Katolikana.com — Halo, perkenalkan saya Charlotte. Saya adalah seorang remaja berusia 15 tahun dan kebetulan saya beragama Protestan. Tetapi saya sangat ingin mengetahui tanggapan Romo terkait kasus kekerasan di keluarga saya.
Saya adalah empat bersaudara dan saya anak sulung. Ibu saya berusia 42 tahun dan ayah saya berusia 44 tahun.
Tanggal 9 November, di malam hari jam 21.00, saya mendengar argumen dan tangisan Ibu. Saya yakin mereka sedang berdebat di kamar, tetapi saya mendiamkan saja. Lalu, tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca dan suara Ayah menjadi lebih lantang.
Saya sangat takut dan khawatir akan Ibu. Saya sontak berlari keluar kamar dan berdiri di depan kamar mereka. Saya tidak berani masuk karena saya yakin Ayah dalam kondisi setengah mabuk.
Lalu, tiba-tiba saya melihat Ibu keluar kamar sambil menangis dan hendak mengambil plastik untuk mengutip pecahan kaca. Saya sempatkan memeluk Ibu dan Ibu berusaha menenangkan saya dengan menepuk punggung saya.
Ayah saya terus mengucapkan kata-kata makian. Ayah merendahkan Ibu karena Ibu adalah ibu rumah tanga (IRT) sehingga ia tidak menghasilkan uang, mengatakan Ibu tidak layak dicintai dan hanyalah orang rendah. Ayah juga mengejek keluarga Ibu, menghina karya-karya lukisan ibu di rumah, dan saya hanya bisa menangis membayangkan perasaan Ibu di dalam hati.
Lalu, saya mendengar Ibu menangis kencang karena ia dipukul oleh ayah. Saya sangat takut dan langsung berlari ke kamar untuk menangis. Lalu, setelah 30 menit berlalu, Ibu masuk ke kamar saya dan menunjukan bahwa di lengannya terdapat memar bekas pukulan Ayah.
Mental saya sangat terguncang. Saya bahkan terus berpikir, apa yang ada di pikiran ibu saya untuk mempertahankan ini semua? Bahkan di waktu saya kecil, sekitar kelas 4 SD, saya juga pernah melihat Ibu ditampar Ayah di dapur. Adik-adik saya juga menyaksikannya, tetapi mungkin mereka lupa karena kami semua masih sangat kecil.
Setiap saya bertanya tentang alasannya bertahan, Ibu hanya menjawab bahwa saya dan adik-adik harus giat belajar agar mengubah pemikiran Ayah bahwa Ibu tidak dapat mendidik kami dengan baik. Saya sangat bingung harus bagaimana? Mendengar bagaimana Ayah menyakiti Ibu secara verbal dan fisik membuat saya juga merasa takut.
Kehidupan saya dan adik-adik beserta Ibu sangat tergantung dengan emosional Ayah. Ayah termasuk orang yang temperamental. Saya bahkan sangat tidak tega dengan Ibu yang sering direspon tidak baik dan kasar. Ibu juga banyak membatasi diri untuk menanyakan sesuatu atau membahas sesuatu, karena ia takut akan diberikan tanggapan buruk atau bahkan berakhir dengan pertengkaran.
Pertanyaan saya:
- Romo, apa yang harus saya lakukan sebagai anak untuk bisa menguatkan Ibu setiap kali ia diberikan perlakuan tidak baik oleh Ayah?
- Romo, apakah jika saya, adik-adik, dan Ibu pergi untuk kabur merupakan tindakan yang dapat dimaklumi dalam ajaran kekristenan?
Terima kasih atas waktunya, Romo. Semoga Tuhan menyertai kita semua.
Charlotte
Adik Charlotte yang diberkati Tuhan, salam dari Roma, Italia. Terima kasih atas curahan hatinya. Saat membaca kisah Anda ini, saya ikut merasakan betapa sedihnya Charlotte dan tiga orang adik Anda melihat Papa melakukan kekerasan kepada Mama.
Namun, dalam kisah Anda ini, ternyata Mama Anda luar biasa. Kendati beliau mengalami kekerasan, direndahkan, diomelin oleh Papa, tetapi tetap bertahan dalam perkawinan. Bahkan, Mama berusaha menguatkan kalian, anak-anaknya.
