Paroki kasus yang sedang dihadapi. Kita berharap Romo Paroki juga membantu Saudari N memberikan peneguhan dan solusi-solusi yang dapat mengurangi berbagai kesulitan yang ditimbulkan oleh kelemahan suami. Sangat bagus pula jika Romo Paroki berhasil mengajak bicara sang suami. Pendampingan pastoral yang berkelanjutan barangkali juga dibutuhkan oleh pasutri JO-N ini.

Di keuskupan atau tarekat religius tertentu, ada pelayanan rehabilitasi bagi para pecandu narkoba. Mana tahu Romo Paroki dari pasutri ini punya akses ke pusat pelayanan rehabilitasi ini. Dengan demikian, Bapak JO dapat ditawarkan untuk dibantu direhabilitasi.

 

2. Apakah anulasi satu-satunya solusi masalah perkawinan?

Saya berpandangan bahwa tidak semua masalah perkawinan atau masalah keluarga hanya satu solusinya, yakni pembatalan perkawinan (anulasi). Sebaiknya cara pandang semacam ini perlu dijauhkan dalam cara berpikir umat Katolik. Sebab, anulasi perkawinan tidak seperti perceraian.

Seperti kita tahu, perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan yang sah karena terbukti ada masalah yang menjadi dasar salah satu pihak menggugat pihak lain. Gereja Katolik tidak mengajarkan perceraian, dan karena itu, tidak mengakui pula perceraian sipil (bdk. Matius 19: 5-6; Markus 10: 7-9; KHK Kanon 1141).

Sementara anulasi adalah pembatalan perkawinan yang memang sejak semula tidak sah. Dalam arti, sebelum menikah adalah hal-hal atau penyebab yang membuat perkawinan itu tidak sah. Akan tetapi, jika suatu perkawinan tidak sah, maka solusinya adalah mesti disahkan.

Oleh karena itu, anulasi perkawinan dapat dikabulkan jika terpenuhi dua hal: 1) pasangan itu melangsungkan perkawinan yang sejak semula tidak sah dan kemudian tidak bisa disahkan; 2) hidup bersama pasangan itu tidak mungkin dipulihkan kembali. Jika dengan kepastian moral, dua hal ini terpenuhi, maka barulah terbuka kemungkinan untuk menyatakan bahwa perkawinan itu tidak pernah ada (null) atau dibatalkan.

Dalam paparan di atas, maka sudah sangat jelas bahwa jika tindakan “terjerat narkoba” dan “judi online” itu tidak pernah terjadi sebelum menikah, maka tidak bisa dijadikan dasar anulasi. Jika kebiasaan mengonsumsi narkoba dan judi online sudah terjadi sebelum menikah, maka kemungkinan yang menjadi dasar anulasi, yakni:

Pertama, contra bonum coniugum atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan “kebaikan suami-istri”. Bonum coniugum dalam Kanon 1055 §1 merupakan salah satu tujuan perkawinan.

Kedua, saat melangsungkan perkawinan, tidak mampu menggunakan akal budi dengan memadai karena pengaruh narkoba; atau menderita cacat berat dalam penilaian diskresi. Dalam arti, dia tidak memiliki gambaran yang benar mengenai perkawinan.

Contoh yang sering terjadi, misalnya, dia tidak mampu membedakan yang mana yang menjadi prioritas sebagai suami atau istri. Ketika, misalnya, sang istri mau melahirkan, tapi dalam waktu bersamaan, teman-teman dekatnya datang, malah dia meninggalkan istrinya yang sedang melahirkan dan pergi bersama teman-temannya. Di sini jelas, sang suami menderita cacat berat dalam berdiskresi.

Bisa dilihat juga apakah karena pengaruh narkoba, maka sang suami ini punya masalah penyakit psikis sehingga tidak mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban hakiki perkawinan. Bagian kedua ini dasar hukumnya adalah Kanon 1095.

 

3. Pertimbangan lain

Sekali lagi, saya usulkan agar Saudari N berkonsultasi kepada Romo Paroki. Dalam konsultasi ini, Romo Paroki bisa mempertimbangkan apakah terpenuhi Kanon 1153 §1. Dalam kanon tersebut, dinyatakan demikian: “Jika satu dari pasangan menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lain atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan legitim kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan Ordinaris wilayah, dan juga atas kewenangannya sendiri, bila penundaan membahayakan”. Dari Kanon 1153 §1, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, jika salah satu pasangan (misalnya suami) membahayakan pasangannya atau anaknya, atau membuat terlalu berat hidup bersama, maka pihak lain (misalnya istri), punya alasan yang sah (legitim) untuk pisah sementara waktu (istilah umumnya: pisah ranjang), dengan cacatan, tetap punya ikatan perkawinan dan pisah ranjang itu bukan proses untuk bercerai! Pisah ranjang hanya 6 bulan, dengan tujuan: agar masing-masing punya waktu untuk bertobat (bdk. 1Kor 7: 5) dan juga agar pihak terdampak terhindar dari bahaya atau beban hidup berat.

Kedua, pisah ranjang itu perlu dikomunikasikan kepada Ordinaris wilayah (= Uskup/Romo Vikjen/Romo Vikep) melalui Romo Paroki agar diputuskan bersama-sama. Tapi ada kekecualian: jika penundaan pisah ranjang itu justru membahayakan bagi sang istri atau anak-anak, maka sang istri bisa memutuskan sendiri untuk pisah ranjang.

Ketiga, setelah lewat waktu 6 bulan masa pisah ranjang, maka keduanya mesti bersama kembali. Di sini pun, ada kekecualian, yakni: jika sikap suami justru makin membahayakan atau memberatkan, maka perlu dikonsultasikan kembali kepada otoritas Gerejawi. Artinya, perlu dipertimbangkan apakah ada solusi lain, misalnya, keterbukaan pada proses anulasi perkawinan.

Demikian jawaban saya atas pertanyaan Saudari Tina ini. Para pembaca tulisan ini, marilah kita ikut serta mendoakan pasutri yang tengah bermasalah. Semoga para pasutri itu mampu menemukan solusi dalam permasalahan perkawinan mereka.

Tuhan memberkati kita semua. (*)

Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.