Melayani dengan Hati: Belajar dari Paus Fransiskus

Paus Fransiskus menandai arah kepemimpinannya dengan keberpihakan yang jelas: kepada kaum miskin, orang pinggiran, dan mereka yang tak bersuara.

0 189
Novita Sari Yahya

Oleh Novita Sari Yahya

Katolikana.com—Juru bicara Vatikan mengumumkan kabar duka pada Senin pagi, 21 Maret 2025. Paus Fransiskus menghembuskan napas terakhir di Casa Santa Marta, pukul 07.35 waktu Vatikan.

Dunia kehilangan seorang gembala besar. Namun, warisan spiritual dan kemanusiaannya akan terus hidup, menembus batas iman, bangsa, dan zaman.

Paus Fransiskus bukan sekadar pemimpin Gereja Katolik. Ia adalah pemimpin spiritual yang suaranya menggema dari Vatikan ke lorong-lorong sunyi di mana kemiskinan dan ketidakadilan masih merajalela.

Saya pribadi tersentuh oleh kehadirannya saat kunjungan apostoliknya ke Indonesia, 3–6 September 2024. Kehadirannya tidak hanya simbolik, tetapi menyala sebagai api yang menghangatkan nurani—menggugah kita untuk memahami makna sejati pelayanan kepada mereka yang terlupakan.

Belas Kasih sebagai Napas Kepausan

Sejak awal masa jabatannya, Paus Fransiskus menandai arah kepemimpinannya dengan keberpihakan yang jelas: kepada kaum miskin, orang pinggiran, dan mereka yang tak bersuara.

Ia menyuarakan gagasan “ekologi integral” dalam ensiklik Laudato Si’, menghubungkan krisis lingkungan dengan penderitaan kaum miskin serta pelanggaran hak asasi manusia.

Ia membela hak-hak masyarakat adat, membuka tangan kepada umat non-Katolik dan non-Kristen, serta meminta maaf kepada korban pelecehan seksual dalam Gereja.

Dimensi universal kasih ini mengingatkan saya pada sosok Bunda Teresa dari Kalkuta. Ketika diminta menyampaikan sambutan dalam sebuah acara, ia hanya berkata: “Saudara-saudari, kalau Saudara-saudari mau bertemu Yesus, temuilah Dia dalam diri orang miskin. Terima kasih.”

Ucapan itu melekat dalam benak saya sejak membaca buku tentang kehidupan Bunda Teresa pada 2009. Dalam 15 tahun terakhir, kalimat itu terus mengendap dan menantang: sejauh mana saya sudah melayani yang miskin?

Mengabdi kepada Tuhan dengan Mengabdi pada Sesama

Dalam konteks Indonesia hari ini, angka-angka ketimpangan semakin mencolok.

Menurut laporan Oxfam yang mengacu pada Global Wealth Databook, harta empat orang terkaya di negeri ini setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Ketimpangan ini bukan sekadar masalah statistik, tapi panggilan moral dan spiritual.

Presiden Soekarno pernah berkata, “Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan tanpa mengabdi kepada sesama. Tuhan bersemayam di gubuk si miskin.”

Maka, pelayanan kepada Tuhan tak bisa dilepaskan dari pelayanan kepada sesama yang lemah, tertindas, dan miskin.

Saya terlibat dalam berbagai kajian kebijakan terkait kemiskinan dan kesehatan, termasuk penulisan buku Filantropi Kesehatan (Kemenkes, 2020) dan riset revisi Jamkesda tahun 2010.

Namun pemahaman saya tentang kemanusiaan diperluas oleh tokoh seperti Mohammad Natsir.

Kisah tentang bagaimana Mohammad Natsir melalui lembaganya secara diam-diam membantu para tahanan politik—baik Islam maupun PKI—tanpa memedulikan latar belakang ideologis mereka, adalah pelajaran kemanusiaan yang tak ternilai. Ia tidak mencari sorotan media, hanya ketulusan untuk berbagi.

Dimensi universal kasih ini mengingatkan saya pada sosok Bunda Teresa dari Kalkuta.

Melawan Ketamakan, Menyalakan Kepedulian

Kita hidup di era di mana kekayaan dipuja, kekuasaan dikejar, dan kesederhanaan dianggap usang. Gaya hidup konsumtif dan hedonis makin menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Mahatma Gandhi mengingatkan, “Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah.”

Ketamakan membunuh nurani. Ketika hidup kita hanya diisi oleh upaya mengakumulasi kekayaan dan menggapai status sosial, maka yang miskin hanya menjadi statistik, bukan sesama.

Karena itu, kita perlu kembali ke semangat filantropi. Dalam tradisi Kristen, filantropi disebut karitas—cinta kasih yang diwujudkan dalam aksi nyata. Dalam Alkitab, Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk berbagi, melayani, dan menyambut yang terpinggirkan.

Melalui zakat, umat Islam diajak menyalurkan sebagian hartanya bagi kaum duafa. Dalam karya ilmiah al-Qaradawi berjudul Fiqh az-Zakat: A Comparative Study, komitmen terhadap kaum miskin secara simbolis direpresentasikan dengan kewajiban membayar zakat.

Saatnya Memulai dari Diri Sendiri

Melayani rakyat miskin bukanlah slogan, melainkan sikap hidup. Dan itu dimulai dari keputusan sehari-hari: memilih gaya hidup sederhana, menahan diri dari konsumerisme, serta berbagi dari kelebihan yang kita miliki.

Jika para pemimpin bangsa, tokoh agama, dan setiap keluarga mau meneladani kesederhanaan dan pelayanan, kita akan punya harapan membangun peradaban yang lebih adil dan penuh kasih.

Paus Fransiskus telah menunjukkan jalan. Bunda Teresa telah menghidupinya. Mohammad Natsir dan banyak tokoh lintas iman telah melakukannya secara senyap. Kini, giliran kita.

Hari ini, mari kita mulai. Bukan besok. Bukan menunggu lebih kaya, lebih mapan, atau lebih terkenal. Melayani mereka yang miskin adalah panggilan yang mendesak, sebab di dalamnya Tuhan sedang menunggu untuk dijumpai. (*)

Penulis: Novita Sari Yahya. Penulis buku “Romansa Cinta” dan “Novita & Kebangsaan.” Hasil penjualan buku digunakan untuk operasional gerakan literasi dan mendukung Rumah Pengasuhan Anak dan Pendidikan Keluarga. Aktivitas dan karyanya dapat diikuti melalui akun Instagram: @novita.kebangsaan. Kontak pembelian buku: 089520018812

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.