Sebagai anak, tentu Charlotte mengharapkan sosok Papa yang bisa memberi teladan, bisa mengayomi Mama dan anak-anaknya. Namun, yang Anda alami justru sebaliknya. Perlu disadari bahwa tindakan Papa ini melukai hati Mama dan Charlotte serta tiga orang adik Anda.
Hal-hal yang Perlu Dilakukan
Dalam situasi serba sulit ini, kita yakin bahwa kuasa Tuhan tetap bekerja. Saya doakan Charlotte, Papa-Mama dan ketiga adik Anda agar bisa keluar dari masalah ini. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Charlotte, antara lain:
Pertama, menjadi teman bagi Mama dengan mengikuti nasihatnya. Tentu, Charlotte dan Mama sama-sama “rentan” menghadapi Papa. Namun, dalam situasi sesulit apapun, kita yakini ada jalan keluarnya. Salah satu cara menemani Mama adalah dengan menjalankan nasihatnya sungguh-sungguh. Dalam kisah di atas, Mama meminta kalian anak-anaknya agar “giat belajar”. Artinya, jika Charlotte dan adik-adik sedang sekolah, maka tetap bertekun untuk belajar.
Saya punya ilustrasi sederhana tetapi nyata. Seorang pelaut tangguh dan hebat pasti sudah sering menghadapi badai dan gelombang laut yang begitu dahsyat. Bisa jadi juga dia berkali-kali terjatuh saat dihantam gelombang badai di tengah lautan. Tetapi, ia tak putus asa, ia berlatih terus. Kedahsyatan badai dan gelombang laut yang mengancam itu justru yang menguatkannya.
Dalam hidup kita pun sama. Kita mengalami berbagai “badai dan gelombang” kehidupan. Jika kita tetap tidak putus asa, dan tetap berjuang, kita akan tangguh dan menjadi pemenang!
Kisah Yusuf dalam Alkitab (Kejadian 37-45) sungguh menguatkan banyak orang. Yusuf masih sangat muda (berusia 17 tahun) saat hampir dibunuh oleh kakak-kakaknya. Yusuf kemudian dicampakkan ke dalam sumur, lalu dijual ke tanah Mesir. Betapa terlukanya Yusuf atas perlakuan keji saudara-saudaranya itu. Tetapi, bagaimana sikap Yusuf? Ia tidak putus asa. Di Mesir di mana ia dijual, ia tekun melakukan pekerjaannya. Ia tidak hanyut dalam rasa luka batinnya. Dan menyerahkan perkaranya kepada Tuhan.
Saat di rumah Potifar, pegawai istana Firaun dan kepala pengawal raja, Yusuf melakukan pekerjaannya sebaik-baiknya. Hasilnya? Yusuf dipercaya. Bahkan Potifar menyerahkan kuasa kepada Yusuf atas rumah dan segala miliknya. Tidak berhenti di situ. Atas kebijaksanaan Yusuf mengartikan mimpi Raja Firaun, menggerakkan hati Firaun memberikan kuasa kepada Yusuf atas istananya (Kej 41: 37-57). Yusuf bisa dikatakan, orang terbuang yang menjadi orang hebat. Lalu, apakah Yusuf membalas kejahatan saudara-saudaranya? Ternyata tidak! Yusuf malah membantu saudara-saudaranya saat menghadapi kelaparan.
Adik Charlotte yang baik, Anda bisa menjadi “Yusuf” yang lain. Kuncinya, tetap tidak putus asa. Terus berjuang dan melakukan apa yang semestinya Anda lakukan. Jangan biarkan situasi Anda ini mengganggu mental Anda. Dan, yang tidak boleh dilupakan adalah serahkan perkara Anda ini pada Tuhan. Jangan lupa berdoa kepada Allah, berkisah kepadaNya atas segala yang Anda alami ini.
Jika saat ini Anda sedang sekolah, maka belajarlah dengan baik. Sungguh-sungguh menjadi anak bagi Mama, dan seorang kakak bagi adik-adik. Hadapi badai kehidupan dengan semangat yang tangguh. Dan, tidak membenci Papa. Sebab, dengan menyimpan rasa benci, maka Anda semakin terluka, Anda semakin “marah”. Perasaan terluka dan marah, akan menghabiskan energi Anda, dan itu justru yang semakin membuat Anda lemah. Dan, bisa jadi malah membuat mental Anda semakin terganggu.
Kedua, mengajak Mama untuk mencari orang yang bisa menjadi mediator (penengah) atau rekonsiliator (pendamai). Coba amati, apakah dalam keluarga besar Anda, ada orang yang bisa “meluluhkan” hati Papa? Atau, apakah ada sosok yang “disegani” oleh Papa, misalnya Om (Paman) atau Tante. Jika ada, bisa saja Om/Paman/Tante menjadi mediator (penengah) atau rekonsiliator (pendamai) antara Papa-Mama.
Bisa juga mengajak Mama untuk terbuka kepada Pendeta. Setahu saya, ada banyak Pendeta yang hebat dan bisa menjadi pendamping keluarga. Mereka juga bisa menjadi mediator atau rekonsiliator bagi Papa-Mama.
Kabur dari Rumah: Apakah Bijak?
Adik Charlotte yang baik, jika Anda dan Mama menemukan mediator atau rekonsiliator handal, saya yakin kalian akan menemukan solusi atas permasalahan ini. Jangan tergoda untuk “lari dari masalah”, dengan kabur dari rumah. Sesuai kisah Anda, ternyata Papa itu punya tabiat temperamental.
Nanti ketika kalian menemukan mediator atau rekonsiliator (entah Om/Paman/Tante atau Pendeta), bicaralah kepada mereka agar Om/Paman/Tante atau Pendeta membantu untuk mengajak Papa pelan-pelan ikut terapi kepribadian. Tujuannya adalah agar tabiat temperamental Papa bisa berkurang, atau tidak membahayakan. Mudah-mudahan Pendeta atau mereka yang menjadi mediator/rekonsiliator meminta bantuan konselor untuk membantu Papa dalam terapi kepribadian.
Ada yang perlu dipertimbangkan, yakni: bagaimana jika kekerasan yang dilakukan Papa itu sungguh mengancam badan dan jiwa Mama dan kalian (anak-anak)? Saya usul, keadaan ini pun perlu dipertimbangkan oleh mediator atau rekonsiliator. Maka, Mama perlu terbuka kepada mediator atau rekonsiliator agar dicarikan solusi yang bijak.
Pesan untuk Orangtua
Orangtua memiliki martabat istimewa dari Tuhan Allah. Martabat itu, yakni: rekan kerja Allah (co-creator), dalam menciptakan manusia baru di dunia ini. Manusia baru, yakni: anak-anak, merupakan anugerah Tuhan Allah bagi orangtua. Orangtua tidak hanya melahirkan anak-anak, tetapi juga mendidik mereka.
Tanggung jawab orangtua mendidik anak ini punya landasan kuat dalam Kitab Suci: “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu (Amsal 29: 17). Orangtua mesti berlaku sebagai guru dan rasul yang pertama dan utama bagi anak-anak.
Pendidikan itu seharusnya terjadi dalam rumah. Anak-anak akan belajar dari Papa-Mamanya bagaimana saling mencintai, ketika Papa-Mama sungguh saling mencintai. Kekerasan dalam rumah tangga yang disaksikan dan dialami oleh anak-anak, menjadi pengalaman buruk yang dapat melukai hati anak-anak. Dan, orangtua perlu sadar, luka batin itu bisa dibawa sepanjang hidup anak-anak.
Saya kira, nasihat Rasul Paulus dalam Efesus 6:4, tidak hanya berlaku untuk sang ayah, tetapi juga untuk sang Ibu. Rasul Paulus mengajar kita: “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6: 4).
Orangtua perlu berjuang untuk membantu anaknya untuk bertumbuh dalam kepribadian yang baik. Maka, Rasul Paulus menasihati orangtua: “Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kolose 3: 21).
Adik Charlotte yang diberkati Tuhan, demikian jawaban saya atas curhatan hati Anda. Sekali lagi, saya doakan kalian, kiranya Tuhan menguatkan kalian, membuat kalian semakin tangguh. Saya yakin, dengan menyerahkan semua perkara Anda pada Tuhan, maka bisa beranjak dari masalah.
From hopeless to hopeful; from pain to hope! (*)
Pastor Postinus Gulö, OSC adalah penulis buku: “Kasus-Kasus Aktual Perkawinan: Tinjauan Hukum dan Pastoral” (Penerbit Kanisius, tahun 2022). Kini, mahasiswa Doktoral Hukum Gereja di Pontificia Universitá Gregoriana, Roma, Italia.
Editor: Ageng Yudhapratama
Anda punya pertanyaan pribadi untuk ditanyakan kepada Romo? Kirimkan pertanyaan Anda melalui e-mail redaksi@katolikana.com dengan subjek “Tanya Romo”.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.